Dosen Psikologi UMB: Pendidikan Harus Kembangkan Kompetensi dan Karakter

Banyak orang yang dulu terpelajar, berpendidikan, berakhir di Sukamiskin.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Des 2019, 15:37 WIB
Ilustrasi anak tongkrongan di sekolah. (via: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal menegaskan ke depan tujuan pendidikan harus perpaduan antara mengembangkan kompetensi dan karakter, seperti akhlak dan budi pekerti.

Hal tersebut, kata dia, sesungguhnya sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

"Kita kembali ke tujuan dasar pendidikan yang sudah kita terapkan di UU tahun 2003, pendidikan berakhlak mulia, budi pekerti," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, Sabtu (14/12/2019).

Perpaduan antara kompetensi dan karakter, lanjut dia, masih menjadi masalah di Indonesia. Sebab, mereka yang terpelajar justru ada yang tersangkut korupsi.

"Betapa banyak orang yang dulu terpelajar, berpendidikan, berakhir di Sukamiskin. Di Sukamiskin semua alumni ada itu," ungkapnya.

Dia menegaskan, ke depan, penilaian terhadap karakter peserta didik juga harus menjadi prioritas. Sehingga penilaian tidak hanya berpatok pada nilai-nilai yang didapat siswa dalam sejumlah mata pelajaran.

"Karena selama ini penilaian tidak kualitatif. Nggak ada nilai anak yang sopan. Deskriptif. Semua nilainya fisika, kimia, matematika. Akhirnya anak yang baik, tidak mau baik karena nggak ada nilainya," ujar dia.

"Harusnya ke depan, sikap itu menjadi prioritas penilaian. Sekarang yang dicari nilai 9,8,7, tapi nggak ada indikator penilaian akhlak, budi pekerti. Ini masalah besar di pendidikan," tandasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Tak Percaya Diri

Selain menyinggung masalah akhlak Muhammad Iqbal juga mengungkapkan sikap pemerintah yang tidak konsisten terkait UN. Pemerintah, kata dia, membuat UN, tapi tidak benar-benar mengakui hasilnya.

Sebagai contoh, dia menyinggung soal Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang harus dilalui siswa yang mau masuk ke perguruan tinggi negeri. Padahal anggaran yang digelontorkan untuk penyelenggaraan UN sangat besar.

"Bayangkan kita habiskan uang ratusan miliar untuk ujian nasional, tapi ketika masuk SMNPTN orang harus tes lagi. Artinya Pemerintah sendiri tidak mengakui kualitas hasil ujian yang dibuatnya sendiri," kata dia.

Dia mengatakan, jika menilik praktik yang terjadi di luar negeri, nilai yang didapat siswa dalam ujian akhir di sekolah dijadikan juga dasar penilaian untuk masuk perguruan tinggi.

"Di luar negeri orang kalau ikut ujian nasional, rapor ujian nasional itu cukup untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Artinya diakui sendiri," jelas dia.

Sementara di Indonesia, penilaian bisa tidaknya siswa masuk perguruan tinggi dengan berbasis nilai UN tidak berlaku secara umum.

"Raport kita nggak berlaku. Masuk PTN nggak berlaku raport kita. Kecuali jalur-jalur khusus," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya