Film Surga Kecil di Bondowoso dan Protes Orang Madura

Prolog dalam film ini dianggap mencederai citra orang Madura.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 21 Des 2019, 05:00 WIB
Ketua Aliansi Pemuda Kwanyar saat menyerahkan protes tertulis ke Wakapolres Bangkalan

Liputan6.com, Bangkalan "Ikan di lautan jangan dipepes semua," ungkapan ini menggambarkan pikiran Mohamad Syafi'i saat memprotes pandangan tokoh Ustaz Nur Salim tentang orang Madura dalam film Surga Kecil di Bondowoso. Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak bahkan menilai bagus film itu sebagai sebuah tontonan.

Nur Salim, aktor utama dalam film itu, digambarkan seorang Madura. Namun selepas nyantri di Pesantren Sidogiri, dia ogah balik ke tanah kelahirannya, karena watak orang Madura keras dan sepertinya tidak menghargai perempuan.

Ucapan Nur Salim di prolog dalam film tersebut menuai protes, termasuk Aliansi Pemuda Kwanyar yang dikomandani Syafi'i.

Sebuah protes tertulis mereka sampaikan ke Polres Bangkalan dan diterima oleh Wakapolres Komisaris Deky Hermansyah.

Mereka mendatangi polres karena institusi ini di beberapa daerah sempat menggelar nobar film yang berlatar kehidupan warga Desa Karanganyar, Bondowoso.

"Itu sangat menyudutkan kami sebagai orang Madura. Dan itu mendiskriminasikan salah satu suku namanya," kata Syafi'i kepada Liputan.com, Rabu (18/12/2019).

Salinan surat protes itu, kata Syafi'i, juga telah dilayangkan ke gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta.

"Jika dalam jangka waktu dua minggu tidak ada jawaban dari kementerian, maka kami akan mengadakan aksi," katanya.


Ulasan Film

Masjid Syaichona Cholil di Desa Martajesah Bangkalan ini muncul dalam film surga kecil di Bondowoso

Surga Kecil di Bondowoso merupakan film garapan Nia Dinata, sutradara yang dikenal lewat film Arisan. Film tentang emansipasi ini menjadi perhatian, sampai-sampai Menteri PPPA menyerukan nobar, setelah ditayangkan di festival film dokumenter Internasional di Amsterdam.

Nur Salim, sang aktor, adalah tipe lelaki yang lembut dan langka. Ia tak menyukai kekerasan dan tak pamrih untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang umumnya dikerjakan seorang istri.

Jiwa lembut Nur Salim itu menemukan panutan ketika nyantri ke Pesantren Sidogiri. Dia belajar pada seorang kiai yang tak sungkan mencuci, tidak hanya bajunya sendiri, tapi juga baju ibu nyai.

Maka, ketika lulus dan tiba saatnya mengabdi ke masyarakat. Nur Salim memilih lokasi tugas di luar Madura. Karanganyar, sebuah desa di Kabupaten Bondowoso, ia pilih sebagai tempat mengabdi dengan status guru tugas.

Merasa nyaman dengan kehidupan di sana, dia pun menetap dengan mempersunting kepala sekolah tempatnya mengajar. Dan ia tak keberatan bila selama menikah istrinya tak intens mengurus rumah tangga karena kesibukan yang padat sebagai kepala sekolah.

Nur Salim pun bersepakat, ia yang akan mengurus rumah, memasak hingga mengurus anak, sementara istrinya hanya sesekali di saat sempat.

Perlahan, sikap Nur Salim membawa pengaruh dan menjadi panutan. Banyak kepala keluarga lain meniru jejaknya, turut mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Pengaruh ini yang mungkin menarik perhatian Nia Dinata untuk memfilmkannya pada 2013. Karena tak ditemukan di daerah, maka Karanganyar dia ibaratkan sebuah surga kecil di Bondowoso.

Dan soal prolog itu, kata Syafi'i, orang Madura mungkin memang keras. Namun dalam hal tidak menghargai perempuan, bisa dilakukan siapa saja, suku mana saja. Jangan pukul rata.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya