Liputan6.com, Jakarta Kondisi keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah sakit, dengan catatan ekuitas negatif Rp 23,92 triliun per September 2019. Untuk memenuhi rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) 120 persen, perusahaan membutuhkan dana sebesar Rp 32,89 triliun.
Jiwasraya memang sudah bermasalah sejak 2006. Berdasarkan catatan dari laporan kondisi perusahaan, Sabtu (28/12/2019), ekuitas Jiwasraya pada saat itu negatif Rp 3,29 triliun.
Advertisement
Kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau solvabilitas semakin memburuk pada 2008, dimana ekuitas negatif perusahaan menurut catatan internal manajemen membengkak jadi Rp 5,7 triliun.
Situasi berbalik 180 derajat pada 2009, dimana ekuitas surplus Rp 800 miliar dari semula negatif Rp 6,3 triliun. Mekanisme reasuransi menjadi penolong, yang membuat kewajiban dicatat sebesar Rp 4,7 triliun dari yang seharusnya Rp 10,7 triliun.
Skenario reasuransi terus dilanjutkan untuk 3 tahun berikutnya pada 2010-2012, sehingga Jiwasraya berturut-turut mendapat opini audit laporan keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Skema reasuransi kemudian diganti dengan revaluasi aset di 2013, karena ekuitas perusahaan pada 2012 kembali negatif Rp 3,2 triliun. Dengan begitu, ekuitas berganti menjadi surplus Rp 1,75 triliun pada 31 Desember 2013.
"Ekuitas surplus Rp1,75 triliun pada 2013 dari semula negatif Rp 3,2 triliun. Surplus karena revaluasi aset berupa tanah dan bangunan," jelas Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko.
Surplus ekuitas Jiwasraya meningkat jadi Rp 2,4 triliun pada 2014. Setahun berselang, catatan ekuitas surplus perusahaan terus naik hingga Rp 3,4 triliun di 2015.
Tonton Video Ini
Masalah Muncul
Puncaknya terjadi pada 2015, dimana ekuitas Jiwasraya surplus sebesar Rp 5,4 triliun dikarenakan nilai pasar aset investasi keuangan overstated dan cadangan premi tercatat understated yang semakin besar.
Masalah mulai timbul di 2017, saat status ekuitas surplus Rp 5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan Rp 7,7 triliun lantaran belum memperhitungkan impairment aset.
Itu berdampak terhadap pemberian opini yang diberikan Kantor Akuntan Publik (KAP) PricewaterhouseCoopers (PwC) kepada Jiwasraya dengan status Adverse Opinion atau tidak wajar.
Kondisi Jiwasraya makin sakit jika melihat laporan keuangan unaudited perusahaan pada 31 Desember 2018. Kala itu, ekuitas tercatat negatif Rp 10,24 triliun. Statusnya pada saat itu sudah dilakukan perbaikan cadangan namun belum dengan impairment aset.
Penerbitan JS Saving Plan pada 2013 pun turut memperuruk keadaan. Ini lantaran perusahaan butuh ketersediaan likuiditas yang tak sedikit karena ada utang jatuh tempo setiap tahun.
Sayangnya, penerbitan produk itu membuat keuangan Jiwasraya semakin memburuk. Hal ini karena perusahaan butuh ketersediaan likuiditas yang tak sedikit karena ada utang jatuh tempo setiap tahun.
Tak ayal, Jiwasraya tercatat defisit sebesar Rp 15,33 triliun pada tahun lalu. Selain itu, perusahaan juga memutuskan untuk menghentikan pembayaran klaim jatuh tempo sejak Oktober 2018 sebesar Rp 802 miliar.
Advertisement