Saling Gugat Indonesia dan Uni Eropa Dinilai Hanya Buang Tenaga

Dua negara ini saling gugat karena masing-masing menerapkan kebijakan ekspor komoditas mereka.

oleh Athika Rahma diperbarui 17 Des 2019, 10:00 WIB
Ilustrasi bendera Uni Eropa di kantor pusatnya di Brussels (AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, Indonesia tengah mengalami perselisihan dengan Uni Eropa. Dua negara ini saling gugat karena masing-masing menerapkan kebijakan ekspor komoditas mereka.

Uni Eropa, yang menerapkan kebijakan yang dinilai mendiskriminasi sawit Indonesia, melakukan protes ke World Trade Organization (WTO) karena Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan ekspor nikel.

Ekonom Center of Reforms on Economic Piter Abdullah menyatakan, penerapan kebijakan ekspor masing-masing negara adalah hal yang wajar dilakukan sebagai strategi kedaulatan di lingkup internasional.

"Tapi kalau sampai gugat-gugatan ke WTO tidak usah lah. Buang tenaga, hanya memperbanyak drama," ujar Piter saat dihubungi Liputan6.com, Senin (16/12/2019).

Daripada begitu, Piter menilai Indonesia harusnya fokus saja mengembangkan sumber daya alam untuk konsumsi dalam negeri. Jika memang masih merasa terkena diskriminasi dari Uni Eropa, maka lebih baik olah CPO menjadi B20, B30 dan seterusnya.

"Kemudian nikel juga, kan kita mau buat pabrik baterai mobil listrik," imbuhnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Indonesia Tak Perlu Takut

Ilustrasi bendera Indonesia (Sumber: Pixabay)

Piter menambahkan, Indonesia tak perlu ketar ketir kalau Uni Eropa masih mendiskriminasi CPO karena pasar terbesar Indonesia bukan Uni Eropa.

"Kita kan ke China dan negara lain, hilang Uni Eropa tidak usah dijadikan masalah besar," tutupnya.


2 Komoditas Pemicu Indonesia dan Uni Eropa Saling Gugat ke WTO

Foto: gbtimes.com

Pemerintah di masing-masing negara kini terus berupaya menggenjot perekonomiannya. Apalagi di tengah melemahnya perekonomian global, salah satunya akibat perang dagang.

Upaya menggenjot perekonomian yang dilakukan berbagai negara di dunia antara lain, dengan memperbesar upaya ekspor komoditas andalan di masing-masing negara tersebut. 

Di sisi lain, masing-masing negara juga menerapkan kebijakan yang bisa melindungi pasar dalam negerinya dari produk impor, bila dinilai sudah terlalu membanjir. Seperti langkah yang diambil Indonesia dan Uni Eropa.

Namun, saat ini Indonesia dan Uni Eropa tengah dalam perselisihan. Kedua negara, saling mengajukan keluhan dan gugatan terkait kebijakan masing-masing ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

UE menggugat Indonesia terkait kebijakan pembatasan ekspor nikel. Sementara yang terbaru, Indonesia menggugat Eropa terkait kebijakan yang dinilai mendiskriminasi Kelapa Sawit ke WTO.

- Pembatasan ekspor bahan tambang

 Pada 22 November 2019, UE resmi mengajukan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) perihal pembatasan Indonesia pada ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.

Dikutip dari US News pada Rabu (27/11/2019), UE menuduh bahwa pembatasan itu dirancang Indonesia untuk menguntungkan industri peleburan dan baja nirkarat.

Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di Uni Eropa mengatakan, tidak adil bahwa akses produsen UE terhadap komoditas tersebut menjadi dibatasi.

Keluhan Komisi mengatakan langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia. Negara ini adalah penambang bijih nikel terbesar di dunia dan akan melarang ekspor selama dua tahun mulai tahun 2020.

Namun China, produsen baja nirkarat terbesar di dunia, telah menimbun bijih nikel menjelang larangan pengiriman dari Indonesia.

Komisaris Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom mengatakan langkah-langkah Indonesia memicu beban lebih lanjut di sektor baja UE yang sudah berjuang menghadapi risiko.

"Terlepas dari upaya bersama kami, Indonesia telah mempertahankan langkah-langkah dan bahkan mengumumkan larangan ekspor baru untuk Januari 2020," katanya dalam sebuah pernyataan.

UE juga menentang skema yang membebaskan produsen Indonesia dari bea impor tertentu untuk meningkatkan atau membangun pabrik baru, selama mesin dan peralatan lokal membuat 30 persen konten. UE melihat ini sebagai subsidi ilegal.

Proses di WTO dimulai dengan periode 60 hari untuk konsultasi antara para pihak untuk menyelesaikan perselisihan. Pihak pengadu kemudian dapat meminta panel tiga orang untuk memberikan putusan. Putusan itu biasanya akan rampung setidaknya satu tahun lagi.

Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar Uni Eropa meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18% pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer.

Namun Eurofer menambahkan, metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbon dioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya