Laporan Ini Menguak Karhutla Indonesia Lebih Buruk dari Kebakaran Hutan Amazon

Kebakaran hutan menjadi fenomena kelam di Indonesia pada 2019. Pelakunya 99 persen adalah manusia.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 24 Des 2019, 18:35 WIB
Potret Langit Merah di Jambi Akibat Kabut Asap, Siang Gelap Bak Malam Hari (Liputan6/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jakarta - Pada 2019, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali terjadi di Indonesia. Akibat kebakaran itu, hak manusia untuk bernapas menjadi terganggu, anak-anak sampai tak bisa sekolah karena terpaksa akses pendidikan tutup, bahkan warna langit di Jambi sampai berubah merah.

Pada laporan Quarterly Review Bank Dunia yang rilis bulan ini, dampak kebakaran yang terjadi di Indonesia ternyata lebih buruk dari kebakaran di Hutan Amazon, Brasil, yang juga terjadi tahun ini.

Berdasarkan laporan Bank Dunia, luas karhutla di Indonesia mencapai 620.201 hektar atau setara sembilan kali luas Jakarta. Polusi udara dari karhutla Indonesia juga hampir dua kali lipat lebih buruk dari kebakaran besar di hutan Amazon.

"Emisi karbon dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2019 diperkirakan mengeluarkan emisi dua kali lipat dari emisi kebakaran hutan Amazon di Brasil tahun tahun ini," tulis laporan Bank Dunia seperti dikutip Selasa (24/12/2019).

Data Bank Dunia berasal dari Copernicus Atmostphere Monitoring Service (CAMS).

Padahal, kebakaran hutan Amazon amatlah parah, bahkan menjadi sorotan dunia internasional mengingat Amazon merupakan paru-paru dunia. Namun, emisi karhutla di Indonesia ternyata melebihi yang terjadi di sana.

Karhutla di Indonesia disebut 99 persen sebagai ulah manusia (man-made), yang ingin membuka lahan baru dengan mudah. Wilayah yang kena dampak paling parah adalah Kalimantan Tengah, Selatan, dan Barat. Warga Malaysia dan Singapura pun ikutan rugi akibat karhutla Indonesia.

Kebakaran yang terjadi pada Juni-Oktober 2019 merugikan sektor ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Secara ekonomi, kerugian aktivitas ekonomi akibat karhutla mencapai USD 5,2 miliar (0,5 persen GDP). Angka itu mencapai seperempat hasil ekspor sawit pada 2018, yakni USD 20,5 miliar.

Sektor-sektor yang terdampak karhutla adalah transportasi, perdagangan, wisata, infrastruktur, industri, lingkungan dan agrikultur.

Ratusan sekolah, termasuk di negara tetangga, ikut tutup akibat asap karhutla. Hingga September lalu, 900 ribu orang juga terkena gangguan pernapasan sehingga memberikan efek jangka panjang.

Saksikan Video Pilihan Berikut:


Reputasi Sektor Sawit Makin Merosot

Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Laporan Bank Dunia juga menyorot reputasi sektor sawit yang makin merosot di dunia internasional akibat kebakaran ini. Pihak Indonesia pun diprediksi akan terjegal kasus kebakaran hutan ketika menggugat WTO di Uni Eropa.

Seperti diketahui, aturan berkelanjutan Uni Eropa berencana untuk mengurangi impor biofuel yang bahannya dianggap merusak hutan. Aturan itu dilakukan lewat regulasi bernama Renewable Energy Directive (REDII). Uni Eropa menganggap sawit sebagai salah satunya sehingga memancing protes Indonesia.

"Kebakaran hutan dan kabut asap yang kerap terjadi juga menambah persepsi negatif dunia terhadap produksi minyak sawit Indonesia yang membuat permintaan dari negara-negara Eropa menurun,begitu juga rencana Uni Eropa untuk mengurangi biofuel berbahan minyak sawit pada 2030," tulis Bank Dunia.

Bank Dunia pun menyarankan agar Indonesia bisa menerapkan strategi efektif untuk mengurangi kebakaran hutan agar tidak merugikan manusia dan reputasi sawit.

Beberapa saran yang diberikan adalah memperkuat kebijakan moratorium, revitalisasi lahan gambut, dan mentransformasi ekonomi daerah-daerah lahan gambut menjadi ekonomi berdasarkan air seperti budi daya perairan dan ekowisata.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya