Liputan6.com, Jakarta - Belum lama, Bank Indonesia merilis ramalan pertumbuhan ekonomi tahun depan yang, sayangnya, diprediksi turun dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen hingga 5 persen saja.
Untuk itu, diperlukan langkah khusus agar ekonomi Indonesia dapat bangkit kembali, salah satunya dengan memaksimalkan ekspor, investasi dan meningkatkan konsumsi domestik.
Pengamat Ekonomi dan Politik (Ekopol) Fachry Ali menyatakan, peningkatan ekspor dapat terwujud tergantung dengan situasi permintaan global.
"Permintaan global hanya akan berjalan ketika ekonomi negara yang menjadi target ekspor kita memerlukan bahan-bahan atau komoditas dari kita," ujar Fachry dalam diskusi Outlook Ekonomi-Politik Indonesia 2020 di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (29/12/2019).
Baca Juga
Advertisement
Namun yang terjadi saat ini, lanjut Fachry, kondisi ekonomi global masih dilanda ketidakpastian karena adanya perang anomali Amerika Serikat, secara spesifiknya Presiden Trump, dengan China.
"Pertarungan keduanya itu bukan antar negara, tapi induvidu terhadap negara, yaitu Trump terhadap China. Dan karena Indonesia adalah anak kecil dalam ekonomi global, sudah tentu aktivitas ekonomi kita akan terpengaruh," paparnya.
Lebih lanjut, kemungkinan Indonesia untuk mendatangkan investasi asing dalam nilai besar juga sulit didapat. Tentu, hal ini berkaitan dengan ketidakpastian dampak perang dagang tadi.
"Jadi, prediksi BI saya kira cukup realistis. Bahwa apa yang dicanangkan pertumbuhan ekonomi mungkin tidak tercapai karena BI sebagai bank sentral, sebagai hidung yang mencium yang sensitif terhadap pergerakan ekonomi global terutama dalam sektor moneter," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perlu Investasi Rp 1.000 Triliun Buat Dongkrak Ekonomi ke 6 Persen
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan nilai investasi minimal Rp 1.000 triliun diprediksi dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari rata-rata lima persen menjadi enam persen sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
"Kami tidak hanya promosi investasi dan jauh dari itu bagaimana melakukan realisasi investasi," kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dikutip dari Antara, Selasa (17/12/2019).
Ia menuturkan ketika pertama menjabat di BKPM, ada nilai investasi sebesar Rp 708 triliun dari investor yang ada di dalam negeri tapi belum dapat dieksekusi. Kendalanya, lanjut dia, salah satunya prosedur perizinan yang masih panjang.
"Dulu daftar tiga jam OSS (online submission system), daftar kemudian keluar nomor induk investasi tapi perusahaan belum bisa melakukan kegiatan usaha karena mereka keliling departemen urus izin, setahun tidak selesai," katanya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah mewajibkan perizinan dari kementerian/lembaga terpusat di BKPM.
Advertisement
Kolaborasi Investasi
Selain itu, untuk mendorong ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat, BKPM meminta ada kolaborasi seluruh investasi asing di dalam negeri untuk bekerja sama dengan pengusaha di daerah.
Investasi yang diharapkan masuk, lanjut dia, adalah investasi yang menciptakan lapangan kerja dan menggunakan tenaga kerja Indonesia.
Bahlil lebih lanjut menjelaskan investasi memiliki kaitan erat dengan konsumsi masyarakat, apalagi sektor konsumsi berkontribusi sebesar 56 persen bagi pertumbuhan ekonomi RI.
"Konsumsi terjadi kalau ada daya beli masyarakat. Daya beli itu bisa terwujud jika ada kepastian pendapatan, dan pendapatan bisa tereksekusi jika ada lapangan kerja, sedangkan inti dari lapangan kerja adalah investasi," ucapnya.
Dalam RPJMN 2020-2024, pemerataan ekonomi menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam merealisasikan investasi.