Liputan6.com, Purbalingga - Petani identik dengan orang-orang tua. Bahkan, itu mengejawantah ke lukisan-lukisan Mooi Indie, yang begitu akurat menggambarkan keindahan alam pedesaan.
Jarang sekali petani digambarkan sebagai pemuda gagah nan tampan atau gadis jelita. Terkecuali, potret dua sejoli kasmaran yang hendak menikah.
Identifikasi itu rupanya tak salah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, petani di Jawa Tengah berjumlah 4.469.728 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 72 persen di antaranya adalah petani yang telah berusia di atas 45 tahun.
Baca Juga
Advertisement
Sisanya, sebanyak 28 persen merupakan petani usia produktif di bawah usia 45 tahun. Prosentase itu menunjukkan jarang sekali ada anak muda, apalagi generasi millenial yang tertarik bertani.
Namun, apa yang terjadi di Purbalingga ini bisa jadi awal dari perubahan sejarah. Anak muda di lereng Gunung Slamet kini mulai tertarik bertani, dengan cara beda. Boleh dibilang, petani kekinian.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Purbalingga, Sediyono berujar, petani muda di Purbalingga kini justru paling diandalkan dalam penerapan sistem minapadi, yakni penggabungan pertanian padi dengan budidaya ikan.
Anak muda dinilai lebih responsif terhadap pengetahuan atau teknik baru. Mereka pun lebih familiar dengan teknologi canggih.
Minat anak muda untuk budidaya minapadi tak lepas dari potensi penghasilan yang tinggi dari penggabungan pertanian dan perikanan ini. Petani, akan memperoleh dua keuntungan sekaligus dalam sekali musim tanam.
Simak video pilihan berikut ini:
Aquascape dan Pembenihan Ikan
"Sebelumnya kan tidak tahu hasilnya seperti apa. Sekarang setelah terjun, justru yang banyak diandalkan di minapadi adalah petani-petani yang relatif muda," katanya, Selasa, 16 Desember 2019.
Meski secara faktual jumlah tanaman padi yang ditanam berkurang karena untuk kamalir atau genangan air di pinggir petakan, tetapi produktivitas padi justru meningkat. Minapadi mampu meningkatkan hasil panen padi antara 10-20 persen per hektare.
Peningkatan produktivitas padi ini masih ditambah dengan penghasilan tambahan dari panen ikan. Keuntungan yang tinggi ini lah yang menyebabkan anak muda tertarik bertani dan membudidayakan ikan.
"Keuntungan lainnya dalam tiap hektare bisa panen antara satu sampai 1,2 ton ikan Nila per hektare," dia mengungkapkan.
Di Purbalingga, kini ada 35 hektare area minapadi yang dikelola oleh lima kelompok berbeda. Dari lima kelompok itu, satu di antaranya adalah Kelompok Tani Krida Remaja, di Desa kedungwuluh, Kecamatan Kalimanah.
Sediyono bilang budidaya perikanan khusus hobi pun kini dikuasi anak muda. Misalnya, ikan hias, akuarium, dan aquascape.
Aquascape adalah mengatur tanaman air, karang, bebatuan dan komponen hias lainnya. Aquascape memerlukan keahlian dan pengalaman khusus. Anak muda lebih menguasai ilmu terapan ini.
Beberapa waktu terakhir aquascape memang sedang naik daun. Potensi pemasarannya pun meningkat seturut popularitasnya yang naik.
"Pembenihan ikan lele juga nyaris dikuasai anak muda Purbalingga," dia menerangkan.
Adapun di sektor pembenihan ikan, anak muda cenderung memilih pekerjaan yang praktis tetapi berpotensi penghasilan tinggi. Beberapa di antaranya juga lantaran dipengaruhi hobi.
Advertisement
Mekanisasi Pertanian dan Perubahan Budaya Tani
Di sisi lain, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan minat anak muda untuk bertani. Salah satunya dengan mekanisasi pertanian. Mekanisasi yang dimaksud adalah penerapan teknologi canggih.
Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Purbalingga, Mukodam mengatakan, penggunaan alat canggih akan mengurangi ketergatungan tenaga terampil manusia. Misalnya, mesin pembajak dan pemanen otomatis.
Menurut dia, alat canggih akan membuat pekerjaan semakin ringan. Anak muda pun akan lebih tertarik untuk bertani.
Dia juga berharap ada pergeseran minat anak muda. Dia yakin, anak muda akan membuat pertanian semakin maju. Pasalnya, teknologi akan lebih mudah diterapkan.
"Anak muda itu lebih bisa menerima dan menerapkan teknologi baru," ucap Mukodam.
Salah satu yang perlu diubah dari petani adalah budaya menunggu alias santai. Mukodam mengimbau agar kini petani menerapkan sistem pethuk, yakni budaya pertanian yang serba cepat.
Langkah itu dilakukan untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP). Dengan begitu, produktivitas pun akan meningkat.
"Yang tadinya satu, bisa dua, yang dua bisa tiga," katanya.
Menurut Mokodam, sistem pethuk juga tepat diterapkan di wilayah yang suplai airnya minim. Misalnya, sawah tadah hujan. Dengan begitu, ketika tiba musim kemarau, tanaman padi sudah relatif tua dan resisten cekaman kekeringan.
Dalam sistem pethuk petani akan menebar benih lebih cepat dari biasanya pada awal penghujan. Kemudian, pada musim tanam kedua, sebelum panen raya, petani menyediakan lahan untuk penebaran benih.
"Begitu panen raya sawah langsung bisa diolah dan ditanami lagi. Jadi lebih cepat," ujarnya.
Dia mengakui, sebagian petani di Purbalingga masih lambat dalam pengolahan lahan dan penebaran benih. Hal ini mengakibatkan kemungkinan gagal panen lebih besar. Contohnya, pada 2018 di mana sawah puso di Purbalingga mencapai 300 hektare lebih.
Namun, dia yakin Purbalingga masih surplus beras meski terjadi kemarau yang lebih panjang dari biasanya. Pada 2018 lalu, Purbalingga surplus beras 69 ribu ton lebih.