Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengungkapkan, seharusnya Ujian Nasional atau UN sudah dihapus 10 tahun lalu. Namun karena ada campur tangan Jusuf Kalla atau JK, kebijakan itu urung dieksekusi.
"Sebenarnya kita mau menghapuskan itu. Tapi namanya di dalam policy pak, kan ada pertimbangan politik. Ini saya terus terang ajalah di ruangan ini. Dulu yang mengawali kan Pak JK ya," kata Hetifah di Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Advertisement
Hetifah yang merupakan kader Partai Golkar itu mengaku sulit meloloskan kebijakan yang ditentang oleh JK. Apalagi saat itu posisi JK di Golkar sebagai Ketua Umum.
"Akhirnya kita kompromi gitu, komprominya oke UN tidak jadi satu-satunya penentu kelulusan, terus berapa persen dan lainnya," ungkap anggota DPR dapil Kalimantan Timur itu.
Di samping itu, Hetifah juga menyebutkan suasana kebatinan publik kala itu belum sepemahaman mengenai UN. Apalagi tidak adanya basis data yang menunjukkan bahwa UN tidak memberdayakan anak.
"Maka bisa saja akhirnya kompromi politik. Jadi kebijakannya tuh begini bu, mau A mau B, komprominya A, action. Terkadang aneh juga sih, tapi di dalam politik kita selalu ada namanya kontestasi policy," tuturnya.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Harus Ada Standar Nasional
Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 Muhammad Jusuf Kalla atau JK turut mengomentari penghapusan Ujian Nasional atau UN. JK bercerita, sebelum adanya UN, dulu ada sistem pengujian bernama Ebtanas atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional.
Pada sistem ini kelulusan siswa dikatakannya menggunakan rumus 'dongkrak'.
"Sehingga hampir semua peserta didik diluluskan, akibatnya mutu pendidikan terus menurun, padahal Tuhan memberikan kemampuan otak sama dengan orang Amerika atau Jepang, yang beda hanya siapa yang belajar dengan baik dan siapa yang kurang belajar," kata JK di Auditorium UNP, Padang, Kamis (5/12/2019).
JK lalu melontarkan tanya, mengapa anak-anak Indonesia kurang belajar? Jawabannya karena sistem 'dongkrak' yang menggampangkan pelajar Indonesia dengan jaminan lulus.
"Para pejabat seperti bupati, wali kota juga menekan sekolah pada peran guru agar meluluskan murid-muridnya, akhirnya anak-anak merasa tak perlu belajar, toh pasti lulus juga," kritik JK.
Dia melanjutkan, di tahun 2003, Kementerian Pendidikan akhirnya meluncurkan sistem ujian akhir nasional sebelum disempurnakan menjadi ujian nasional pada 2005 yang diharapkan menjadi basis standar mutu merata di seluruh Indonesia.
JK pun yakin dengan sistem Ujian Nasional bisa menguji kemampuan pengetahuan siswa yang sudah seharusnya.
"Kenapa harus ada standar nasional? Karena kalau tidak, kita punya standar berbeda dan itu berbahaya, mutu berbeda maka ada gap dan kesenjangan mutu pendidikan satu daerah ke daerah lain," beber JK.
Munculnya Ujian Nasional diakui JK tak berjalan mulus. Tercatat pada awal penerapannya, 18 persen pelajar dinyatakan tidak lulus ujian. Namun dari tahun ke tahun seiring evaluasi banyak perubahan diciptakan lewat Ujian Nasional.
"Evaluasi bisa dilihat, dilihat perkembangannya, ini yang perlu menjadi catatan," JK menandasi.
Advertisement