Liputan6.com, Agam - Untuk memantau pergerakan harimau sumatra yang beberapa waktu terakhir berkeliaran di sekitar pemukiman dan memangsa ternak warga di daerah Sungai Jariang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama Polres setempat memasang tiga unit kamera penjebak.
"Tiga kamera penjebak itu dipasang pada tiga lokasi ditemukan jejak kaki atau jalur perlintasan satwa yang diduga jenis harimau sumatra," kata Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BKSDA Resor Agam, Ade Putra kepada Liputan6.com, Senin (30/12/2019).
Baca Juga
Advertisement
Ketiga kamera dipasang, katanya, beberapa hari ke depan untuk mencari tahu dan mendapatkan gambaran visual keberadaan harimau sumatra yang memangsa anak sapi milik warga.
Jika berdasarkan hasil pengamatan menggunakan kamera satwa terpantau masih berada di sekitar lokasi, maka BKSDA Agam kemungkinan melakukan tindakan evakuasi berupa pemasangan perangkap.
"Jika opsi evakuasi dengan perangkap berhasil maka satwa akan direhabilitasi atau lepas liar ke salah satu kawasan konservasi yang berada di Sumatera Barat," ujar Ade.
Sebelumnya, anak sapi milik Wismardi diterkam harimau pada Rabu sore, 25 Desember 2019, kemudian ia melapor ke kepolisian dan BKSDA karena menemukan jejak kaki satwa yang diduga harimau sumatra.
Tim BKSDA Agam bersama-sama dengan Polres Agam langsung melakukan pengecekan dan identifikasi lapangan dan menemukan tanda keberadaan berupa jejak kaki yang diduga merupakan tapak kaki satwa harimau sumatra.
Selanjutnya, tim melaksanakan patroli di sekitar lokasi yang tidak jauh dari permukiman warga tersebut dan melakukan sosialiasi kepada warga agar waspada dan berhati-hati dalam beraktivitas serta melakukan pengamanan berupa memasukkan ternaknya ke dalam kandang.
"Kami meminta warga agar tidak mengembala ternak terlalu dekat dengan hutan, dan saat sore ternak sebaiknya dimasukkan ke kandang," dia menambahkan.
Penyebab Konflik Manusia dan Harimau
Ilustrasi harimau (wildtrails)
Terkait konflik antara harimau dengan manusia yang sering terjadi di beberapa daerah, Kepala BKSDA Sumatera Barat, Erly Sukrismanto mengemukakan hal itu disebabkan oleh banyak faktor, seperti belajar berburu karena baru berpisah dari induknya.
"Ketika harimau berpisah dari induknya, maka mereka harus mulai berburu sendiri sehingga berpotensi untuk memangsa manusia atau hewan ternak yang diikat di dekat hutan," katanya.
Kemudian penyebab lainnya, wilayah jelajah harimau yang semakin sedikit dan mangsanya juga tidak ada sehingga mereka masuk ke permukiman masyarakat.
Wilayah jelajah harimau cukup luas untuk berburu, mencapai 60 kilometer persegi, sehingga ketika tempat berburunya sudah semakin kecil atau rusak, maka mereka akan mencari alternatif dan terjadilah konflik tersebut.
Kemudian, misalnya pada 10 tahun lalu tempat tersebut adalah hutan, tetapi saat ini beralih fungsi menjadi permukiman atau ladang penduduk, maka satu waktu harimau pasti akan kembali lagi ke tempat itu.
"Hal tersebut dinamakan home range, mereka akan mengingat tempat-tempat yang pernah dijelajahinya dahulu, namun ketika kembali ke tempat tersebut, harimau tidak akan tinggal dalam waktu yang lama, hanya sekitar tiga sampai empat hari," ujarnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement