Liputan6.com, Jakarta - Gereja Protestan Indonesia Barat (PGIB) Immanuel merupakan salah satu Gereja tertua yang masih ada di DKI Jakarta. Dibangun pada 1839 masa kolonial Belanda, gereja ini termasuk dalam 134 buah situs cagar budaya di DKI Jakarta.
Dulunya gedung ini dibangun untuk menghormati Raja Willem I, Raja Belanda pada periode 1813-1840. Pada gedung gereja dicamtumkan nama WILLEMSKERK.
Advertisement
Sampai saat ini, Gereja ini masih mempertahankan keunikannya dalam melakukan prosesi Ibadah dengan menggunakan tiga bahasa yaitu Indonesia, Inggris dan Belanda
Salah satu pendeta di Gereja Immanuel, Ds. O.E.Ch. Wuwungan mengungkapkan alasan dipertahankannya tradisi ini. Ia mengatakan harus terbuka mengikuti perkembangan arus global. Serta salah satu cara mengedukasi generasi milenial.
"Generasi milenials sangat menyukai bahasa Inggris. Saya pernah stiker di salah satu mobil dengan tulisan "Dont Make War, Make Love". Tulis "Make Love" salah malah jadi "Bersetubuh"," ujar Wuwungan kepada Liputan6.com, Rabu (25/12/2019).
Prosesi Ibadah Natal di Gereja PGIB Immanuel dimulai sejak pukul 08.00 WIB. Prosesi ibadah pertama dimulai pukul 08.00 WIB dengan Bahasa Indonesia.
Ibadah Kedua, dengan Bahasa Belanda dimulai pukul 10.00 WIB. Ibadah Ketiga, dengan Bahasa Inggris yang dimulai pukul 17.00 WIB. Ibadah terakhir, kembali mengunakan Bahasa Indonesia yang dimulai pukul 18.30 WIB.
Dalam prosesi Ibadah menggunakan Bahasa Belanda, Pendeta Ds. O.E.Ch. Wuwungan menyampaikannya dengan bahasa yang fasih. Dia memberikan khotbah kepada para jemaat yang hadir dengan menceritakan kisah perjuangan Yesus.
"Dalam hidup itu semua bersumber dengan kepastian Tuhan. Lihat Tuhan Yesus bangkit dari kematian saat ditangkap prajurit Romawi dan berbicara kepada muridnya yang melihatnya," ungkap Wuwungan saat ditanya soal arti khutbahnya itu.
Tidak hanya itu, dalam khutbahnya ia sempat menyinggung manusia harus bersyukur atas semua pemberian Tuhan
"Kita harus percaya Tuhan dan kita tidak hidup sendiri. Tuhan memberikan kita otak, otot dan kemauan/nafsu. Jangan sampai di akhir nafas baru inget Tuhan," tegas Wuwungan.
Wuwungan mengungkapkan banyak orang atau sempat lahir dan menetap di Belanda tinggal di Indonesia kesulitan mencari gereja berbahasa Belanda. Tidak hanya itu, cara ini digunakan orang tua mengajarkan anaknya mengerti budaya asalnya yaitu Belanda.
"Salah satu alasannya masih dipertahankan karena banyak orang-orang keturunan Belanda mengajarkan anaknya sudah tumbuh besar di sini (Indonesia) mengenal daerah asalnya (Belanda)," ungkap Wuwungan.
Sementara itu salah satu Pendeta Michiko P Saren yang memimpin sesi pertama ibadah hari raya Natal menuturkan, Gereja Immanuel satu-satunya Gereja yang masih mengunakan Bahasa Belanda
"Mungkin hanya Immanuel masih satu-satu Gereja yang mengunakan Bahasa Belanda di Indonesia," ungkap Michiko.
Bedasarkan pantauan Liputan6.com, beberapa warga keturunan Belanda hadir membawa keluarganya dalam prosesi Ibadah Natal. Namun, jumlah jemaat yang hadir tidak sebanyak dengan jumlah jemaat yang hadir sebelumnya pada pagi hari.
Disisi lain, ada beberapa jemaat yang hadir yang tidak mengerti apa yang disampaikan Pendeta dalam Bahasa Belanda.
"Saya cukup kaget ketika masuk pendeta berbicara dengan Belanda. Saya tidak mengerti apa yang diucapkan" ucap Rigi, salah satu warga Papua yang liburan Natal di Jakarta bersama keluarganya.
Namun, walaupun tidak mengerti, salah satu Jemaat Gereja mengatakan tradisi ini tetap harus dipertahankan.
"Hal ini harus dipertahankan karena ini salah bentuk cara anak muda mempelajari sejarah Indonesia. Jangan lupa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda 3,5 abad. Melestarikan bahasa Belanda di Gereja sangat baik menurut saya," ucap pria asal Manado, Marcelino Mawengkang.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Gaya Klasikisme
Dari arsitektur bangunan Gereja Immanuel, memiliki gaya klasikisme bercorak bundar di atas fondasi tiga meter. Bagian depan menghadap Stasiun Gambir.
Di bagian ini terlihat jelas serambi persegi empat dengan pilar-pilar paladian yang menopang balok mendatar. Paladinisme adalah gaya klasisisme abad ke-18 di Inggris yang menekan simetri dan perbandingan harmonis.
Sementara itu, serambi-serambi di bagian utara dan selatan mengikuti bentuk bundar gereja dengan membentuk dua bundaran konsentrik, yang mengelilingi ruang ibadah.
Lewat konstruksi kubah yang cermat, sinar matahari dapat menerangi seluruh ruangan dengan merata. Menara bundar atau lantera yang pendek di atas kubah dihiasi plesteran bunga teratai dengan enam helai daun, simbol Mesir untuk dewi cahaya.
Reporter: Rizki Putra Aslendra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement