Liputan6.com, Aceh - Eksepsi Saiful Mahdi, pengkritik yang jadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh Kelas IA, dalam sidang ke-IV dengan agenda pembacaan putusan sela, Senin pagi (6/1/2020). Mahdi dan kuasa hukumnya mesti mengikuti sidang lanjutan beragenda pembuktian dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Salah satu kuasa hukum terdakwa, Desi Amelia, mengatakan bahwa nota keberatan yang dibacakan pihaknya dalam persidangan sebelumnya ditolak karena beberapa hal, misal, poin yang diajukan dalam nota keberatan telah masuk dalam pokok perkara. Kini pihaknya tengah mempersiapkan diri untuk agenda sidang berikutnya.
Advertisement
"Saksi telah kita siapkan, dan, yang pastinya, persiapan mental dari klien kita sendiri," jawab advokat tersebut, ditemui Liputan6.com, di tempat kerjanya, Kantor YLBHI-LBH Banda Aceh, Senin siang.
Sidang diketuai Hakim Ainal Mardiah itu diramaikan peserta terdiri dari mahasiswa dan lembaga nonpemerintah. Kedatangan orang-orang ini sebagai bentuk dukungan moral kepada Mahdi, selain resistansi terhadap apa yang mereka sebut "kungkungan" kebebasan berpendapat di ruang akademik.
Saiful Mahdi adalah dosen statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) universitas kesohor di Aceh. Ia tersangkut masalah hukum setelah kritikan yang dilempar di dua grup WhatsApp internal diperkarakan oleh koleganya.
Isi unggahan Mahdi pada Maret 2019 berupa kalimat sentilan yang memang tak eufemistis, atas dasar dugaan tak ada unsur meritokrasi dalam perekrutan tenaga pengajar (CPNS) di fakultas teknik (FT). Tidak hanya hantam kromo, kritikan Mahdi itu berdasarkan perhitungan-perhitungan yang sarat bertepas.
Dalam tes, ikut serta seorang dosen nonpegawai yang mengajar lebih kurang 2 tahun di FT Industri. Saat tahapan tes objektif, —Tes Kemampuan Dasar (TKD)— dosen berinisial T muncul sebagai peserta dengan nilai tertinggi tingkat fakultas dan kedua tingkat universitas, namun, setelah mengikuti tahapan subjektif, ia dinyatakan tidak lulus.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?"
"Gong Xi Fat Cai!!!"
"Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen."
"Hanya para medioker atau yang terjerat 'hutang' yang takut meritokrasi." Begitu bunyi unggahan yang terbagi atas empat bagian.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Kritikan Tidak Mendasar?
Sang pelapor ialah Taufik Saidi, dekan dari fakultas yang disasar oleh lulusan Corneel dan Vermont. Oleh Taufik, tudingan Mahdi diklaim tidak berdasar, dalihnya, perekrutan yang dimaksud berada di bawah wewenang kementerian bukan fakultas.
"Pak Saiful Mahdi salah menuduh dan tanpa bukti. Komisi etik merekomendasi ke rektor supaya yang bersangkutan meminta maaf, khilaf," terang Saidi, kepada Liputan6.com, September.
Soal rekom komisi etik yang dimaksud Saidi, dalam salinan 'pendapat hukum' diterima Liputan6.com, kuasa hukum Mahdi menjelaskan bahwa sidang etik yang digembor-gemborkan sama sekali tidak pernah dilakukan. Agenda panggilan Komisi F senat universitas pada Maret hanya klarifikasi belaka.
Segendang sepenarian dengan para pihak yang kontra dengan Mahdi, Rektor Universitas Syah Kuala, Samsul Rizal, menindaklanjuti masalah ini dengan melayangkan surat kepada yang bersangkutan. Mahdi disuruh minta maaf dalam waktu 1x24 jam, jika tak ingin dikenai sanksi.
Surat tersebut dibalas satu pekan kemudian dengan tembusan Menristekdikti, yang isinya prinsipiel dan tegas, menolak meminta maaf. Saidi pun melapor ke polisi karena sejawatnya dinilai tidak punya iktikad, hingga Mahdi jadi tersangka dan diseret ke kursi pesakitan, sementara, keganjilan yang mengganjal di benaknya tak pernah terjawab.
Advertisement