Aceh Diminta Bercermin pada Kearifan Masa Lalu untuk Bangkit

Aceh diuntungkan dengan posisi geografisnya yang dijadikan sebagai pintu masuk Selat Malaka yang sangat penting peranannya sebagai jalur pelayaran internasional.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Feb 2020, 08:11 WIB
Turis asing mengenakan jilbab saat mengunjungi Masjid Agung Baiturrahman di Banda Aceh, Aceh pada 6 Agustus 2019. Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Baiturahman juga menjadi tempat wisata bagi turis lokal dan mancanegara. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sejarawan Mawardi Umar mengatakan, kemiskinan di Aceh sangat ironi lantaran wilayah tersebut memiliki hasil bumi atau kekayaan alam melimpah serta tanah yang subur. Apalagi Aceh pernah berjaya pada masa Kesultanan Iskandar Muda.

Aceh pernah menjadi salah satu kesultanan Islam yang paling sukses di Nusantara, baik di bidang politik, ekonomi, dan intelektual," ucap Mawardi dalam Seminar Keacehan bertajuk Keacehan bertema 'Kearifan Masa Lalu, Kejayaan Masa Depan' di Universitas Syiah Kuala, Sabtu (15/2/2020).

Menurut Mawardi, pada abad ke 17, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi terkuat di bagian barat Nusantara yang mampu membendung perkembangan kolonial Portugis.

“Keunggulan yang dimiliki Aceh tersebut perlahan mengalami kemunduran yang diawali masuknya kolonial Belanda hingga terjadi pelawanan puluhan tahun. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi hancur dan sosial budaya mengalami kemunduran," katanya.

Dia menilai, kejayaan masa lalu Aceh tidak terlepas dari kecerdasan rakyatnya yang saat itu memanfaatkan keuntungan posisi geografis Aceh sebagai pintu masuk Selat Malaka yang sangat penting peranannya sebagai jalur pelayaran internasional.

“Aceh saat itu tidak hanya sebagai pusat pemerintah yang kuat, namun juga menjadi pusat perdagangan dan peradaban," ucap Mawardi.

Hal senada juga dikatakan Qismullah Yusuf, staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Syiah Kuala. Menurutnya, Aceh masa lampau juga telah melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara di Eropa seperti Inggris, Turki, dan Belanda.

“Pada Abad 16-17 Kesultanan Aceh mengirim empat orang utusannya ke Belanda yang dipimpin Tuanku Abdul Hamid untuk mengakui kedaulatan Belanda setelah bebas dari Spanyol. Akhirnya, pada 10 Agustus 1602, Tuanku Abdul Hamidi meninggal di Amsterdam,” sebut Qismullah Yusuf.

Di sisi lain, kekayaan alam Aceh seperti pala, cengkeh, kopi gayo, dan nilam juga salah satu komoditi yang berpeluang mengembalikan Aceh pada kejayaan di masa mendatang, seperti di masa kesultanan Aceh lampau.

“Nilam salah satu komoditi unggul yang dapat diolah seperti minyak wangi yang dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi untuk diekspor,” kata Syaifullah.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Runtuh Akibat Tsunami

Masjid yang masih berdiri ditempa tsunami di Aceh. (foto: ABC.net)

Sementara itu, Peneliti Tsunami Mitigation Reserch Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Alfi Rahman menyebutkan, keruntuhan kejayaan Aceh selain akibat masuknya kolonialisme Belanda, juga akibat faktor bencana alam gempa dan tsunami.

Hasil penelitian di Gua Ek Leuntie, Aceh Besar, ungkap Alifi, ditemukan bahwa tsunami yang melanda Aceh pasa 26 Desember 2004 lalu bukan yang pertama kali terjadi. Tsunami pernah terjadi di Aceh ratusan tahun sebelumnya. Seperti di Kepulauan Simeulue, pengetahuan masyarakat lokal menyebutkan tsunami dengan istilah Smong.

“Kisah Smong atau tsunami dikisahkan lewat budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut nafi-nafi atau cerita tutur tentang kisah masa lalu yang hingga kini masih dilestarikan,” jelasnya.

Diharapkan dengan bercermin dari kejadian masa lalu, Aceh ke depan bisa bangkit untuk mengembalikan kejayaan di masa mendatang. Kejayaan tersebut tidak terlepas dari sejarah dan budaya serta kearifan lokal yang harus tetap dilesatarikan.

Untuk diketahui, seminar ini digelar berkat kerja sama Universitas Syiah Kuala bersama Yayasan Sukma Bangsa dan Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR dan DPD RI asal Aceh.

Seminar diisi oleh para pemateri yang merupakan pakar sejarah dan akademisi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yaitu DR Qismullah Yusuf, Mawardi Umar MA, DR Syaifullah Muhammad dan DR Alfi Rahman.

Seminar yang merupakan Pre-Event acara Kenduri Kebangsaan 2020 yang akan berlangsung di Kabupaten Bireuen, Aceh, dan juga dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo, dilakukan untuk memperoleh ide-ide serta masukan yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah untuk membangun Aceh di masa depan.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya