Liputan6.com, Jakarta Pemerintah di masing-masing negara kini terus berupaya menggenjot perekonomiannya. Apalagi di tengah melemahnya perekonomian global, salah satunya akibat perang dagang.
Upaya menggenjot perekonomian yang dilakukan berbagai negara di dunia antara lain, dengan memperbesar upaya ekspor komoditas andalan di masing-masing negara tersebut.
Di sisi lain, masing-masing negara juga menerapkan kebijakan yang bisa melindungi pasar dalam negerinya dari produk impor, bila dinilai sudah terlalu membanjir. Seperti langkah yang diambil Indonesia dan Uni Eropa.
Baca Juga
Advertisement
Namun, saat ini Indonesia dan Uni Eropa tengah dalam perselisihan. Kedua negara, saling mengajukan keluhan dan gugatan terkait kebijakan masing-masing ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
UE menggugat Indonesia terkait kebijakan pembatasan ekspor nikel. Sementara yang terbaru, Indonesia menggugat Eropa terkait kebijakan yang dinilai mendiskriminasi Kelapa Sawit ke WTO.
- Pembatasan ekspor bahan tambang
Pada 22 November 2019, UE resmi mengajukan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.
Dikutip dari US News pada Rabu (27/11/2019), UE menuduh bahwa pembatasan itu dirancang Indonesia untuk menguntungkan industri peleburan dan baja nirkarat.
Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di Uni Eropa mengatakan, tidak adil bahwa akses produsen UE terhadap komoditas tersebut menjadi dibatasi.
Keluhan Komisi mengatakan langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia. Negara ini adalah penambang bijih nikel terbesar di dunia dan akan melarang ekspor selama dua tahun mulai tahun 2020.
Namun China, produsen baja nirkarat terbesar di dunia, telah menimbun bijih nikel menjelang larangan pengiriman dari Indonesia.
Komisaris Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom mengatakan langkah-langkah Indonesia memicu beban lebih lanjut di sektor baja UE yang sudah berjuang menghadapi risiko.
"Terlepas dari upaya bersama kami, Indonesia telah mempertahankan langkah-langkah dan bahkan mengumumkan larangan ekspor baru untuk Januari 2020," katanya dalam sebuah pernyataan.
UE juga menentang skema yang membebaskan produsen Indonesia dari bea impor tertentu untuk meningkatkan atau membangun pabrik baru, selama mesin dan peralatan lokal membuat 30 persen konten. UE melihat ini sebagai subsidi ilegal.
Proses di WTO dimulai dengan periode 60 hari untuk konsultasi antara para pihak untuk menyelesaikan perselisihan. Pihak pengadu kemudian dapat meminta panel tiga orang untuk memberikan putusan. Putusan itu biasanya akan rampung setidaknya satu tahun lagi.
Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar Uni Eropa meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18% pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer.
Namun Eurofer menambahkan, metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbon dioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.
Diskriminasi Sawit, Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO
Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia(PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE
Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangannya, Minggu (15/12/2019).
Baca Juga
Menurut Mendag, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation.
Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
"Dengan gugatan ini, Indonesia berharap UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit,"pungkas Mendag Agus.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.
Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakanaturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yangmemiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapasawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE,juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.
Advertisement