Liputan6.com, Cirebon - Biasanya, momen pergantian tahun menjadi kesempatan perajin terompet di Desa Jamblang, Kabupaten Cirebon untuk memenuhi permintaan pasar.
Namun, belakangan para perajin terompet Cirebon tersebut mengeluh karena pembelian menurun. Padahal, terompet menjadi salah satu mainan yang banyak dipakai masyarakat dalam menyambut pergantian tahun.
Baca Juga
Advertisement
Salah seorang perajin terompet Desa Jamblang Carti mengaku, penurunan jumlah pesanan sudah terasa dalam dua tahun terakhir.
"Embusan isu adanya bakteri dan bahan yang digunakan membuat terompet adalah kertas yang bertuliskan Arab. Omzet terasa penurunannya jutaan rupiah," kata dia, Rabu (18/12/2019).
Dia menyebutkan, sebelumnya para perajin terompet di Desa Jamblang Kabupaten Cirebon membuat 2.000 hingga 3.000 kodi dalam sekali produksi. Tiap tahun, kata dia, motif dan desain terompet pun berbeda-beda.
Sejak diembuskannya isu bakteri dan tulisan Arab dalam bahan baku kertas di terompet, Carti hanya melayani 500 kodi pesanan terompet.
"Mau tidak mau dan kebanyakan desain dan motif terompet hasil produksi tahun lalu," kata dia.
Dia menyebutkan, harga satu kodi terompet bervariatif sesuai dengan jenis dan bentuk terompet itu sendiri. Mulai dari Rp40 ribu hingga Rp70 ribu per buah.
Imbas isu bakteri dan tulisan Arab tersebut, Carti terpaksa tidak lagi mempekerjakan orang untuk membuat pesanan Terompet Cirebon. Padahal sebelumnya, Carti mampu mengajak lima orang membantunya membuat pesanan terompet.
Bertahan Hidup
"Setelah sepi ya saya sendiri yang bikinnya sambil jagain warung yang saya buka ini. Pengecer juga hanya bisa menjual satu kodi terompet sekarang," aku dia.
Sementara itu, Abdullah anak pertama Carti mengaku usaha terompet yang dibangun oleh keluarganya ini sudah 14 tahun. Dia menyebutkan, terompet dengan desain merupakan yang paling laku dijual. Harga terompet naga sendiri bisa mencapai Rp100 ribu per kodi.
"Sekarang digudang saja masih sisa bahan baku buat 1.000 kodi terompet yang biasa, dan kita jual dengan jenis terompet ini dalam sekodi kita jual Rp8 ribu," dia menjelaskan.
Untuk tetap bertahan hidup, dia bersama keluarga membuat dan menjual mainan hingga ke Brebes, Tegal, Pati, dan Tanggerang. Menurut dia, ada perbedaan signifikan ketika menjual mainan dan terompet. Dia menyebutkan, sebelum terjadi penurunan omzet, terompet hasil produksinya bisa menerima pesanan hingga ke Makassar dan Bau-bau.
"Kalau usaha terompet itu untungnya kecil tapi omzetnya besar, beda sama jualan mainan yang harus sampai ke luar kota dan itu bisa menghabiskan biaya operasional yang besar," dia menandaskan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement