Usul Revisi UU Tipikor, KPK Akan Surati Jokowi

Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan, selain ke Jokowi, pihaknya akan bersurat ke DPR untuk mengusulkan draf revisi UU Tipikor.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 19 Des 2019, 15:30 WIB
KPK mengusulkan revisi UU Tipikor ke Presiden dan DPR. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mendorong Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Undang-Undang Tipikor yang dimaksud adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan, selain ke Jokowi, pihaknya akan bersurat ke DPR untuk mengusulkan draf revisi UU Tipikor yang telah disusun bersama sejumlah ahli terkait.

"Hari ini pimpinan berlima akan menulis surat kepada presiden dan DPR untuk memasukkan usulan atau draf RUU Tipikor ini. Sebelum kami meninggalkan kantor KPK," tutur Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).

Menurut dia, UU Tipikor yang berlaku di Indonesia belum mengadopsi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 secara menyeluruh.

"Mudah-mudahan usulan ini bisa diterima oleh pemerintah, bapak Presiden, dan DPR terutama Komisi III. Harapan kita segera masuk Prolegnas. Kita kawal bersama terwujudnya UU Tipikor yang baru," jelas Agus.

Salah satu negara yang sudah sepenuhnya menjalankan UNCAC adalah Singapura. Agus menyebut, sejumlah poin yang masuk dalam revisi UU Tipikor ini antara lain korupsi di sektor swasta, perdagangan pengaruh, konflik kepentingan, hingga memperluas definisi pejabat publik.

"Makanya supaya ini dibahas, Anda semua ikut ngawal ya. Para ahli ikut ngawal, teman-teman Perguruan Tinggi ikut ngawal, media ikut ngawal, rakyat semua ikut ngawal. Jadi yang paling baik untuk negara kita terkait dengan UU Tipikor seperti apa, ya mari kita kawal," kata Agus.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Hal-Hal yang Belum Terakomodasi

Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah), dosen hukum pidana Unpar Agustinus Pohan (kiri), dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarief saat menjadi pembicara diskusi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/12/2019). Diskusi membahas gagasan perubahan UU Tipikor. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menambahkan, penegak hukum baik itu Polri, Kejaksaan Agung, dan lembaga antirasuah sendiri, merasakan banyaknya hal yang tidak terjangkau oleh UU Tipikor.

"Itu terbukti dengan review dari UNCAC yang dikerjakan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Saya masih ingat, saya dimintai pendapat oleh reviewer-nya. Yang kedua dari Ghana dan dari Yaman temuannya mengatakan bahwa UU Tipikor kita belum kompatibel," ujar Laode.

Beberapa pasal yang belum masuk dalam UU Tipikor saat ini, lanjut dia, di antaranya penyuapan terhadap pejabat publik asing, perdagangan pengaruh yang belum jelas, juga pemulihan aset hasil korupsi.

"Khusus untuk asset recovery sebenernya sudah lama di DPT tapi mereka tidak memperbaikinya, tidak menyelesaikannya bahkan tiba-tiba UU KPK yang diubah," bebernya.

Laode turut menyinggung revisi UU KPK yang mendadak muncul. Tidak tampak adanya kajian akademik, DIM, serta pemangku kepentingan utama yang terlibat dalam merancang RUU KPK tersebut. Berbeda dengan usulan RUU Tipikor yang telah melalui kajian mendalam para ahli.

"Oleh karena itu kita menginginkan pada pemerintah dan ada suratnya semua, dan DPR untuk mengubah UU Tipikor. Bahkan ketika pembahasan UU KUHP kita lapor ke Presiden berlima, Presiden setuju. Mengatakan bahwa Pasal UU Tipikor tidak akan masuk dalam RKUHP. Apa yang terjadi? Masuk dalam RKUHP. Apakah ada naskah akademik seperti ini? Tidak ada. Jadi saya pikir kita ini kaget kagetan. Akhirnya yang lahir juga pasal kaget di dalam UU KPK," Laode menandaskan. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya