Aneka Detail Tenun Ikat Dayak yang Memikat

Pendiri Jaga Wastra, Neneng Rahardja berbagi cerita di balik tenun ikat Dayak yang sarat makna.

oleh Putu Elmira diperbarui 18 Des 2019, 05:01 WIB
Pendiri Jaga Wastra, Neneng Rahardja memperlihatkan Tenun Ikat Dayak Sintang. (dok. Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Kain tradisional Nusantara tidak hanya memiliki beragam motif dan warna cantik, tetapi juga sakral dan bermakna mendalam. Maka itu, kesadaran untuk melestarikannya harus terus digalakkan.

Wujud nyata dari upaya itu terekam jelas dalam jejak pegiat kain tradisional, Jaga Wastra. Komunitas yang dibentuk pada 2017 itu memamerkan pesona sekaligus cerita deretan wastra dalam berbagai kesempatan.

Perhatian Jaga Wastra turut tertuju pada tenun ikat Dayak Sintang dari Kalimantan Barat. Hal ini adalah bukti keseriusan mereka dalam merangkul, merevitalisasi, dan mewartakan warisan budaya wastra agar jadi perhatian dan bisa diadopsi sebagai gaya hidup, terutama kaum urban.

"Setelah kami telusuri dan wartakan ke teman-teman ternyata (tenun ikat Dayak) punya kekhasan sendiri dari motif, makna, dan filosofi karena motifnya bahasa lambang," kata pendiri Jaga Wastra Neneng Rahardja di Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 16 Desember 2019.

Terdapat satu ciri dari tenun ikat Dayak yang tidak dimiliki oleh tenun dari daerah lain. Perbedaan itu dapat ditemukan lewat motif seligi beras.

"Ciri khas pinggirnya ada garis, selalu ada di tenun ikat Dayak namanya motif seligi beras yang artinya beras berbaris dan bisa dibayangkan betapa sejahteranya kita," lanjut Neneng.

Ada pula motif ticak sarawak yang sebetulnya adalah cicak yang dianggap binatang sakral oleh masyarakat setempat. Jika ada decak cicak, rumah itu dianggap adem, nyaman, dan decak itu seperti membenarkan perkataan penghuni rumah.

"Banyak sekali bahasa-bahasa lambang. Seperti tiang kebuk adalah dua tiang yang disambung dan tengahnya dilubangi, itu pesan zaman dulu nenek moyang berpesan pada anak cucu terutama laki-laki," kata Neneng.

Ia melanjutkan, bunyi pesan tidak lain, jika laki-laki ingin berkeluarga harus bisa memiliki tiang kebuk untuk membangun jadi penopang rumah. Hal tersebut di zaman sekarang pun terasa masih relevan.

"Setiap anak laki-laki kalau mau berkeluarga untuk melindungi anak istri harus bisa membangun rumah. Jadi itulah muatan-muatan makna dan filosofinya yang harus disampaikan ke generasi penerus kita," jelasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tenun Ikat Dayak Iban

Pendiri Jaga Wastra, Neneng Rahardja memperlihatkan Tenun Ikat Dayak Iban. (dok. Istimewa)

Tenun yang tidak kalah menarik adalah tenun ikat Dayak Iban yang memiliki motif totem. Tepat di bagian bawah terdapat motif burung enggang.

"Saat saya cari mana burungnya, ternyata di kain itu hanya buntutnya si burung enggang. Mereka meyakini, burung enggang sebagai lambang anggun, cantik, tapi juga menjadi roh baik penjaga manusia," kata Neneng.

Motif tersebut tidak dapat sembarangan digunakan. Neneng juga menyampaikan pesan perajin tenun ikat Dayak Iban dengan motif totem adalah motif sakral mereka.

"Kalau Dayak itu dengar kisahnya seram. Zaman dulu mereka harus bisa memenggal kepala baru boleh bikin tenun. Kita sangat kaya kebudayaan, kepercayaan zaman dulu. Semua ada kisahnya," tutupnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya