Liputan6.com, Jakarta - "Sehari-hari urus rumah tangga, urus keperluan suami, masak, plus tiga kali dalam seminggu ikut kajian. 2019 awal punya anak, sehari-hari benar-benar cuma urus rumah dan anak," kata Amalia Masyitah, seorang perempuan yang menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga (IRT) lewat pesan pada Liputan6.com, Rabu, 18 Desember 2019.
Mengurusi ranah domestik dan output kesehariannya tak berujung pada salary telah sejak lama jadi indikator peran IRT dipandang sebelah mata. Karena anggapan tak memiliki nilai ekonomi, perbandingan di tengah hiruk-pikuk sosial jadi bergeser pada tak berdaya dan berdaya.
"Konsekuensi dari konstruksi patriarki. Social patriarchy dicirikan bagaimana masyarakat memberi nilai," ucap Pengamat Sosial Erna Ermawati Chotim lewat sambungan telepon, Rabu, 18 Desember 2019, soal pandangan dalam tendensi negatif pada ibu rumah tangga.
Baca Juga
Advertisement
Padahal, Erna menekankan, peranan apapun yang diambil perempuan, termasuk jadi full time IRT, titik beratnya lebih pada bagaimana mereka bisa punya akses penuh pada keputusan yang diambil. "Kontrol inilah yang membuka perempuan menyuarakan kebutuhan dan harapan mereka," imbuhnya.
Sayang, selama ini pengambilan peran IRT semata dilatarbelakangi konstruksi budaya dan sosial. "Itu yang kemudian coba dikritisi. Buat saya, peran apapun yang diambil harus dihargai, asal tidak ada keterpaksaan dalam menjalani," tegasnya.
Dalam pandangan Erna, ibu rumah tangga justru memiliki peran kompleks. Mengurusi ranah domestik tak memuat mereka lepas dari kewajiban upgrade kemampuan sebagai bekal, entah untuk diri sendiri, keluarga, terlebih sang buah hati.
"Jam kerja mereka (IRT) sangat panjang. Tidak seperti orang kerja yang bisa berhenti pukul lima atau enam sore. Tidak ada juga yang namanya hari libur. Di akhir bulan, boro-boro mendapat salary atas apa yang sudah dilakukan di rumah tangga, ucapan terima kasih saja kadang tidak," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mengapa Memilih Jadi Ibu Rumah Tangga?
Erna mengatakan, kendati ucapan terima kasih terhitung penting di beberapa kondisi, apresiasi tertinggi seorang ibu rumah tangga adalah jadi bagian dalam kebahagiaan yang dicapai dan tak perlu ada kontestasi antar peranan.
Soal alasan jadi ibu rumah tangga, sebagian besarnya mengimpikasi pada keluarga, di samping menimbang value diri sendiri. "Realitasnya akan melt (kemauan diri dan kebutuhan keluarga). Buat saya, yang pening aksesibilitas pengambilan keputusan untuk dirinya dan kesadaran," ucap Erna.
Rahman Gholy, suami yang istrinya menjalani peran sebagai IRT mengatakan, pengambilan keputusan istri jadi ibu rumah tangga telah melewati proses diskusi, lantaran ingin fokus pada tumbuh kembang anak mereka.
"Sebenarnya jadi IRT adalah pilihan yang berat karena dibanding kerja kantoran seperti sebelumnya, bisa dibilang istri saya malah jauh lebih capai," ucapnya lewat pesan, Kamis, 19 Desember 2019. Untuk itu, Rahman tak keberatan turut berperan mengurusi ranah domestik.
"Di keluarga, saya bertanggung jawab masak, khususnya sarapan dan makan malam, cuci piring, dan buang sampah. Istri untuk cuci baju dan nyapu-ngepel. Sisanya kita gantian saja siapa yang lebih bisa lakuin duluan. Intinya komunikasi," tuturnya.
Sementara, setelah sempat bekerja sebagai floor manager di Australia, staf sekretariat acara gabungan World Bank dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) di tahun 2013, dan sempat jadi dosen mata kuliah umum English for Specific Purposes pada 2014, inner child jadi sebab Amalia memutuskan jadi IRT sejak 2016.
"Kedua orangtua saya bekerja di luar rumah. Dari umur tiga bulan sudah dititip di kakek-nenek yang juga sama-sama bekerja di luar rumah. Seharian diasuh sama pengasuh merangkap ART. Sejak kecil merasa ada yang hilang, tapi tidak tahu apa," ucapnya.
Perempuan 28 tahun ini juga punya kecenderungan tidak sehat untuk gampang jatuh cinta sama lelaki, tidak betah di rumah, susah percaya sama orang, dan beranjak remaja jadi makin rebel. "Setelah dewasa, lalu belajar parenting sadar bahwa itu efek karena tidak pernah dekat sama sosok ibu," tambahnya.
Kendati, Amalia menyebut tak menyalahkan ibundanya. Pasal, beliau hidup dalam masa kecil yang kesulitan secara ekonomi, dalam anggapan Amalia, sang ibu berpikir bisa membuat hidup anak-anaknya lebih baik bila tidak kekurangan secara ekonomi.
"Itu inner child ibu saya. I don’t want my children to be like me or my mother. Jadi, saya putuskan saya harus ada dalam pengasuhan anak-anak," katanya. Peran IRT dinilai Amalia jadi sangat penting karena sebagai medium terapi penyembuhan luka batin.
Advertisement
Value yang Berhak IRT Dapatkan
Terkait value yang berhak didapat IRT, Amalia menuturkan, situasi masing-masing orang berbeda. Ada perempuan yang merasa empowered dengan jadi IRT, ada juga yang merasa empowered dengan bekerja di luar rumah.
"Saya setuju dengan ide, do what works best for you. Ada perempuan yang bekerja di luar rumah, tapi rumah tangga dan anak-anaknya hebat bahagia luar biasa. Ada juga yang jadi IRT anak-anak dan rumah tangganya tidak bahagia," ujarnya.
"Jadi IRT works best for me. Tapi, saya juga tidak merasa bahwa ini pekerjaan hebat mulia luar biasa melebihi ibu pekerja kantoran. Ini cuman panggilan jiwa saya saja yang Alhamdulillah Allah berikan kemudahan dalam keluarga kami menjalaninya," imbuh Amalia.
Menepis anggapan perempuan belum berkontribusi maksimal dalam ekonomi karena memutuskan jadi IRT, Amalia mengatakan, kemandirian secara ekonomi sebenarnya bisa dicapai dengan banyak cara.
"Dalam situasi saya, I’m gratefully privileged. Kami kebetulan punya lebih dari satu sumber income, antara lain dari usaha kosan yang kami bangun berdua setelah pulang dari Australia. IRT lain yang saya kenal juga kebanyakan punya bisnis yang mereka jalankan dari rumah, seperti katering, dropshipping online shopping, dan farming," ujarnya.
"Menurut saya pribadi, setelah ada income yang stabil dan menjanjikan, umunya barulah perempuan akan berani memutuskan resign dari pekerjaan kantornya. Jadi, saya tim kurang setuju dibilang IRT kurang berkontribusi bagi ekonom," sambung Amalia.
Dalam pandangan Rahman, tahu sang istri di rumah bersama anak, membuatnya lebih fokus bekerja, lantaran tahu buah hatinya berada dalam asuhan terbaik. "Sebenernya malah yang membuat suami lebih giat bekerja karena keluarga, khususnya istrinya sendiri, yang akan berbanding lurus dengan keinginan menghasilkan materi lebih besar." katanya.
Terakhir, Amalia menjabarkan makna akan peran IRT yang dijalani. "Saya merasa lebih bahagia bisa memastikan anak saya terasuh dengan baik. Orang-orang bilang saya gila karena memutuskan jadi IRT while I graduated the fastest as the best graduate di jurusan saya. Gaji pertama sudah dua digit di tahun 2013. Tapi, saya punya utang sama hidup anak saya," tuturnya.
"Sekarang, saya jadi growth chart nazi yang sibuk nge-plot pertumbuhan anak, memastikan dia tumbuh dalam kurva yang seharusnya, belajar parenting juga lewat buku-buku, ikut workshop tumbuh kembang anak. Pokoknya saya melakukan hal-hal yang I wish my mother had done when I was little," tandasnya.