OJK: Indonesia Perlu Alternatif Pendorong Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia turut terkena imbas dari pertumbuhan ekonomi global yang mengalami perlambatan.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Des 2019, 21:00 WIB
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso saat menggelar jumpa pers tutup tahun 2018 di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (19/12). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengakui rasio kredit bermasalah (NPL/non performing loan) perbankan dalam negeri mengalami peningkatan di saat penyaluran kredit melambat.

Sesuai dengan Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Desember 2019, NPL perbankan pada Oktober meningkat jadi 2,73 persen (gross) dan 1,25 persen (nett).

Menanggapi itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan sebagai imbas pertumbuhan ekonomi global yang mengalami perlambatan. Meski begitu, Indonesia terbilang lebih baik dari negara lain.

Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang masih di atas 5 persen. "Kita masih mending, negara lain lebih parah," kata Wimboh di rumah dinas Menteri Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Jalan Widya Chandra V, Jakarta Selatan, Rabu (25/12).

Namun, lanjut Wimboh Indonesia tidak boleh lengah. Tetap harus mencari alternatif sumber pertumbuhan ekonomi baru. Harus bisa menciptakan sumber baru dari potensi ekonomi yang belum tersentuh.

Untuk itu perlu kerja sama dan sinergi dalam memperluas kesempatan kerja dan memperbesar ekspor. Termasuk bisa lebih efisien dalam proses perizinan agar sinergi lintas sektor mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Sektor keuangan harus lebih proaktif untuk mendorong pertumbuhan," ujarnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir 

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Hanya 5,2 Persen di 2020

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 mendatang berada pada kisaran 5,2 persen. Prediksi tersebut lebih kecil daripada target pertumbuhan ekonomi pemerintah tahun depan yang sebesar 5,3 persen.

Menurut perhitungannya, secara historis pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu minus dibanding target yang ditetapkan sebelumnya.

"Saya pikir 5,2 persen. Kami melihat laporan tahun lalu, secara asumsi makro itu tumbuh 5,3 persen. Ini tidak terlalu jauh, ini gap yang tipis," ujar dia pada The 9th AIFED di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019).  

Kondisi serupa turut terjadi pada 2019. Suahasil mengatakan, pemerintah kesulitan untuk bisa menggapai target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen sepanjang tahun ini. Hal ini lantaran adanya ketidakpastian global akibat perang dagang Amerika Serikat-China.

"Ini dibuktikan dengan kondisi ekonomi global. Sejak awal 2019, kita sulit mencapai 5,2 persen. Kita turun dari 5,2 persen ke (kisaran) 5,0 persen. Kita mencoba menjaga, tapi itu belum cukup," ungkap dia.


Masih Baik

Suasana gedung bertingkat nampak dari atas di kawasan Jakarta, Senin (7/11). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2016 mencapai 5,02 persen (year on year). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kendati begitu, ia menyatakan perolehan tersebut masih menandakan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Berkaca pada pencapaian negara lain dan kondisi global saat ini, pencapaian 5 persen masih tergolong tinggi.

"Dua tahun lalu india 7 persen, sekarang india menuju 5 persen. Brexit tetap menjadi tantangan, perang dagang Amerika Serikat dan China juga masih jadi tantangan," terang Suahasil.

"Dengan 5 persen pertumbuhan ekonomi, para ekonom di ruangan ini pasti akan mengerti bahwa dengan apa yang terjadi di dunia, maka pertumbuhan 5 persen adalah angka yang tinggi," dia menandaskan. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya