Pemerintah Putuskan Iuran BPJS Kesehatan Tetap Naik

Pemerintah memutuskan untuk tetap memberlakukan kenaikan tarif BPJS Kesehatan sesuai dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019.

oleh Athika Rahma diperbarui 06 Jan 2020, 15:27 WIB
Proses administrasi BPJS Kesehatan untuk kategori peserta mandiri membutuhkan banyak waktu karena banyak hal teknis yang harus dilengkapi

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan, Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersama dengan menteri-menteri lain di bawah pimpinannya, memutuskan untuk tetap memberlakukan kenaikan tarif BPJS Kesehatan sesuai dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019.

Muhadjir menyatakan, tidak ada lagi penyesuaian mengenai tarif BPJS kesehatan. Ke depan, masyarakat harus membayar penuh iuran yang naik per 1 Januari 2020 kemarin.

"Kami memandang perlu kebijakan BPJS dibahas tuntas agar mendapatkan titik temu. Jadi sesuai kesepakatan di rapat, Perpres 75/2019 tetap berlaku," ungkapnya di Gedung Kemenko PMK, Senin (6/1/2020).

Di saat yang sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mematuhi keputusan pemerintah dalam menaikkan iuran ini. Tentu, dalam pelaksanaannya banyak masyarakat yang merasa keberatan dan memutuskan turun kelas.

Oleh karenanya, Fahmi menyatakan bahwa pihaknya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin turun kelas.

"Kami buka kesempatan untuk turun kelas seluas-luasnya. Pelayanan tidak akan berubah walaupun turun kelas," ujar Fahmi.

Lebih lanjut, bagi penerima manfaat kelas III, BPJS Kesehatan bersama Kementerian Sosial akan melakukan pendataan akurat apakah penerima manfaat memang tidak mampu membayar atau tidak mau membayar.

"Yang tidak mampu akan kita data. Kan ada yang memang tidak mampu, ada yang tidak mau. Jika kurang mampu akan diusulkan masuk ke golongan PBI (penerima bantuan iuran)," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


BPJS Kesehatan Diprediksi Terus Defisit Imbas Perpindahan Kelas

Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai perlu adanya perubahan direksi baru di tubuh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Mengingat, selama 5 tahun ke belakang, BPJS Kesehatan belum mampu menunjukan catatan positif, melainkan masalah defisit yang terjadi secara terus menerus.

"Kalau dari sisi keuangan saja defisit berarti ada masalah dalam strategi tata kelola keuangan. Menurut saya akan lebih baik apabila ada wajah-wajah baru menawarkan strategi baru untuk mengurangi masalah defisit ini," kata dia dalam sebuah diskusi yang digelar di Kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (17/11/2019).

Dia menekankan sebaiknya BPJS Kesehatan tidak bergantung kepada keputusan menteri keuangan saja. Sebab, di dalam internal sendiri sebetulnya bisa melakukan perubahan secara inisiatif.

"Dia harus berkoordinasi dengan Kemenkes untuk menyelesaikan masalahnya," imbuh dia.

Dari perkiraannya, defisit di tubuh perusahaan akan terus terjadi di 2020 bahkan 2021. Indikasinya, pertama adalah ada shifting atau perpindahan dari golongan I ke golongan II, kemudian golongan II ke III.

"Karena shifting itu artinya perkiraan penerimaan dari pendapatan golongan I ke II akan lebih rendah dari yang diperkiraan awal," kata dia.

Otomatis adanya perpindahan kelas tersebut maka target pendapatan akan jadi turun. Sementara bebannya cenderung tetap dan meningkat sehingga masih akan defisit

"Kedua, masalah tadi itu gak akan selesai dalam waktu 1 tahun. Ada masalah suplay yang tidak selesai dalam 1-2 tahun dan beban biayanya besar, sehingga defisit masih terjadi," tandas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya