Liputan6.com, Jakarta - Proses perubahan bakteri yang resisten terhadap antibiotik ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya dalam hitungan hari saja, mereka bisa beradaptasi.
"Kapan kita bisa kena resistensi antibiotik, itu hitungannya hari," kata Hari Paraton, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikrobial (KPRA) di Jakarta, ditulis Sabtu (21/12/2019).
Advertisement
"Jadi tidak perlu bulanan atau mingguan, kita minum beberapa hari saja sudah terjadi proses resistensi," kata Hari dalam temu media, Kamis lalu.
Hari mengatakan, seringkali pemberian antibiotik yang tidak sesuai dengan kebutuhan bisa membuat bakteri dalam tubuh resisten karena pengobatan yang tidak tepat. Hal ini karena obat yang diberikan belum tentu sesuai dengan bakteri yang ada.
Hari mencontohkan, seringkali ketika seseorang terkena stroke, dia akan dipasang infus dan kateter. Karena dokter takut terjadinya infeksi, maka diberikanlah antibiotik.
"Lima hari kemudian dia bisa kena sesak napas karena terjadi infeksi paru-paru," kata Hari.
Pasien Bisa Meninggal
Karena kondisi tersebut, seringkali pasien malah meninggal karena infeksi bakteri resisten yang merupaka efek samping pemberian antibiotik yang tidak tepat.
Maka dari itu, selain masyarakat yang diminta lebih bijak dalam mengonsumsi antibiotik, dokter juga dirasa masih memerlukan edukasi soal masalah ini.
Hari percaya, hal tersebut bisa jadi karena ketidaktahuan dokter terhadap penyakit. Di sisi lain, ini juga terjadi karena kurangnya sarana diagnostik berupa pelayanan mikrobiologi.
"Misalnya infeksi paru-paru. Bisa bakteri A, B, C, D, itu yang mana. Tiap bakteri antibiotiknya sendiri-sendiri," kata Hari.
Hari mengungkapkan, berdasarkan sebuah data surveilans yang dihimpun KPRA pada 2013, 2015, hingga 2019, terjadi kenaikan angka bakteri yang resisten antibiotik di Indonesia. Dari 40 persen menjadi 60 persen, dan terakhir 60,4 persen.
Advertisement