Desember 2019 Catatkan Inflasi 0,34 Persen, Paling Tinggi Terjadi di Batam

Nilai inflasi pada Desember 2019 adalah sekitar 0,34 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 139,07.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 02 Jan 2020, 12:22 WIB
Pedagang menata telur di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi dalam satu tahun kalender 2019 sebesar 2,72 persen. Angka tersebut merupakan yang terendah selama satu dekade, yakni dalam rentang waktu 2010-2019.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, nilai inflasi pada Desember 2019 adalah sekitar 0,34 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 139,07. Angka tersebut didapat dari perhitungan di 82 kota.

"Hasil pemantauan di 82 kota, terjadi inflasi 0,34 persen. Dengan inflasi itu, maka inflasi 2019 tahun kalender adalah sebesar 2,72 persen," jelas dia di kantornya, Jakarta, Kamis (2/1/2020).

Dari 82 kota tersebut, Suhariyanto melanjutkan, ada 72 kota yang mengalami inflasi dan 10 kota deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Batam sebesar 1,28 persen dengan IHK 139,73, sementara terendah di Watampone sebesar 0,01 persen dengan IHK 135,06.

Sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Manado sebesar 1,88 persen dengan IHK sebesar 138,34, dan terendah terjadi di Bukittinggi dan Singkawang masing-masing sebesar 0,01 persen dengan IHK masing-masing sebesar 133,58 dan 137,78.

Suhariyanto meneruskan, inflasi pada 2019 dalam 3 tahun terakhir adalah yang terendah dibanding 2018 (3,13 persen) dan 2017 (3,61 persen). Bahkan, menjadi yang tertinggi selama satu dekade.

"Inflasi 2019 selama satu dekade adalah yang terendah. Pada 2009, 2,78 persen, 1999 sebesar 2,13 persen. Jadi 2,72 persen selama 10 tahun terakhir adalah yang pertama," tukas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Masalah Dibalik Rendahnya Inflasi Indonesia

Seorang pembeli melintas di antara kios di pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (2/12/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi sepanjang Januari-November 2019 sebesar 2,37 persen, lebih kecil ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar 2,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat inflasi terkendali. Hanya saja, capaian ini belum bisa menjadi tolak ukur kesuksesan pemerintah dalam memimpin Indonesia lima tahun terakhir.

Pengamat Ekonomi dari Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita menjelaskan, ada beberapa hal yang harus segera diselesaikan pemerintah baru dibalik rendahnya inflasi tersebut.

"Coba jika kita sandingkan dengan data trend penurunan konsumsi rumah tangga dan kapasitas ekspor non migas yang terus melemah, dan data import komoditas yang juga terus meningkat. Apalagi jika kita kaitkan dengan apa yang terjadi di Amerika, Eropa, Jepang, dan lainya," kata Ronny kepada Liputan6.com, Minggu (13/10/2019).

Dia menambahkan, negara-negara besar yang terpapar stagnasi sejak krisis 2008 lalu, sangat berharap inflasinya naik. Bahkan di Amerika dna Eropa, untuk mecatatkan inflasi dua persen ke atas saja, usahanya sangat berat.

Di tengah inflasi yang rendah, menurut Ronny, terjadi pelemahan di sektor konsumsi rumah tangga, pelemahan ekspor non migas, dan peningkatan impor, boleh jadi berarti bahwa telah terjadi penurunan daya beli.

"Saya yakin, sedari dua tahun lalu pemerintah sangat memahami kondisi ini. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa kali pemerintah menambah alokasi dana sosial dan subsidi energi, untuk menahan pelemahan lebih lanjut konsumsi rumah tangga," ucapnya.

"Hanya saja narasi yang dibangun ketika itu bukanlah ancaman pelemahan daya beli, lagi-lagi dalam konteks umum alasanya tekanan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan global," jelas pria yang juga sebagai tim ahli ekonomi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu.

Dan tak bisa dipunggiri, dia menegaskan, rendahnya raihan pertumbuhan ekonomi Indonesia diakibatkan oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan penurunan kontribusinya terhadap PDB Nasional, selain kurang maksimumnya kinerja investasi dan ekspor non migas.


Data BPS

Seorang pedagang memasukan bumbu masak di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (3/1). Pencapaian ini lebih rendah dibandingkan tahun 2017 yang sebesar 3,61%. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Berdasarkan data dari BPS, ekonomi Indonesia kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau tumbuh negatif 0,52 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. "Angkanya sejalan dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga," kata Ronny.

Pada kuartal I 2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode sama tahun lalu, konsumsi sedikit melambat dari kuartal IV 2018 yang mencapai 5,08 persen.

Selanjutnya, menurut Ronny, dengan kontribusi terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan laju ekonomi. Saat konsumsi melambat, hampir dipastikan akan berefek pada agregat pertumbuhan ekonomi.

Sebut saja misalnya data PDB Triwulan IV-2017, kontribusi konsumsi sektor rumah tangga dalam perhitungan PDB masih dominan, yaitu 56,13 persen terhadap PDB.

"Namun kontribusi tersebut menurun dari Triwulan IV-2016 (56,56 persen). Penurunan terjadi akibat imbas dari konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh sebesar 4,97 persen (yoy) atau menurun dibanding Triwulan IV-2016 (4,99 persen)," ungkapnya.


Impor Meningkat

Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ronny melanjutkan, kemudian sisi lainya adalah bahwa inflasi rendah lebih banyak didorong oleh pemerintah dari sisi supply, terutama dari sisi import. Karena kepentingan stabilisasi harga, pemerintah habis-habisan menjaga supply, tanpa banyak memikirkan kapasitas produksi dalam negeri sehingga kebijakan impor tak bisa dielakan lagi, sampai data neraca dagang beberapa kali defisit dan menyiasatinya dengan pengurangan impor, bukan dengan meningkatkan ekspor.

"Lalu, jika kita perhatikan data BPS, untuk barang makanan jadi atau makanan olahan, inflasinya tak terlalu rendah, jika dibanding dengan angka pertumbuhan yang diraih, walau harga bahan baku untuk barang makanan jadi tercatat inflasinya rendah," Ronny menjelaskan.

"Apalagi jika kita kaitkaan dengan kepentingan petani misalnya, mereka justru terimbas langsung dari inflasi rendah karena harga jual hasil panennya juga ikut terbawa rendah, bahkan ada yang membuang-buang hasil panennya sebagai bentuk kekesalan. Sementara di pedesaan, sebagai sentra penghasil komoditas pertanian, sebagaimana data BPS, seringkali inflasinya tinggi karena ikut memgkonsumsi barang-barang dari kota. Sehingga kehidupan ekonomi petani, kian hari kian berat," pungkas dia. 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya