Apple, Amazon dan Google Kolaborasi Bikin Perangkat Smart Home Makin Kompatibel

Apple, Amazon.com, dan Google bekerja sama untuk membuat produk-produk smart home (rumah pintar) lebih kompatibel.

oleh Andina Librianty diperbarui 20 Des 2019, 10:30 WIB
Ilustrasi Apple (AP Photo/Mary Altaffer, File)

Liputan6.com, Jakarta - Apple, Amazon.com, dan Google bekerja sama untuk membuat produk-produk smart home (rumah pintar) lebih kompatibel. Zigbee Alliance yang anggotanya termasuk IKEA dan NXP Semiconductors juga akan bergabung dengan projek tersebut.

Dilansir Reuters, Jumat (20/12/2019), projek kerja sama tersebut bernama Connected Home over IP. Kerja sama ini dilatarbelakangi oleh kompetisi yang semakin ketat di antara perusahaan-perusahaan teknologi global untuk mendominasi pasar perangkat pintar.

Kelompok ini bertujuan memudahkan produsen perangkat untuk membuat produk yang kompatibel dengan smart home , dan layanan suara seperti Alexa, Siri, dan Google Assistant.

Ini bukan kali pertama kerja sama serupa dilakukan. Awal tahun ini, konsorsium lain yang dipimpin oleh Amazon meluncurkan inisiatif untuk memungkinkan pengguna mengakses Alexa, Cortana, dan asisten virtual berbasis suara lain, dari satu perangkat.


Apple, Google, Microsoft dkk Digugat karena Pekerjakan Anak di Tambang Kobalt

Kantor pusat Google di Mountain View. Liputan6.com/Jeko Iqbal Reza

IRAdvocates mengajukan gugatan class action atas meninggal, dan terlukanya pekerja anak di dalam terowongan tambang kobalt di Republik Demokratik Kongo. Perusahaan teknologi seperti Apple, Alphabet (Google), Dell, Microsoft, dan Tesla digugat sebagai terdakwa.

Kobalt merupakan elemen penting dari baterai lithium-ion yang dapat diisi ulang. Biasanya baterai lithium-ion di tempatkan di produk-produk seperti smartphone dan mobil listrik.

Penggugat memiliki bukti perusahaan-perusahaan tersebut secara khusus membantu, dan bersekongkol dengan tambang yang menyalahgunakan dan mengambil untung dari anak-anak penambang kobalt.

"Anak-anak muda yang menambang kobalt tidak hanya dipaksa untuk bekerja paruh waktu, tetapi juga penuh waktu. Padahal pekerjaan tambang sangat berbahaya, mengorbankan pendidikan dan masa depan mereka," demikian keterangan yang tertulis pada gugatan tersebut, seperti dilansir Gizmochina, Selasa (17/12/2019).

Di dalam gugatan diungkapkan, anak-anak tersebut menjadi cacat dan ada yang meninggal terkena reruntuhan tambang.

Penggugat juga ingin perusahaan-perusahaan teknologi tersebut mendanai perawatan medis yang tepat untuk korban, dan membersihkan dampak lingkungan.

"Ini merupakan impunitas bagi mereka yang secara ekonomi mendapat manfaat dari pekerja anak di industri pertambangan di Kongo. Anak-anak juga memiliki hak melekat dan tidak dapat dicabut. Mereka berhak dilindungi dari eksploitasi ekonomi," kata Dr Liwanga, seorang pemerhati hak anak-anak di Kongo.

(Din/Ysl)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya