Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengakui kelompok bahan baku menjadi permasalahan terbesar sektor Industri nasional. Salah satunya mengenai persoalan harga gas yang saat ini masih terbilang tinggi.
"Bahwa isu yang dihadapi industri nomor satu yaitu langka, kekurangan bahan baku atau mahalnya bahan baku yang salah satunya adalah gas," kata dia di Kantornya, Jakarta, Senin, (6/1).
Agus menyebut nominal yang kompetitif untuk harga gas mestinya bisa sesuai atau lebih rendah dari Perpres Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi sebesar USD 6 per MMBTU.
Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan harga yang terjadi disejumlah daerah misalnya di Medan, harga gas bumi bisa mencapai USD 13 per MMBTU. Sementara di Jawa hanya USD 7 per MMBTU.
Baca Juga
Advertisement
"Ini telah kami bahas berkali kali dalam rapat bersama presiden dan tentu yang paling ideal harga gas masing-masing sektor industri mempunyai harga ideal terhadap harga gas yang bisa memunculkan atau menjadikan mereka sebagai industri yang punya daya saing yang kuat," paparnya.
Menurut Agus, perbedaan penerapan standar harga kerap menimbulkan ketidakadilan energi bagi pelaku industri. Idealnya, penerapan harga gas bisa serupa harga bahan bakar minyak yang dipasok Pertamina yakni merata dan satu harga.
"Rata-rata kalau harga gas bisa paling tinggi USD 6 saya kira industri Indonesia punya daya saing yang cukup dibandingkan dengan industri yang ada di kawasan," tuturnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengusaha Sambut Baik Penundaan Kenaikan Harga Gas
Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda kenaikan harga gas bumi untuk industri disambut positif oleh kalangan pengusaha. Saat ini, rata-rata harga gas untuk sektor industri adalah sebesar USD 9-10 per MMBtu.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia, Achmad Widjaja menilai kebijakan Jokowi cukup melegakan para pelaku industri. Menurutnya, harga gas yang relatif rendah bisa mendorong pertumbuhan industri, penyerapan tenaga kerja dan penghematan devisa.
Adapun untuk harga ideal yang diharapkan pelaku usaha, Achmad menyatakan sesuai harga yang sudah dirujuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yaitu sebesar USD 6 per MMBTU.
"Saat pemerintah keluarkan kebijakan untuk bantu industri secara efektif. Harus ada garis komando Presiden, Kementerian ESDM perlu pelajari insentif bahwa harga USD 6 itu harus sungguh-sungguh diberikan," kata Achmad di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
"Dengan angka itu industri ada planning jangka panjang dalam hal produksi, efisiensi dan lain-lain. Kan posisi industri itu membantu negara, bantu ciptakan lapangan kerja bantu ekonomi dan sebagainya," tambahnya.
Senada dengan Achmad, Pengamat Migas Kurtubi menilai pemerintah perlu mendukung industri guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan, harga gas yang mahal justru berpotensi mematikan sektor industri di tanah air.
"Seyogyanya gas bisa mendorong industrialisasi. Sesuai amanah pasal 33 UUD 1945, sumber daya alam (SDA) digunakan untuk kemakmuran rakyat. SDA termasuk migas harus diarahkan untuk dorong naiknya pertumbuhan ekonomi. Caranya lewat industrilisasi," kata dia.
Kurtubi mengatakan, harga gas di Indonesia di kisaran USD 9-10 per MMBtu masih relatif mahal. Dia membandingkan dengan harga gas yang diekspor ke Tiongkok ada sebesar USD 3 per MMBtu dan Jepang di kisaran USD 11-12 per MMBtu.
"Saya dengar ada usulan kenaikan harga gas sampai USD13 per MMBtu. Harga gas (yang diekspor) di Jepang sekitar ISD 11-12. Kalau dinaikkan sekitar 12-13 which is sama dengan harga ekspor, padahal saat itu harga minyak mentah lagi mahal yaitu USD 100 per barel," paparnya.
Kurtubi sepakat bila harga gas yang ideal untuk industri yakni sebesar USD 6 per MMBtu.
"Dengan USD 6 mungkin industri migas bisa lari kencang. Cadangan gas kita juga masih banyak. Misalnya di Maluku itu blok Masela belum dieksplor," ucap dia.
Advertisement
Solusi Polemik Harga Gas
Sedangkan Pengamat energi Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara meminta pemerintah berlaku adil terkait permasalahan harga gas industri.
“Dalam kondisi seperti sekarang ini, harga gas dunia sedang turun. Jadi kalau dinaikkan memang benar bisa mempengaruhi daya saing produk industri kita. Namun, pemerintah seharusnya juga siap berkorban untuk mengurangi porsi bagi hasil bagian negara,” ujar Marwan, melalui sambungan telepon.
Data dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, dalam dua tahun terakhir penerimaan negara dari sektor migas selalu melebihi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada 2017, realisasi penerimaan negara dari migas menembus angka Rp 138 triliun alias 117 persen dari target APBN. Sementara tahun lalu, jumlah penerimaan migas mencapai Rp 228 triliun atau 182 persen dari target APBN.
Dengan demikian, masih ada ruang bagi pemerintah berkontribusi menciptakan harga yang adil dengan mensubsidi PGN agar tidak menaikkan harga jual gas ke pelanggan.
“Dengan memperkecil bagi hasil bagian negara, memang pendapatan sektor ESDM dari migas turun. Tetapi dengan harga gas yang tidak naik karena disubsidi dari bagi hasil bagian negara, industrinya tetap berkembang dan pemerintah dapat kompensasi dari penerimaan pajak penghasilan yang meningkat,” jelasnya.