Penerimaan Pajak 2019 Hanya Capai 84,4 Persen dari Target

Realisasi penerimaan pajak sepanjang 2019 sebesar Rp 1.332,1 triliun.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jan 2020, 13:45 WIB
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak sepanjang 2019 mencapai Rp 1.332,1 triliun. Angka ini baru sekitar 84,4 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp 1.577,6 triliun.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan meski tidak tercapai target dalam APBN realisasi penerimaan pajak tahun ini tumbuh positif sebesar 1.43 persen dari tahun lalu yang hanya mencapai sebesar Rp 1.313,3 triliun.

"Penerimaan pajak migas dan non masih tumbuh positif dari tahun lalu di tengah tekanan ekonomi global," kata dia dalam konferensi pers APBN Kita di Kantornya, Jakarta, Selasa (7/1).

Jika dirinci, penerimaan pajak untuk Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas tercatat sebesar Rp 711,2 triliun atau 85,9 persen dari target Rp 828,3 triliun. Sektor penerimaan PPh non migas mengalami pertumbuhan sebesar 3,8 persen meski lebih rendah dari pertumbuhan 14,9 persen di 2018.

Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terkumpul sebesar Rp 532,9 triliun. Penerimaan di sektor ini mencapai 81,3 persen dari target Rp 655,4 triliun, meski pertumbuhannya mengalami kontraksi 0,8 persen.

Untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya sebesar Rp 28,9 triliun atau melebihi target hingga 104,2 persen dari Rp 27,7 triliun.

Penerimaan PBB dan pajak lainnya tumbuh 10,7 persen atau hampir sama dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 10,9 persen.

Realisasi sementara PPh migas di 2019 adalah Rp 59,1 triliun atau mencapai 89,3 persen dari target Rp66,2 triliun. Sektor PPh migas mengalami kontraksi sebesar 8,7 persen, padahal tahun sebelumnya pertumbuhan PPh migas mencapai 28,6 persen.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


6 Isu yang Bayangi Kebijakan Pajak di Era Jokowi

Presiden Jokowi memberikan sambutan pada sosialisasi PPh final UMKM di Sanur, Sabtu (23/6). Mengenakan pakaian adat Bali, Jokowi mensosialisasikan penurunan tarif pajak PPh kepada lebih dari seribu pelaku usaha. (Liputan6.com/Pool/Biro Pers Setpres)

Terdapat 6 isu yang akan mewarnai kebijakan pajak pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ini merupakan hasil kajian DDTC Fiscal Research, perihal perkiraan berbagai isu akan mewarnai dinamika kebijakan pajak dalam jangka pendek dan menengah, pada tahun 2020.

Kajian tersebut disampaikan Partner DDTC Fiscal Research, B. Bawono Kristiaji, dan Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro, di Jakarta, Jumat (13/12/2019).

Bawono, memaparkan tantangan utama dalam jangka menengah terkait pajak adalah meningkatkan tax ratio. Upaya tersebut tidak akan berjalan mudah, mengingat kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.

Selain itu, terdapat 6 isu yang akan mewarnai kebijakan pajak saat kepemimpinan Joowi. Isu pertama, berkaitan dengan penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk memanfaatkan bonus demografi.

Kedua, kebijakan dalam mendorong daya saing yang seharusnya fokus menciptakan kepastian bagi wajib pajak. Ketiga, terobosan kebijakan dalam bentuk omnibus law harus dilihat sebagai salah satu bagian untuk melakukan pembenahan ekonomi nasional.

Menurut dia, kebijakan tersebut harus didukung dengan instrumen lain seperti infrastruktur, reformasi birokrasi, kebijakan moneter, dan kestabilan politik. Khusus untuk kebijakan pajak, terobosan yang bisa dilakukan ialah dengan strategi 'Relaksasi-Partisipasi'.

Pilihan kebijakan tersebut bisa mencakup relaksasi yang dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk lebih aktif dalam menggerakkan perekonomian. Selain itu, relaksasi juga bisa dipertukarkan dengan data dan informasi.

"Relaksasi bisa dipertukarkan dengan kepatuhan sukarela wajib pajak. Relaksasi yang dipertukarkan untuk berkontribusi dalam pembayaran pajak juga bisa menjadi pilihan," kata Bawono.


Isu Lain

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Keempat, kehadiran teknologi informasi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kelima, desain kebijakan pajak bagi hadirnya sumber alternatif dari pertumbuhan ekonomi.

Keenam, adanya tantangan dari lanskap pajak internasional. Situasi global tersebut akan memunculkan dinamika baru terkait koordinasi internasinal yang salah satu isunya dalam pemajakan transaksi digital.

“Seluruh hal-hal tersebut secara langsung dan tidak langsung akan mengubah kebijakan pajak domestik,” pungkas Bawono.

Dia menilai, pemerintah juga tidak perlu melakukan upaya berlebihan dalam mengamankan penerimaan di sisa tahun ini.

Menurutnya, upaya yang agresif justru berisiko mengorbankan relasi dengan wajib pajak dalam jangka panjang. Extra effort yang dijalankan jangan sampai berdampak negatif pada kepercayaan wajib pajak.

"Hal yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan informasi untuk meningkatkan kepatuhan maupun mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan yang tidak kalah berat, baik untuk tahun depan dan 5 tahun ke depan," jelas Denny. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya