Liputan6.com, Jakarta - Lien Dinh pernah jadi penggemar berat budaya Korea. Perempuan Vietnam itu seolah tergila-gila dengan karakter lelaki Korea di dalam drama.
Di persepsinya, lelaki Negeri Ginseng merupakan sosok romantis, gagah, bisa melakukan segala hal, dan menghormati pasangan. Citra itu begitu melekat hingga ia tak ragu menyambut proposal pernikahan dari seorang lelaki Korea.
Lien bahkan memutuskan pindah dari Vietnam ke negeri asal suami. Lelaki yang bekerja sebagai teknisi itu berusia 10 tahun lebih tua darinya. Selisih umur yang cukup jauh tak jadi halangan karena ia menganggap lelaki tersebut sebagai Mr. Right-nya.
Namun, tak lama setelah menetap di Daegu, ia merasakan kehidupan pernikahan jauh dari bayangannya. "Kenyataan jauh dari harapanku," kata Dinh dikutip dari South China Morning Post, Kamis, 26 Desember 2019.
Baca Juga
Advertisement
"Lelaki Korea yang menikahi perempuan asing biasanya orang tua dengan kepribadian buruk atau tak berkarisma, tak seperti para lelaki Korea di drama," sambungnya.
Meski sudah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Korea, Lien tetap menemui masalah, khususnya dengan sang mertua. Ia juga mengalami diskriminasi, lantaran kewarganegaraannya. Ia mengaku sering dituduh mengambil keuntungan dari sang suami.
"Banyak orang Korea mengabaikan kami, berpikir bila kami hanya orang-orang dari negara miskin. Ada pandangan salah yang populer dengan menyebut (istri) migran akan kabur dari pernikahan dan anak-anak mereka setelah mereka mendapat kewarganegaraan," tuturnya.
Pengalaman yang dialami Lien makin marak terjadi di Korea Selatan. Salah satu negara yang disebut memiliki masyarakat paling homogen secara etnis itu mengalami tingkat kelahiran paling rendah sepanjang 2018, atau kurang dari satu kelahiran per satu perempuan.
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan arus masuk perempuan asing ke Korea, khususnya di wilayah pedesaan. Di sana, berdasarkan data yang dikeluarkan pemerintah setempat, pernikahan antar-negara meningkat mendekati lima kali lipat atau 18,4 persen dari total semua pernikahan.
Kebanyakan perempuan asing yang diperistri lelaki Korea berasal dari Tiongkok, Kamboja, Filipina, Mongolia, dan Uzbekistan. Tapi, jumlahnya tidak sebanyak perempuan Vietnam yang mencapai tiga dari empat pernikahan interrasial.
Kehadiran mereka nyatanya tidak disambut baik sebagai solusi atas masalah penuaan masyarakat Korea. Lebih dari enam ribu perempuan Vietnam yang menikah dengan lelaki setempat setiap tahunnya mengalami pengasingan atau jadi korban penyiksaan fisik dan mental.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penjualan Pengantin?
Sementara itu, dalam sejumlah kasus terbaru yang terekspos ke publik, setidaknya ada indikasi tindakan eksploitasi pada para perempuan migran. Temuan itu memicu gelombang kritik pada pemerintah, lantaran dianggap mendukung tindakan 'penjualan pengantin', di mana oleh para pendukungnya disebut pernikahan semi-diatur.
Tindakan tersebut tak jarang berujung kisah menyedihkan. Pada November 2019, seorang lelaki Korea berusia 55 tahun menusuk mati istrinya, seorang perempuan Vietnam berusia 30 tahun. Ia kemudian mengubur jasad sang istri di tempat terpencil di Provinsi Jeolla Utara.
Sebelumnya, pada Juli 2019, seorang lelaki Korea jadi berita lantaran menyiksa perempuan Vietnam yang diperistrinya di depan anak balita mereka yang sedang menangis. Tindakan itu jadi viral di media sosial.
Merespons insiden tersebut, Kementerian Kehakiman berjanji menegakkan hukum yang melarang lelaki dengan catatan kekerasan domestik, pelecehan seksual, pembunuh, dan pencuri, menikahi para perempuan migran. Mereka juga berencana meluncurkan hotline polisi untuk pasangan asing dalam platform multi-bahasa.
Namun, para ahli menganggap upaya itu tidak cukup karena masalah yang dihadapi lebih dari sekadar penjualan pengantin, yakni mencakup dalamnya kultur patriarki di Korea Selatan. Itu pula yang memicu kekerasan berbasis gender terjadi nyaris di seluruh negeri.
Advertisement
Dorongan Lebih Toleran
Para ahli berpendapat, guna meningkatkan taraf kehidupan para perempuan migran, inisiatif pemerintah tidaklah cukup, kecuali masyarakat sadar untuk lebih toleran atas keberagaman. Meski jumlah orang asing di Korea mencapai 3,6 persen dari total populasi, imigran tetap belum diterima dengan baik.
Shin Gi-wook, peneliti dari Standford University menyebut, "Korea sampai saat ini masih jadi masyarakat yang sangat homogen dan orang-orang Korea tidak terbiasa hidup bersama dengan mereka yang non-Korea."
Dalam hasil survei terbaru yang dipublikasi Kementerian Gender, Kesetaraan, dan Kesejahteraan pada April 2019, hanya 42,48 persen dari empat ribu responden yang bersedia berbaur dengan imigran.
Shin juga menyebut kebijakan multikultural yang didorong pemerintah biasanya terlalu sering memfokuskan proses asimilasi warga asing agar mengikuti cara hidup Korea.
Padahal, proses asimilasi hendaknya mempertimbangkan interaksi antara kedua belah pihak. "Di mana orang Korea juga belajar dari mengapresiasi perbedaan budaya," katanya.
Sedangkan, John Lie dari University of California, Berkeley, berpendapat penerimaan budaya yang berbeda belumlah cukup. Masyarakat setempat semestinya mengubah budaya patriarki yang sering berujung perlakuan misogini pada perempuan.
"Korea itu masyarakat yang tidak setara dan sangat kompetitif, bahkan sangat sulit untuk orang Korea sendiri," ujarnya. KDRT yang dialami banyak perempuan Korea jadi wujud frustasi masyarakat. Maka itu, ia menganggap semua perempuan membutuhkan sumber daya dan dukungan lebih baik.
"Fasilitas perawatan anak lebih baik dan menurunkan hambatan bagi para ibu pekerja, juga menurunkan ekses terburuk dari praktik patriarki akan jadi opsi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut," ujarnya.