Omnibus Law Dituding Hilangkan Pidana Korporasi, Menkumham: Itu Su'udzon Saja

Dalih Omnibus Law demi pertumbuhan ekonomi

oleh Yopi Makdori diperbarui 25 Des 2019, 17:09 WIB
Menkumham Yasonna Laoly (kanan) didampingi jajarannya mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Rapat membahas rencana strategis Kemenkumham, hasil pemeriksaan BPK RI semester I tahun 2019, dan tindak lanjut RUU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) mengatakan bahwa pihak yang menuding gagasan Omnibus Law akan menghilangkan pidana terhadap pengusaha yang menyalahi aturan adalah hal yang keliru. Menurut dia, itu hanya prasangka buruk dari beberapa pihak saja.

"Ini kan su'udzon saja. yang dikatakan itu adalah menggeser yang tadinya sanksi pidana menjadi sanksi administratif," tegas Yasonna dalam sebuah sesi wawancara eksklusif bersama Liputan6.com, Jumat (20/12/2019).

Dia mencontohkan, jika ada pelaku usaha yang belum bisa memenuhi perizinan lingkungan dan perizinan lain yang dahulu akan dikenakan sanksi pidana maka diubah menjadi sanksi administratif saja.

"Tapi kalau (melakukan) korupsi tetap (sanksi pidana) korupsi. Kan ada pasal-pasal tindak pidana korupsi yang di KPK. Jadi yang dikatakan itu menghilangkan pidana korupsi korporasi di mananya?," tegas dia kembali.

Kebijakan ini kata menteri yang menggemari simbol Banteng Merah tersebut, bukan dibuat tanpa perhitungan yang matang. Menurut dia di lapangan para pengusaha kerap diperas oleh penegak hukum dengan ancaman pidana.

"Saya dapat laporan di suatu daerah ada pedagang-pedagang yang menjual yang SNI-nya tidak ada. Ada penegak hukum yang menemukan nih, kemudian bisa ditakut-takuti. Ini kan gak baik," ucap dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dalih Pertumbuhan Ekonomi

Di samping itu, Yasonna juga mengatakan bahwa inisiasi Omnibus Law karena dorongan ekonomi. Di situasi global yang mengalami pelemahan dalam ekonomi, kata Yasonna pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi Indonesia menguat.

"Kita harus betul-betul menjaga pertumbuhan ekonomi kita, 5,4 (persen), lima koma sekian ke atas ya," jelas dia.

Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar itu mesti ditunjang dengan investasi dan peningkatan ekspor. Masalahnya, lanjut dia, para investor banyak yang mengeluh karena begitu banyak regulasi yang menghambat dan juga kepastian hukum yang buruk.

"Ini yang harus kita pangkas itu ada di regulasi, perbaikan regulasi yang betul-betul mengakomodir supaya investor itu mau menanamkan uangnya," jelas dia.

Menkumham membandingkan dengan negara di Asia Tenggara lain, yakni Vietnam. Menurut dia dalam segi investasi yang masuk Indonesia masih tertinggal oleh Vietnam dan Thailand. "Itu yang kita dorong sekarang supaya Omnibus Law ini yang kalau mau pakai cara biasa merevisi 80-an lebih undang-undang mungkin sampai habis periode," ungkapnya.

"Dengan Omnibus Law itu kita bisa selesaikan satu pukul. Ini kan undang-undang sapu jagat ini," lanjutnya.

Kendati dalam Omnibus Law para pelaku usaha dimudahkan, namun menurut Yasonna bukan berarti pemerintah lepas tangan akan pengawasan. Kata dia pemerintah akan bertanggung jawab untuk melakukan pengontrolan.

"Rezimnya adalah tidak lagi datang dulu izin baru operasi, kita kasih kesempatan dia sambil melengkapi izinnya," kata dia.

Menkumham juga mencontohkan bagaimana temannya membutuhkan waktu tahunan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air. "Awal Januari ini dia baru operasi. Pembangunannya hanya satu tahun tapi izin-izinnya empat tahun," jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya