Liputan6.com, Jakarta - Terhitung hampir tiga sampai empat dekade lalu saat menonton film layar tancap adalah momen yang dinanti. Berbondong membawa alas duduk, mencari posisi terbaik, serta tak lupa membeli satu-dua jajanan, ritual ini 'sangat sakral' di tahun 80 hingga 90-an.
Deras arus modernitas tak bisa disusul layar tancap yang popularitasnya meredup secara konsisten. Konsekuensinya layar-layar putih tak terkembang sesering dulu, euforia berganti, pun dengan peran sebagai pengantar hiburan.
Kendati bagi kebanyakan orang layar tancap sebatas kenangan manis, geliat pertunjukan berlabel hiburan rakyat tersebut masih hidup dalam keseharian Herman. Lelaki asal Karangtengah, Ciledug, Tangerang ini masih 'ngotot' melestarikan pertunjukan layar tancap.
Baca Juga
Advertisement
"Saya memang hobi, suka sama layar tancap makanya saya lestariin," katanya pada Liputan6.com lewat sambungan telepon, Jumat, 3 Januari 2020. Di samping, kegemaran ini dijadikan ladang mencari rezeki.
Selain dipanggil untuk memutarkan film layar tancap di acara pernikahan, sekaligus penyewaan sound system, Herman masih cukup sering mengadakan pertunjukkan tersebut saat berkumpul dengan keluarga dan teman-teman. "Ya, tapi yang lain juga boleh datang, nonton (layar tancap) bareng," imbuhnya.
Dalam pemutaran, Herman menjelaskan terdapat dua jenis alat yang dimanfaatkan. Versi jadulnya memakai solenoid dengan pilihan film terbatas, sementara yang terbaru memakai teknologi digital dengan pengoperasian lebih mudah, serta banyak opsi film.
"Sebetulnya layar tancap itu sederhana. Cuma butuh layar putih sama proyektor. Alat kayak sound system itu cuma pelengkap saja," terang Herman.
Soal jenis film layar tancap yang digemari, Herman menyebut beberapa genre, yakni horor dan komedi. "Ada juga yang suka (film) kolosal," sambungnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pergeseran Audiens
Seiring tahun berlalu, ada satu fenomena yang disadari Herman, yaki pergeseran audiens film layar tancap. Hiburan yang semula lekat dengan warga kelas menengah ke bawah ini sekarang sudah dikonsumsi publik menengah-atas.
"Pejabat, bule jadi suka nonton layar tancap. Karena sudah jarang, dianggapnya unik. Nah, hal-hal seperti ini, yang asil kayak gini, yang sebetulnya dicari mereka," kata Herman.
Terbukti dengan panggilan menggelar penanyangkan film layar tancap, tak hanya di acara pernikahan, tapi juga festival di mal, bahkan museum tengah kota. "Yang di mal itu saya dikontrak sampai seminggu malah," cerita Herman.
Kendati, suasana penanyangan film menurutnya sudah berubah, lantaran tak sedikit orang terdisktraksi dengan ponsel. "Jad, istilahnya mah mata ke mana, mulut ke mana, tangan ke mana," tuturnya.
Pergesaran-pergersan ini dinilai Herman sebagai bumbu dalam perjalanan mencintai, sekaligus melestarikan pemutaran film layar tancap. "Saya anggap ini sebagai budaya, makanya saya mau lestariin sebisa saya," tandasnya.
Advertisement