Alasan di Balik Penangguhan Penahanan Eks Buron Kasus Korupsi Lahan Negara Jelang Natal

Kejati Sulsel berikan penangguhan penahanan terhadap eks buron kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang.

oleh Eka Hakim diperbarui 18 Des 2019, 15:00 WIB
Kajati Sulsel, Firdaus Dewilmar tegaskan akan segera beri kepastian hukum penanganan kasus dugaan korupsi lahan negara yang menjerat Jentang (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar akhirnya membenarkan jika pihaknya telah memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buron kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Makassar, Soedirjo Aliman alias Jentang.

Pengusaha yang kerap terlibat dalam perkara-perkara sengketa lahan di Makassar tersebut, dikeluarkan dari sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IA Makassar, Kamis 12 Desember 2019 malam hari.

"Yang bersangkutan usianya 80-an dan sedang sakit," kata Firdaus di Kantor Kejati Sulsel, Selasa (17/12/2019).

Selain itu, pertimbangan lainnya, kata dia, adanya putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap tiga terdakwa dalam kasus yang sama serta adanya putusan perdata terkait status lahan yang memenangkan Jentang.

"Satu lagi, saat ini kan kita sedang mengejar adanya kerugian negara senilai Rp 500 juta. Tapi ternyata ada aset yang diduga ilegal yang dikuasai oleh Jentang dan nilainya itu Rp 800 miliar. Yang mana bagusnya kita kejar?" terang Firdaus.

Ia berjanji segera mungkin akan memberikan kepastian hukum penanganan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar yang sebelumnya sempat membuat Jentang berstatus buronan selama 2 tahun lebih dan berhasil ditangkap oleh tim Tabur Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) 17 Oktober 2019.

"Saya janji kasih kepastian hukum. Apakah kasusnya dihentikan atau dilanjutkan. Pertimbangannya tadi saya sudah jelaskan," terang Firdaus.

Terpisah, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengatakan alasan penangguhan penahanan yang dilontarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) dinilai mengada-ada.

"Alasan sakit sesungguhnya alasan yang mengada-ada. Kalau sakit kan bisa berobat di dalam Lapas karena fasilitas sudah disiapkan, bukannya dikasih keluar dari Lapas," ucap Kadir.

Ia sangat menyesalkan sikap Kejati Sulsel yang dinilai telah mencederai komitmen pemberantasan korupsi dengan cara diam-diam memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buronan kasus dugaan korupsi lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang.

"Jentang ini kan pernah dua tahun lebih memburon usai ditetapkan jadi tersangka dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara dan nanti bulan Oktober 2019 berhasil ditangkap oleh tim Tabur Kejagung. Loh kok malah Kejati tolerir yah. Kajagung harus segera evaluasi Kajati Sulsel ini," ucap Kadir.

Ia berharap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga segera mengevaluasi kinerja Koorsupgah KPK yang dinilai kecolongan dalam mengawasi perjalanan penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat eks buronan tersebut.

"Bukannya belakangan ini Koorsuogah KPK cukup intens membangun koordinasi dengan pihak Kejati Sulsel terkait penanganan kasus dugaan korupsi lahan negara Buloa. Loh kok malah kecolongan tersangka malah dapat penangguhan penahanan. Kinerja Koorsupgah KPK patut dipertanyakan," tegas Kadir.

 


KPK Diminta Supervisi Total

Eks buron kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara, Jentang dijebloskan ke Lapas Klas IA Makassar usai ditangkap tim Tabur Intelijen Kejagung (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Meski demikian, ia tetap mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi total atas kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa tersebut.

"Kenapa KPK harus hadir, tentunya untuk mengevaluasi dan menyambung kembali fakta-fakta hukum yang dilepaskan Kejati sewaktu mereka menyidik Rusdin cs," terang Kadir.

Dalam fakta hukum kasus Buloa terungkap peranan orang lain. Namun, terkesan ditutupi oleh Kejati.

"Kehadiran KPK sangat penting karena sejak awal kami menilai Kejati terkesan menutupi peran orang lain dalam kasus ini. Kasus ini tak boleh berhenti di Jentang, karena benang merahnya masih menyambung ke pihak lain diantaranya Ulil Amri, Jhoni Aliman, Edi Aliman, mantan Lurah, mantan Camat serta dua perusahaan BUMN," ungkap Kadir.

Seharusnya, kata dia, semua diperiksa dan diminta pertanggung jawaban. Tidak berhenti kepada peranan Jentang.

"Kalau begini tindakan penyidik, sangat terkesan tebang pilih dalam menetapkan tersangka," tegas Kadir.

Dari fakta penyidikan, beber Kadir, telah jelas mengungkap kronologi sejak awal kasus Buloa. Adanya penerbitan surat keterangan garapan yang dikeluarkan oleh Lurah Tallo kala itu, Ambo Tuo dan disetujui oleh Camat Tallo di era kepemimpinan, AU Gypping Lantara.

Bukti keterangan garapan yang dimiliki oleh kedua anak buah Jentang atas laut yang terletak di Kelurahan Buloa terbit dengan memberikan keterangan yang tidak benar alias kuat dugaan ada unsur kolusi dalam proses pemberian keterangan garapan tersebut oleh mantan Lurah Buloa, Ambo Tuo dan disetujui oleh Mantan Camat Tallo, A.U Gypping Lantara kala itu.

Kedua anak buah Jentang masing-masing Rusdin dan Jayanti mendapatkan keterangan garapan dari Kelurahan Buloa dan disetujui oleh Camat Tallo saat itu, karena pertimbangan keduanya sejak lama menggarap di area laut Buloa sebagai petani budidaya rumput laut.

"Padahal jelas-jelas sejak dulu hingga sekarang ini, disana tak pernah ada kegiatan budidaya rumput laut karena kondisi alam yang penuh bakau dan sangat tidak memungkinkan dilakukan budidaya rumput laut," beber Kadir.

Tak hanya itu, pihak PT. PP dan PT. Pelindo selaku pelaksana pengerjaan sekaligus pembayar uang sewa lahan negara juga patut dimintai pertanggung jawaban. Karena dianggap lalai dan tidak cermat sehingga membayarkan uang sewa lahan begitu saja.

“Hal itu juga dikuatkan dari pengakuan saksi ahli yang dihadirkan Kejati Sulsel waktu sidang Buloa digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar saat itu,” terang Kadir

Dimana, kata dia, perusahaan BUMN tersebut dinilai turut andil berperan menimbulkan kerugian negara.

“Ada unsur kelalaian dari pihak BUMN yang bersangkutan, baik itu PT. PP dan PT Pelindo yang secara tidak cermat membayarkan uang sewa pada oknum yang mengkalim lahan negara ,”kata Kadir mengutip pengakuan Ahli Hukum Keuangan Negara asal Universitas Airlangga, Surabaya, Siswo Wijanto saat memaparkan kesaksiannya dalam sidang perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara buloa yang mendudukkan tiga orang terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti di Pengadilan Tipikor Makassar, Senin 30 Oktober 2017.

Menurut mantan Sekretaris Departemen Keuangan RI tersebut, kata Kadir, penyewa lahan dalam hal ini PT. PP dan PT. Pelindo tidak bertindak profesional sebelum melakukan pembayaran kepada pihak yang mengaku sebagai penggarap lahan.

“Harusnya selaku penyewa lahan mengetahui betul seluk-beluk lahan. Harus diketahui, PBB itu bukan surat hak milik, sementara surat garap juga tidak bisa jadi dasar, makanya ketika BUMN melakukan transaksi, jelas itu bisa disebut menimbulkan kerugian negara dan itu kelalaian,” ungkap Kadir melanjutkan kutipan Siswo saat memberikan keterangan keahliannya dihadapan Majelis Hakim perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara buloa yang dipimpin langsung oleh Bonar Harianja kala itu.

Lebih jauh, kata Kadir, Siswo juga menjelaskan bahwa ada dua tipe aset negara, yakni aset potensial dan operasional.

“Nah kalau melihat data lahan dalam perkara Buloa ini, area tersebut merupakan aset potensial,” tutur Kadir mengutip kesaksian Siswo dalam persidangan saat itu.

Siwo bahkan mengatakan sangat mudah membuktikan terjadinya kerugian negara dalam perkara Buloa tersebut. Pertama sambung dia, merujuk pada keberadaan surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dijadikan dasar untuk menerima uang sewa lahan.

“PBB sebenarnya bukan dasar kepemilikan lahan, apalagi sudah sangat jelas sejarah lahan ini merupakan aset potensial negara yang timbul karena hasil reklamasi atau sengaja ditimbun," beber Kadir mengutip penjelasan Siswo dihadapan Majelis Hakim.

Sehingga menurut Siswo, lanjut Kadir, secara teori lahan Buloa tersebut merupakan aset negara yang disewakan karena kelalaian dan tidak dengan cara prefesional dan akhirnya menimbulkan kerugian negara.

“Meski timbul izin garap, itu bukan dasar transaksi sewa-menyewa, sebab jika negara membutuhkan untuk kepentingan negara, wajib bagi penggarap menyerahkan lahan itu,” ucap Kadir mengutip penegasan Siswo dalam persidangan kala itu.

Sementara peran ketiga orang terdekat Jentang sendiri. Yakni Edy Aliman, Johny Aliman dan Ulil Amri, dimana rekening Edy maupun Johny disebut sempat mengendap atau digunakan dalam menerima transferan uang sewa lahan Buloa.

Ulil Amri sendiri, dimana sejak awal hingga akhir pembayaran sewa lahan selalu terlibat. Bahkan dalam proses penyidikan ia dinilai sebagai aktor intelektual yang mengadakan seluruh dokumen perjanjian sewa lahan negara Buloa.

Nama Ulil masuk dalam salah satu nama penting turut disebut di dalam berkas dakwaan perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo, Makassar yang menjerat Muh. Sabri, Asisten 1 Bidang Pemerintahan Pemkot Makassar sebagai terdakwa.

Selain Ulil, Owner PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jentang Bin Liem Eng Tek turut disebut. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irma Ariani, dalam berkas dakwaan menyebut, Jentang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara Buloa.

Proses terjadinya penyewaan lahan negara disebut terjadi setelah difasilitasi Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT Pembangunan Perumahan (PP) dengan Rusdin dan Andi Jayanti Ramli selaku pengelola tanah garapan yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.

Bukti keduanya adalah pengelola tanah garapan didasari surat keterangan tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 yang diketahui oleh Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin, sementara Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.

Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jentang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya.

“Pertemuan pertama terjadi pada 28 Juli 2015 bertempat di ruang rapat Sabri selaku Asisten 1. Pada pertemuan itu terjadi negosiasi antara kedua belah pihak,” terang Irma.

Kemudian lanjut pada pertemuan kedua pada tanggal 30 Juli 2015. Dimana Jentang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin yang bertindak mewakili Jayanti. Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp500 juta atau lebih rendah dari tawaran Jentang cs yang meminta nilai Rp1 miliar.

Draf sewa lahan akhirnya disetujui dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu Jalan Gunung Bawakaraeng. Dalam pertemuan ini kembali dihadiri oleh Jentang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.

Akhirnya pada tanggal 31 Juli 2015 di Kantor Cabang Mandiri, PT. PP melakukan pembayaran terhadap Rusdin dan Jayanti yang juga kembali dihadiri oleh Jentang dan Ulil Amri. Uang senilai Rp500 juta itu pun diterima Rusdin namun di bagi dua dengan Jayanti Ramli.

 


Peran Jentang

Tim Tabur Intelijen Kejagung berhasil menangkap Jentang setelah dua tahun lebih buron dalam kasus dugaan korupsi lahan negara di Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Jentang ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dalam proyek penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

Hal itulah kemudian penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.

Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.

Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.

Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.

“Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya,” kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.

Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.

“Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut,”tegas Jan.

Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.

“Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” Jan menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya