HEADLINE: Penyerang Novel Baswedan Ditangkap, Adakah Aktor Intelektual?

Argumentasi pengkhianat yang disampaikan pelaku dinilai tidak masuk akal dan hanya untuk menutupi agar aktor intelektual tidak ditemukan.

oleh RinaldoMuhammad Radityo PriyasmoroFachrur Rozie diperbarui 31 Des 2019, 00:09 WIB
Banner Infografis Penangkapan 2 Penyerang Novel Baswedan. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Terlepas dari prosesnya, apakah ditangkap atau menyerahkan diri, dua orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Kortupsi (KPK) kini menyandang status tersangka. Kedua pria berinisial RM dan RB itu kini ditahan Rutan Bareskrim Polri.

Namun, tak banyak yang diketahui publik tentang sosok tersangka ini selain inisial serta posisinya sebagai anggota Polri aktif. Kalau biasanya polisi cepat memberitahu publik soal kronologi kejahatan yang dilakukan serta motifnya, tidak demikian dengan kasus ini. Polisi masih menutup rapat-rapat.

Hal inilah yang membuat heran peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah, karena saat ini informasi yang didapatkan publik adalah informasi yang parsial dari kepolisian semata. Bahwa dua orang pelaku tersebut telah diamankan, tapi kita tidak mengetahui apakah sebenarnya di balik dua pelaku tersebut ada aktor intelektual atau tidak.

"Problemnya adalah, kepolisian sampai saat ini belum juga tuntas menjelaskan kepada publik apakah memang dua orang pelaku ini benar-benar aktor intelektual sekaligus aktor lapangan, atau ada lagi aktor-aktor yang lainnya?" ujar Wana kepada Liputan6.com, Senin (30/12/2019) siang.

Selain itu, lanjut dia, publik hanya dihadapkan pada teriakan tersangka yang mengatakan kalau dia menaruh dendam pada Novel. Sementara, polisi sendiri tak mau gamblang menjelaskan seputar motif tersebut.

"Kalau polisi biasanya selalu menyampaikan motif dan ada atau tidaknya kejahatan, saat ini motifnya saja tidak disampaikan. Artinya ada standar ganda yang dikenakan kepolisian. Padahal seharusnya kepolisian adil, siapa pun orangnya yang bersalah sampaikan saja kepada publik," tegas Wana.

Ketika ditanyakan apakah teriakan tersangka yang seolah punya dendam pribadi kepada Novel akan membuat kasusnya berhenti pada kedua tersangka, dia menolak cara berpikir seperti itu. Dia juga meragukan adanya alasan yang kuat dari kedua pelaku untuk menganiaya Novel.

"Jangan sampai argumen itu berhenti pada aktor lapangan dengan tujuan aktor intelektual tidak ditemukan. Ketika argumen pengkhianat disampaikan secara umum, publik melihat ini hanya ada persoalan personal antara pelaku dan Novel. Apakah novel memiliki relasi dengan pelaku? Ketika tidak, pengkhianatnya dari mana? Itu yang harusnya didalami," tegas Wana.

Artinya, lanjut dia, argumentasi pengkhianat yang disampaikan pelaku tidak masuk akal dan bahkan cenderung untuk menutup kasusnya agar aktor intelektual tidak ditemukan.

"Kami menduga dan kami khawatir dua orang tersebut hanya pasang badan," ujar Wana.

Karena itu, jika nantinya polisi menemukan aktor inteletual penyerangan terhadap Novel, dia berharap Presiden Joko Widodo atau Jokowi segera membentuk tim independen. Alasannya, polisi tak akan lagi independen saat menyidik kasus ini.

"Tim ini nantinya berisi orang-orang yang tidak pernah memiliki interaksi atau relasi yang sangat dekat dengan kepolisian. Karena kalau kita melihat di tim gabungan sebelumnya, kan ada relasi yang cukup dekat dengan kepolisian sehingga itu yang dikhawatirkan," Wana memungkasi.

Tanggapan serupa disampaikan Kepala Riset Penelitian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar. Dia mengatakan, yang perlu diperdalam lagi oleh polisi adalah soal transparansi dan akuntabilitas, yang harusnya menjadi prinsip utama dalam penanganan kasus Novel yang kategorinya high politic.

"Karena Novel punya track record dalam mengungkap kasus korupsi besar yang mana ada unsur keterlibatan polisi di sana. Jadi, apakah dua orang ini diduga bersama menutupi atau pasang badan terhadap orang-orang di belakangnya harus diperdalam," ujar Rivanlee kepada Liputan6.com, Senin (30/12/2019).

Yang lebih menarik, lanjut dia, adalah mendalami posisi tersangka sejak kasus bergulir hingga saat ini. Sebagai anggota Polri aktif, apakah keduanya tetap bekerja seperti biasa atau bagaimana.

"Apakah atasannya tidak tahu? Secara dinamika di kepolisian seperti apa? Masa 2,5 tahun ini tidak diketahui atasannya? Kalau tidak diketahui, berarti ada komunikasi yang tak berjalan baik," tegas Rivanlee.

 

Infografis Penangkapan 2 Penyerang Novel Baswedan. (Liputan6.com/Abdillah)

Sementara itu, ada atau tidaknya aktor intelektual dalam kasus ini, Wakil Ketua KPK Lili Pantauli meminta penyidik Polri diberi kesempatan untuk bekerja mengungkap kasus yang pelik ini.

"Kalau merembet ke pelaku utama, itu tergantung kedua tersangka, apakah mereka akan mengungkap atau tidak. Ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang juga bisa membantu menjaga dan melindungi kedua tersangka jika mereka akan mengungkap ada pelaku lain," jelas Lili kepada Liputan6.com, Senin (30/12/2019).

Di sisi lain, dia menegaskan tak bisa mengetahui apakah ada atau tidak aktor intelektual dalam kasus ini, kendati salah seorang tersangka mengaku dendam pada korban.

"Itu bisa dilihat pada latar belakang alasan tersangka berkata demikian. Kalau saya mana bisa mereka-reka apa dan bagaimana kasus itu, yang tahu tentu si tersangka," ujar Lili.

Hal senada diungkapkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, yang berharap semua pihak mempercayakan pengungkapan kasus ini kepada kepolisian.

"Kita berharap penyidik akan mengungkapkan apakah motifnya pribadi ataukah ada yang di balik operator atau tersanga. Saya yakin penyidik akan mengembangkan semua kemungkinan tersebut," ungkap Nurul kepada Liputan6.com.

Sama dengan sekondannya di KPK, dia juga menolak untuk menebak-nebak.

"Saya orang hukum, tidak boleh berpretensi dengan asumsi dan perkiraan, harus berdasarkan bukti," tegas Nurul.

Berbeda dari keduanya, Ketua KPK Firli Bahuri menolak untuk berkomentar soal aktor intelektual di balik kasus penyerangan Novel Baswedan.

"Silakan ke Kabareskrim, karena mereka yang menangani dan mengungkap kasus tersebut. Sekali lagi, itu domain Kabareskrim," ujar Firli singkat kepada Liputan6.com.

Sementara itu, pihak kepolisian melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan bahwa hingga kini penyidik masih terus mendalami keterangan dari kedua tersangka.

"Mulai dari selain identitas secara umum ya, kemudian kita tanyakan kronologinya seperti apa. Kan sampai sekarang juga belum semuanya kita tanyakan ya. Belum semuanya, belum selesai," ujar Argo saat menyambangi Polda Metro Jaya, Senin (30/12/2019).

Dia juga menegaskan kabar yang simpang siur selama ini soal status kedua tersangka.

"Yang jelas kami sampaikan bahwa yang bersangkutan kita tangkap, kita lakukan penangkapan," tegas Argo.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Kejanggalan di Belakang Tersangka

Polisi mengawal tersangka kasus penyiramanan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (28/12/2019). Tersangka berinisial RM dan RB dipindahkan dari Polda Metro Jaya ke Bareskrim Mabes Polri untuk penyidikan lebih lanjut. (merdeka.com/Imam Buhori)

Polda Metro Jaya menetapkan dua tersangka penyerang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Dua polisi aktif berinisial RM dan RB itu pun resmi ditahan untuk 20 hari ke depan.

Penetapan tersangka ini terjadi di hari ke-990 setelah Novel diserang pada subuh 11 April 2017. Meski begitu, penetapan dua tersangka penyerang Novel ini dipandang janggal oleh korban dan sejumlah pegiat antikorupsi.

"Yang kasus saya sekarang sudah ada penangkapan, tapi dengan banyak kejanggalan," kata Novel saat ditemui Liputan6.com di kediamannya, Jalan Deposito Kepala Gading, Jakarta Utara, Senin (30/12/2019).

Salah satu anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Yati Andriyani menilai penetapan dua polisi aktif sebagai tersangka penyerangan itu terkesan sebagai upaya 'pasang badan' untuk menutupi dalang kasus ini.

"Harus dipastikan bahwa yang bersangkutan bukanlah orang yang pasang badan untuk menutupi pelaku yang perannya lebih besar," kata Yati dalam keterangan tertulisnya pada Jumat 27 Desember lalu.

Dugaan pasang badan itu tentu tak lepas dari sejumlah kejanggalan yang terjadi sejak keduanya dinyatakan sebagai tersangka. Berikut sejumlah kejanggalan tersebut.

1. Bukti Tindakan Tersangka

Polisi dinilai tak bisa menunjukkan bahwa tersangka adalah benar-benar pelaku penyerangan. "Apakah ada kaitan antara pengakuan yang bersangkutan dan keterangan saksi-saksi, termasuk sketsa Polri? Apa yang membuktikan yang bersangkutan adalah pelaku dan tidak di-setting untuk pasang badan?" ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani.

Keraguan serupa dilontarkan Direktur Lokataru, Haris Azhar. Dia menilai informasi yang disampaikan polisi tidak menunjukkan korelasi dengan fakta, keterangan, dan kesaksian yang sudah ada.

Misalnya, dia menyebut adanya informasi bahwa pelaku menggunakan air aki untuk menyiram Novel. "Apakah sudah dicocokkan dengan catatan dokter? Itu air keras, bukan air aki. Saya khawatir ini justru bagian dari modus penghilangan jejak pertanggungjawaban atas kasus Novel," kata Haris.

2. Keanehan dalam SPDP Polisi

Kepolisian membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke-3 dan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) ke-10 tertanggal 23 Desember 2019 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Anggota tim kuasa hukum Novel, Alghiffari Aqsa menuturkan, pihaknya menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 23 Desember 2019 yang menyatakan pelaku belum diketahui.

Anggota tim kuasa hukum Novel Baswedan lainnya, Asfinawati mengatakan surat yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Suyudi Arioseto itu janggal karena selang beberapa hari, yakni Jumat (27/12/2019) pelaku penyiraman Novel sudah tertangkap.

"Adanya SP2HP tertanggal 23 Desember 2019 yang menyatakan pelakunya belum diketahui," ujar Asfinawati kepada wartawan, Sabtu (28/12/2019).

3. Ditangkap atau Menyerahkan Diri

Ada dua informasi yang hingga kini masih simpang siur ihwal pelaku penyerang Novel yang ditangkap atau menyerahkan diri ke polisi.

Sekitar pukul 18.00 WIB, Jumat 27 Desember 2019, polisi menggelar konferensi pers tentang penangkapan dua pelaku penyerang Novel. Dalam keterangan singkat itu, polisi menyatakan keduanya ditangkap di Cimanggis, Depok.

Sementara, Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono kepada wartawan di kawasan Mabes Polri, Sabtu (28/12/2019), tak menjawab gamblang ketika ditanya apakah pelaku menyerahkan diri atau ditangkap. Ia hanya berulang kali mengatakan bahwa polisi mengamankan kedua orang tersebut.

"Diamankan ya. Sudah cukup jelas? Diamankan lalu dibawa ke Polda Metro Jaya," kata Argo.

Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo enggan menjawab secara gamblang ihwal ini.

"Itu teknis kami. Yang paling penting dan harus diyakinkan kami tidak salah tangkap dan itu pelaku sebenarnya. Itu yang terpenting," ujar Listyo di Auditorium PTIK, Jakarta Selatan, pada Sabtu 28 Desember 2019.

"Awalnya disebut menyerahkan diri, tapi kemudian diberitakan ditangkap," ujar Asfinawati menyatakan keheranannya.

4. Sketsa Terduga Polri

Anggota tim kuasa hukum Novel, Alghiffari Aqsa menuturkan tim advokasi merasa temuan polisi ini seolah-olah baru sama sekali.

"Misal, apakah orang yang menyerahkan diri mirip dengan sketsa-sketsa wajah yang pernah beberapa kali dikeluarkan Polri. Polri harus menjelaskan keterkaitan antara sketsa wajah yang pernah dirilis dengan tersangka yang baru saja ditetapkan," kata Alghiffari.

Sedangkan menurut penelurusan Tempo, RB diduga bernama asli Ronny Bugis. Dia anggota Brigade Mobil berpangkat brigadir. Sedangkan identitas RM masih misterius.

Wajah RB tak identik dengan sketsa yang pernah dirilis Polri. Namun, dia sekilas mirip dengan sketsa yang dikeluarkan Tempo pada Juli 2017. Dalam sketsa yang dibuat berdasarkan saksi di lapangan, pria itu berwajah agak bulat dengan rambut disisir ke belakang. Pria ini diperkirakan berusia 35 tahun, tinggi 165 sentimeter, berkulit agak gelap, dan bertubuh gempal.

Haris Azhar tak mau buru-buru percaya dengan kemiripan sketsa dan tersangka pelaku itu. Menurut dia, ada sejumlah fakta di lapangan yang belum diselidiki oleh polisi. Misalnya saja soal motor yang dipakai dua orang pengintai Novel sebelum penyerangan. Motor itu diduga milik anggota Polda Metro Jaya.

5. Motif Tersangka

Saat digelandang ke mobil tahanan, tersangka RB menyebut Novel sebagai pengkhianat. "Tolong dicatat, saya enggak suka sama Novel karena dia pengkhianat," kata RB dengan nada tinggi pada Sabtu, 28 Desember 2019, saat hendak dibawa ke Mabes Polri dari Polda Metro Jaya.

Haris Azhar meragukan motif ini. Menurut dia, motif itu mirip dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Pollycarpus Budihari Priyanto, yang belakangan menjadi terpidana pembunuhan Munir, juga menuding Munir sebagai pengkhianat.

"Itu motif yang biasa diutarakan kalau negara melakukan kejahatan terhadap warganya," kata Haris Azhar pada Ahad, 29 Desember 2019.

Padahal sebelumnya, Tim Gabungan Pencari Fakta bentukan Polri menyatakan serangan kepada Novel berhubungan dengan pekerjaannya sebagai penyidik KPK. Ada sejumlah kasus besar yang ditangani Novel, di antaranya kasus korupsi e-KTP, kasus korupsi mantan ketua MK Akil Mochtar, kasus korupsi mantan Sekretaris Jenderal MA Nurhadi, kasus korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu, dan kasus korupsi Wisma Atlet.

Alghiffari Aqsa menuturkan, tim advokasi juga menemukan ketidaksinkronan informasi dalam kasus ini ketika menyandingkan pernyataan dari Polri dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Kepolisian menyatakan belum mengetahui tersangka, sedangkan Presiden Jokowi mengatakan akan ada tersangka.

"Ini menunjukkan cara kerja Polri yang tidak terbuka dan profesional dalam kasus ini. Korban, keluarga, dan masyarakat berhak atas informasi terlebih kasus ini menyita perhatian publik dan menjadi indikator keamanan pembela HAM dan anti korupsi," ujar dia.

Alghifari menyatakan Presiden Jokowi wajib memeriksa setiap pengembangan kasus teror air keras tersebut.

"Presiden perlu memberikan perhatian khusus atas perkembangan teror yang menimpa Novel. Jika ditemukan kejanggalan maka Presiden harus memberikan sanksi tegas kepada Kapolri," dia menandaskan.


Jalan Berliku Mencari Penyerang Novel

Penyidik KPK Novel Baswedan usai menggunjungi gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/4). Novel Baswedan selesai menjalani perawatan di rumah sakit Singapura yang kedua hingga kini kasus penyiraman air keras genap satu tahun. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Novel Baswedan diserang dua orang tak dikenal sepulang dari salat subuh berjamaah di Masjid Ihsan di dekat rumahnya, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa pagi 11 April 2017. Kedua orang yang berboncengan dengan sepeda motor itu dengan sengaja menyiramkan air keras ke wajah penyidik yang banyak mengusut kasus korupsi besar ini.

Akibatnya, dua mata Novel terancam buta. Mata kiri novel rusak hingga 95 persen. Novel harus menjalani operasi berkali-kali di Singapura.

Sehari sejak Novel diserang, KPK meminta Presiden Joko Widodo membentuk tim gabungan untuk mengusut perkara ini. Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas meminta Jokowi langsung membentuk tim gabungan untuk mengusut penyerang Novel.

"Presiden harus turun tangan langsung membentuk tim gabungan dari unsur Polri, NGO, dan kampus," kata Busyro, 12 April 2017.

Wadah Pegawai KPK dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pun mendesak Jokowi membentuk tim independen karena informasi tentang penyerangan ini sudah banyak sehingga tergantung polisi akan membongkar kasus ini atau tidak.

"Kalau tidak ada niat ke sana, maka sebaiknya dibentuk tim independen. Kasus teror ini harus tuntas," kata Haris Azhar dari Kontras.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyiapkan pembentukan TGPF untuk kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Hasil investigasi pendahuluan oleh tim dari Sub Komisi Pemantauan Komnas HAM menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam teror yang menimpa penyidik utama KPK itu.

"Hingga 55 hari sejak kejadian, kepolisian tak berhasil menemukan para pelakunya. Dengan begitu, pembentukan TGPF menjadi relevan," kata Ketua tim investigasi dari Sub-Komisi Pemantauan Komnas HAM, Maneger Nasution.

Dalam pembentukan tim ini, Komnas HAM menggandeng koalisi masyarakat. Beberapa tokoh dari koalisi masyarakat itu di antaranya pengajar di Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar; mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto; dan mantan Ketua KPK, M. Busyro Muqoddas. Maneger mengatakan para tokoh ini dianggap paham soal peta dinamika di KPK dan Polri.

Kepolisian RI kemudian mempublikasikan sketsa wajah satu dari dua orang yang dicurigai sebagai pelaku penyerangan terhadap Novel pada 1 Agustus 2017. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan timnya merilis sketsa dari penyempurnaan tiga sketsa sebelumnya.

"Ini statusnya (hasil sketsa) baik. Artinya mendekati wajah yang dilihat saksi," kata Tito di Istana Kepresidenan, Agustus 2017.

Sketsa wajah pelaku kedua diumumkan pada November 2017 bersama sketsa terduga pelaku pertama. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis mengatakan dua sketsa itu dibuat berdasarkan pemeriksaan dua saksi kunci yang sempat melihat para pelaku sebelum serangan air keras ke wajah Novel.

"Ini sudah lebih dari 90 persen sesuai dengan wajah terduga pelaku. Mereka yang menyerang," ujar Idham.

Setahun berlalu, pelaku penyerangan Novel belum juga ditangkap kepolisian. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffary Aqsa, juga mengatakan ada banyak informasi dan bukti yang cukup bagi polisi untuk menetapkan status tersangka kepada sejumlah terduga pelaku.

Menurut dia, polisi bahkan belum mengembangkan isi kesaksian Novel saat diperiksa di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura. "Apakah orang yang disebut Novel sudah diperiksa?" katanya.

Koalisi masyarakat juga sempat menyebut adanya upaya kepolisian mengabaikan kasus penyerangan Novel. Hasil investigasi yang dilakukan Koalisi menemukan bahwa polisi mempunyai sketsa wajah lain terduga pelaku yang tak dipublikasikan ke khalayak.

"Padahal sketsa yang tidak diumumkan itu paling mirip dengan wajah pelaku," kata Haris Azhar, penasihat hukum Novel Baswedan, saat menggelar aksi setahun penyerangan Novel di depan Istana Negara.

Markas Besar Kepolisian RI akhirnya membentuk tim gabungan untuk menindaklanjuti kasus Novel Baswedan awal 2019. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal mengatakan tim gabungan itu merupakan tidak lanjut dari rekomendasi Komnas HAM akhir Desember 2018.

Dalam surat tugas Kapolri, anggota dalam tim gabungan kasus Novel Baswedan ini berjumlah 65 orang terdiri dari perwakilan KPK 6 orang, perwakilan pakar 7 orang, dan sisanya dari kepolisian sebanyak 52 orang. Beberapa nama tokoh perwakilan dari pakar dalam tim gabungan ini yakni mantan Wakil Ketua KPK periode Februari-Desember 2005 Indriyanto Seno Adji, guru besar Fakultas Hukum UI. Ada pula Hermawan Sulistyo dari LIPI.

Pegiat HAM juga turut dilibatkan. Mereka adalah Ketua Setara Institute Hendardi, mantan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, serta bekas Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012 yaitu Ifdhal kasim.

Sejumlah temuan baru terkait kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan kemudian diungkap tim gabungan ini. Tim yang telah bekerja selama 6 bulan tersebut mengungkapkan hasil kerjanya kepada publik dalam sebuah konferensi pers di Mabes Polri, Rabu (17/7/2019).

Tim mengungkapkan perihal zat kimia yang digunakan hingga adanya dugaan penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh Novel sehingga terjadi penyerangan.

Saat mengumumkan hasil investigasi, terdapat sejumlah poin penting yang diperlihatkan TGPF. Pertama, TGPF menyebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan tidak dengan maksud membunuh, tapi membuat Novel menderita. Menurut TGPF, kesimpulan ini berdasarkan zat kimia yang digunakan, yang memang tidak membahayakan jiwa atau menimbulkan luka permanen.

Kedua, TGPF menduga bahwa penyerangan yang dialami Novel diduga akibat penggunaan kekuasaan yang berlebihan atau excessive use of power oleh Novel saat menjalankan tugas. Anggota TGPF, Hendardi, mengatakan bahwa hal itu diduga memicu pihak yang sakit hati terhadap Novel dan melakukan serangan terhadap penyidik KPK tersebut.

Ketiga, TGPF menduga Novel Diserang karena penggunaan kekuasaan yang berlebihan

Empat, terdapat enam kasus high profile dalam penanganan Novel yang diduga bisa menimbulkan serangan balik. Kasus high profile itu terdiri dari kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP); kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; kasus mantan Sekjen MA Nurhadi; kasus korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu; dan kasus korupsi Wisma Atlet.

Akan tetapi, hasil investigasi TGPF belum juga menemukan titik terang. Sebab, kekerasan dan teror terhadap Novel Baswedan yang terjadi lebih dari dua tahun lalu itu belum juga diketahui pelaku dan dalang di baliknya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya