Liputan6.com, Purbalingga - Sedang menghabiskan libur natal dan tahun baru di Purbalingga, Jawa Tengah? Makanan khas alias oleh-oleh Bumi Soedirman ini sepertinya wajib kamu bawa pulang untuk keluarga dan teman-teman.
Makanan yang cocok dijadikan buah tangan umumnya harus tahan lama dengan kemasan yang baik. Selain itu, makanan bisa dinikmati ramai-ramai dan berharga relatif murah.
Liputan6.com merangkum empat oleh-oleh khas Purbalingga.
Baca Juga
Advertisement
Abon Cap Koki
‘Sederhana Namun Menggoda’ begitulah konsep yang Novi Kurnia Setiyawati usung untuk mem-branding produk-produk Abon Cap Koki. Produk utamanya ialah abon sapi, sambel pecel, dan abon kelapa.
Dari rumah produksi di jalan MT Haryono, No. 20 Purbalingga, generasi ketiga pemilik Abon Cap Koki itu membawa produknya terkenal hingga meraih berbagai penghargaan. Seperti pada 2016 meraih Juara Satu Nasional Pangan Award dan 10 besar Foodstartup Indonesia (FSI) 2017 di Bandung.
Kemudian, produknya masuk dalam goodie bag (oleh-oleh, red) untuk tamu-tamu VVIP dalam peringatan hari Rempah Nasional 2017. Di 2019 produk abon kelapa meraih Juara 1 Usaha Kecil Menengah (UKM) Pangan Award 2019 Tingkat Nasional pada kategori Makanan Siap Saji.
Tangan dingin Novi dalam menjaga kualitaslah yang turut mengantar kesuksesannya. Terutama soal bahan baku yang digunakan, seperti bahan baku daging sapi terbaik untuk produk abon sapinya.
“Saya terlahir dari keluarga jagal sapi. Karena itu saya tahu betul kualitas daging sapi. Sampai-sampai daging dari sapi yang keseleo pun saya mengetahuinya,” katanya, berkelakar.
Idenya dalam me-rebranding ‘serundeng’ menjadi ‘abon kelapa’ pun turut mendorong kesuksesannya hingga meraih Juara 1 UKM Pangan Award 2019. Olahan parutan kelapa yang banyak dijual di pasar sebagai oleh-oleh khas itu kini naik kelas, bisa bersanding dengan abon sapi yang berbahan baku jauh lebih mahal.
Kacang Mirasa dan NanasQu
Kacang Mirasa
Toko Mirasa yang beralamat di Jalan Ahmad Yani, No. 20, Purbalingga selalu terlihat ramai saat musim libur. Produk unggulannya, Kacang Mirasa sering habis menjelang senja hari.
Feri Santoso, generasi ketiga Toko Mirasa mengungkapkan sering kewalahan sewaktu libur panjang tiba. Meski pekerja di rumah produksi lebih dari 20 orang, produknya bukan lah produk massal sehingga sulit menutup permintaan pasar.
Proses produksi membutuhkan waktu dua-tiga hari tergantung cuaca. Pengolahan dilakukan secara manual agar cita rasa selalu terjaga. Dimulai dari perendaman bumbu, penjemuran di bawah terik matahari, kemudian masak sangrai menggunakan pasir.
Boleh dibilang kacang Mirasa merupakan legendanya oleh-oleh di Purbalingga. Toko itu telah berdiri sejak 1938, dimulai dari pertama dibangun oleh nenek Feri bernama Liem Kwie Liat, diteruskan ke Liem Tiong Swie, dan sekarang dikelola oleh Feri.
NanasQu
Desa Siwarak Kecamatan Karangreja memiliki komoditas produk pertanian unggulan berupa buah nanas. Sayangnya, nanas di sana rentan mengalami penurunan harga karena panen yang melimpah.
Karena itulah, Ngudiono, warga Desa Siwarak memutar otak agar nanas tidak berakhir menjadi bahan baku semata. Dia berupaya membuat nanas madu menjadi ‘Carica’nya Purbalingga.
Dengan nama NanasQu, Ngudiono menaikan nilai buah nanas dengan beragam olahan. Daging nanas diolah menjadi jus nanas, dodol, roti nanas, manisan, kerupuk, selai, dan koktail nanas.
Kulit nanas ia kembangkan sebagai bahan baku minuman Nata de Pina yang diolah seperti minuman segra Nata de Coco. Pucuk nanas dicacah untuk pakan ternak, sedangkan sisanya digunakan untuk pupuk kompos. Dengan begitu kelebihan panen pun dapat diatasi.
Saat ini, produk unggulan yang menjadi primadona ialah koktail nanas, manisnya gula murni berpadu dengan segar asamnya buah nanas. Cocok dinikmati sembari piknik di obyek wisata yang ada di Purbalingga.
Jika ingin mengunjungi home industry NanasQu, dari pintu masuk Obyek wisata Golaga naik sekitar 300 meter kemudian belok kanan setengah kilometer. Di rumah poduksi itulah, kita bisa belanja sekaligus belajar dari Ngudiono dan warga sekitar bagaimana mengolah nanas.
Advertisement
Kopi Purbalingga
Menilik data dari Statistiek der Residentie Banjoemas tahun 1836, Purbalingga pernah memiliki 10.010.000 batang pohon kopi. Saat era kolonial itulah masa-masa penderitaan petani karena tanam paksa sekaligus masa keemasan bagi melimpahnya komoditas kopi Jawa.
Produksi sempat mati suri, pohon-pohon tumbuh tumbang tanpa perawatan. Panen pun dilakukan dengan sistem jotos alias petik campur antara buat matang dan mentah. Hasilnya, kopi dijual murah kepada tengkulak.
Biji kopi mentah yang tidak diambil tengkulak disangrai secara tradisional. Dikemas plastik kecil sekitar setengah ons dan diikat seadanya. Harganya di pasaran pun murah, kalah pamor dengan kopi saset produksi perusahaan besar.
Satu setengah abad kemudian, pamor kopi Purbalingga kembali naik daun seiring merambatnya gelombang ketiga kopi di Indonesia. Kedai-kedai kopi bermunculan, bahkan warung makan pun turut menyajikan single origin coffee.
Petani-petani bergerak membenahi proses pertanian dan pengolahan pascapanen. Tak sungkan mereka belajar teknik panggang hingga teknik seduh presisi untuk menghasilkan secangkir kopi terbaik.
2019 ini hampir setiap kecamatan memiliki produk kopi unggulan, sebutlah Robusta Jingkang, Kramat, Cendana, Karangjambu, Arabika Gunung Malang, dan Liberika Pengadegan. Bahkan, Bupati Dyah Hayuning Pratiwi turut mengeluarkan surat edaran agar kantor-kantor pemerintahan wajib mengkonsumsi kopi Purbalingga.
Simak video pilihan berikut ini: