Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menyebut bahwa industri kelapa sawit Indonesia memiliki poranan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional. Apalagi nilai eskpor hasil minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia mengalahkan ekspor komoditas migas.
"Betapa penting kita perjuangkan sawit untuk kehidupan ekonomi Indonesia ke depan. Ekspor sawit bagi Indonesia sangat besar melebihi ekpor migas porsinya 11 persen," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengatakan, jika secara terus menerus pemerintah mampu menggenjot industri minyak kelapa sawit maka juga bisa menekan defisit transaksi berjalan atau CAD. "Kalau kita defisit digenjot ekspor sawit akan menggenjot surplus CAD kita," imbuh dia.
Untuk mendorong kinerja ekpor, pemerintah juga diharapkan mampu memperkuat produk CPO dalam negeri dengan fokus melakukan hilirisasi terhadap produk turunan CPO.
"Semakin ke hilir ekspornya semakin sedikit. CPO bisa jadi produk makanan, kosmetik, energi dan kimia. Ini hilir sawit, kita mau fokus kemana," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sektor Energi
Heri menambahkan, peluang paling besar untuk hilirisasi CPO ada disektor energi. Misalnya, fokus mengembangkan industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Apalagi ekspor FAME Indonesia baru mencapai 1,6 persen dari total ekspor dunia yang mencapai USD 45 miliar.
"Ini kan bahan campuran Bahan Bakar Nabati (BBN). Potensi ekspor ini cukup luas, mengingat tren penggunaan BBN di dunia semakin meningkat. Saat ini Cina, Jepang, AS dan UE pengguna FAME terbesar," pungkasnya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Pemerintah Curhat Sulitnya Jualan Sawit ke Luar Negeri
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyayangkan sikap negara-negara Eropa yang menolak industri minyak kelapa sawit Indonesia untuk masuk ke negaranya. Padahal secara dampak minyak kelapa sawit sendiri merupakan salah satu hal yang paling ramah lingkungan.
"Sayang sawit dapat kampanye negatif masalah isu lingkungan dan kesehatan. Ini nenjadi tantangan bagi pemangku dan pemerintah perbaiki citra," kata Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, dalam acara diskusi sawit di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Dia membeberkan, hambatan perdagangan minyak kelapa sawit Indonesia terjadi di berbagai belahan negara utamanya adalah Uni Eropa. Di mana, Uni Eropa sendiri menolak mentah-mentah masuk kelapa sawit Indonesia karena tuduhan anti subsidi terhadal biodisel, dan Renewable Energy Direvtibe (RED) II.
"Beberapa negara di Eropa juga turut kampamye negatif 'No Palm Oil' pada makanan," kata dia.
Tak hanya terjadi di Eropa, negara-negara luar yang ikut menghambat perdagangan minyak kelapa sawit Indonesia juga berasal dari Prancis dan Rusia.
Di mana Prancis menolak dengan alasan penghapusan insentif pajak produk biofuel dari kelapa sawit, sedangkan di Rusia menerapkan penghapusan keringanan pajak minyak sawit.
"Banyak sekali kampanye negatif. Kita harus menjelaslan kelapa sawit Indonesia ramah lingkungan dan berkelanjutan," kata dia.
Di samping itu, bentuk kampanye hitam lainnya yang ditujukan negara luar yakni melalui beberapa minimarket di masing-masing negara. Misalnya saja, yang terjadi di Belgia, minimarket di sana mencantumkan 0 persen palm oil di setiap produk-produk makanan.
"Sementara di Prancis berjanji untuk tidak menggunakan minyak melapa sawit untuk semua produk bermereknya mulai 2010 lalu," jelas dia.