Liputan6.com, Jakarta - BUMN asuransi Jiwasraya sedang mengalami kemelut. Perusahaan gagal membayar polis JS Saving Plan milik nasabah hingga triliunan rupiah. Liabilitas perusahaan pun semakin membengkak.
Bagaimana awal mula kasus ini dapat terjadi? Melalui infografis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan kronologi bagaimana perusahaan bisa berada dalam kondisi saat ini.
Dimulai pada 2004, perusahaan memiliki cadangan yang lebih kecil dari seharusnya, insolvency mencapai Rp 2,769 triliun.
"Pada 2006, laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibanding kewajiban," demikian tertulis dalam infografis tersebut, dikutip pada Sabtu (27/12/2019).
Baca Juga
Advertisement
Kemudian di tahun yang sama, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan tahun 2006 dan 2007 karena diduga penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Hingga 2008, defisit nilai ekuitas perusahaan semakin melebar menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 6,3 triliun pada 2009. Pada 2009, mulailah diambil langkah untuk re-asuransi (penyelamatan jangka pendek).
Ternyata, langkah tersebut membawa nilai ekuitas surplus Rp 1,3 triliun per akhir tahun 2011. Bapepam-LK meminta agar perusahaan memiliki alternatif penyelesaian jangka panjang.
Pada 2012, Bapepam-LK memberi izin produk JS Proteksi Plan (produk bancassurances dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim dan BPD DIY).
Sebagai catatan, per akhir 2011, jika skema re-asuransi masih diterapkan maka Jiwasraya masih surplus Rp 1,6 triliun. Namun jika tidak menerapkan skema tersebut, maka Jiwasraya mengalami defisit Rp 3,2 triliun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Revaluasi Aset
Kemudian pada 2013, direksi Jiwasraya menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2 miliar), direvaluasi menjadi Rp 6,56 triliun dan mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar.
"Audit BPK pada tahun 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang perusahaan di mana laporan aset investasi keuangan overstated (melebihi realita) dan kewajiban understated (di bawah nilai sebenarnya)," tulis infografis tersebut.
Sebagai informasi, pada 2013 hingga 2016, keuangan Jiwasraya tercatat surplus. Selama 2013 hingga 2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat karena penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun.
Pada 2017, OJK memberi sanksi pada perusahaan karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris 2017. Laporan keuangan tahun itu masih positif, pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp 21 triliun, meskipun perusahaan terkena denda sebesar Rp 175 juta.
Namun pada April 2018, OJK dan direksi Jiwasraya mendapati adanya penurunan pendapatan premi karena guaranteed return JS Saving Plan juga turun.
Advertisement
Pergantian Direksi
Pada Mei 2018, Jiwasraya mengalami pergantian direksi. Direksi yang baru menyampaikan ada hal yang tidak beres terkait laporan keuangan perusahaan kepada Kementerian BUMN. Menurut hasil audit KAP (pada laporan keuangan 2017), ada koreksi laporan keuangan interim dari yang semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.
Laporan audit BPK tahun 2018 juga menyebutkan bahwa perusahaan berinvestasi pada aset berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi.
Lalu pada Oktober 2018, perusahaan mengumumkan ketidaksanggupannya membayar polis nasabah JS Saving Plan senilai Rp 802 miliar. Bulan berikutnya, direksi Jiwasraya dan OJK membahas penyehatan keuangan perusahaan untuk triwulan III.
Hingga tahun ini, keuangan Jiwasraya tak kunjung membaik. Untuk itu, OJK mengeluarkan izin pembentukan anak usaha Jiwasraya, Jiwasraya Putra, demi menyehatkan induknya.
Direktur Utama Jiwasraya menyatakan perusahaan butuh modal Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko sebesar 120 persen.
Sementara, aset perusahaan tercatat senilai Rp 23,26 triliun, tapi kewajibannya mencapai angka Rp 50,5 triliun. Ekuitas negatif Rp 27,24 dan liabilitas produk JS Saving Plan mencapai Rp 15,75 triliun hingga sekarang.