Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statiktik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada November 2019 mencapai USD 15,34 miliar atau naik 3,94 persen dibanding Oktober 2019. Namun demikian, jika dibandingkan November 2018 mengalami penurunan sebesar 9,24 persen.
"Adapun impor nonmigas November 2019 mencapai USD 13,21 miliar atau naik 1,55 persen dibanding Oktober 2019, namun jika dibandingkan November 2018 turun 5,91 persen," ujar Kepala BPS, Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (16/12).
Suhariyanto mengatakan, impor migas pada November 2019 mencapai USD 2,13 miliar atau naik 21,60 persen dibanding Oktober 2019. Angka tersebut turun sebesar 25,55 persen dibandingkan November 2018.
Baca Juga
Advertisement
Peningkatan impor nonmigas terbesar November adalah golongan mesin dan perlengkapan elektrik sebesar USD 146,8 juta (8,13 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan serealia sebesar USD 69,8 juta (22,83 persen).
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-November 2019 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai USD 40,51 miliar (29,68 persen), Jepang USD 14,50 miliar (10,63 persen), dan Thailand USD 8,68 miliar (6,36 persen).
Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari-November 2019 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 6,07 persen, 11,40 persen dan 4,81 persen.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jokowi: 5 Tahun Lagi Kita Tak Impor Bahan Petrokimia
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan pabrik baru polyethylene milik PT Chandra Asri Petrohemical Tbk (Chandra Asri) di Cilegon, Banten, pada hari ini. Pabrik tersebut memiliki realisasi investasi sebesar USD 380 juta.
Jokowi menyadari bahwa salah satu masalah besar yang masih dihadapi Indonesia, yakni defisit transaksi berjalan dan perdagangan. Impor petrokimia dan migas adalah yang paling memberatkan neraca perdagangan.
"Barang-barang yang kita produksi di dalam negeri bahan bakunya, kebanyakan masih impor. Termasuk di dalamnya yang paling besar adalah petrokimia. Juga yang namanya impor minyak dan gas. Itu yang paling besar dan memberatkan neraca perdagangan," jelas dia.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu berharap pabrik yang mampu memproduksi 400 ribu ton Polyethylene per tahun ini, dapat menyelesaikan masalah neraca perdagangan.
Salah satu caranya yaitu, dengan membuka investasi sehingga dapat memghentikan impor bahan petrokimia. "Feeling saya mengatakan 4 atau 5 tahun lagi kt sudah tidak mengimpor lagi bahan-bahan petrokimia dan justru bisa kita ekspor," lanjut dia.
Dia menurturkan, kebutuhan Polyethylene mencapai 2,3 juta ton per tahun. Sementara, kapasitas produksi nasional masih 780 ribu ton. Sehingga, mau tak mau Indonesia mengimpor 1,52 juta Polyethylene ton per tahunnya.
"Jangan berikan dong peluang peluang seperti ini ke negara lain. Kalau kita bisa membuat sendiri knp harus impor. Segera selesaikan, Kalau bisa jangan 4 tahun, 2 tahun selesai, dikebut," ucapnya.
Advertisement