DPRD Minta Data Mal hingga Apartemen kepada Pemkot Surabaya, Ada Apa?

Pansus tidak akan bisa mengontrol soal hasil pendapatan retribusi dari aset kekayaan daerah Surabaya, jika Pemkot Surabaya tidak lengkap memberikan data berapa jumlah mal, hotel, restoran dan apartemen di Surabaya.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jan 2020, 14:20 WIB
Kamera CCTV yang dipasang di sejumlah persimpangan jalan di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Retribusi Aset Kekayaan Daerah DPRD Kota Surabaya akan meminta data terkait keberadaan mal, hotel, dan apartemen. Hal ini untuk mengetahui potensi pendapatan retribusi.

Pansus akan menggali potensi pendapatan daerah dari sektor retribusi mal, hotel, restoran, dan apartemen yang selama ini menempati lahan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Ketua Pansus Retribusi Aset Kekayaan Daerah DPRD Kota Surabaya, Mahfudz menuturkan, untuk mengetahui potensi pendapatan tersebut dibutuhkan data-data keberadaan mal, hotel, dan apartemen.

"Kami sudah meminta data-data terkait berapa jumlah mal, hotel, restoran, dan apartemen yang menempati lahan Pemkot Surabaya ke Dinas Tanah dan Bangunan," ujar dia, seperti dikutip dari Antara, Selasa (7/1/2020).

Dia mengatakan, untuk mengetahui seberapa besar potensi pendapatan retribusi itu, pansus terlebih dahulu akan melihat sudah berapa lama perjanjian kontraknya dengan Pemkot Surabaya.

Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga mempertanyakan perjanjian kontrak tersebut juga apa berlaku di Perda sebelum direvisi, serta bagaimana kepatuhan mereka selama ini dalam membayar retribusi ke Pemkot Surabaya.

"Kami menilai data yang diberikan Dinas Tanah dan Bangunan soal jumlah mal, hotel, restoran, dan apartemen belum lengkap, sehingga rapat dengar pendapat ditunda pada Rabu 8 Januari besok," kata dia.

Mahfudz yang juga Sekretaris Komisi B DPRD Kota Surabaya ini kembali mengatakan pansus tidak akan bisa mengontrol soal hasil pendapatan retribusi dari aset kekayaan daerah Kota Surabaya, jika Pemkot Surabaya sendiri tidak lengkap memberikan data-data berapa jumlah mal, hotel, restoran, dan apartemen yang ada di Surabaya.

"Bagaimana pansus bisa mengontrol jika Pemkot Surabaya belum memberikan data-data lengkap, padahal kami di dewan sebagai lembaga kontroling dari kinerja eksekutif," katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


DPRD Surabaya Minta Pemkot Tutup Toko Modern yang Tak Kantongi Izin

Ilustrasi supermarket (iStock)

Sebelumnya, Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Kota Surabaya menyoroti maraknya toko modern yang tidak memiliki perlengkapan izin di sejumlah wilayah di Kota Pahlawan, Jawa Timur.

Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya, Mochammad Mahcmud menuturkan, untuk toko modern yang tidak berizin, seharusnya pemkot melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) harus segera menutup, sehingga tidak ada kesan tebang pilih.

"Jika hal ini dibiarkan, nantinya banyak pengusaha yang masuk Surabaya tanpa izin dan mendirikan usaha seenaknya," kata dia, seperti dikutip dari Antara, Senin, 16 November 2020.

Dari data yang dimiliki oleh Komisi C diketahui total keseluruhan 411 toko modern atau minimarket di Surabaya, sebanyak 289 tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) sedangkan yang memiliki IMB baru 122.

Namun, dari data yang masuk tersebut ternyata tidak sesuai keadaan yang ada di lapangan. Pada 2014, menurut data versi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ada sekitar 700 minimarket di Surabaya. Ini pun tampaknya berbeda dengan kenyataan di lapangan semakin menjamurnya toko modern diperkirakan lebih dari 1.000.

Artinya, kata dia, ada banyak toko modern yang masih belum mengantongi IMB. Jika IMB belum ada maka izin lainnya seperti HO (gangguan) dan Izin Usaha Toko Modern (IUTM) juga belum ada. Hal ini dikarenakan HO dan IUTM adalah syarat pengajuan IMB.

 "Kami meminta Pemkot Surabaya menutup toko modern yang tidak mengantongi izin tersebut," ujarnya.

Politikus Partai Demokrat ini mengatakan munculnya usaha waralaba tersebut di Surabaya saat ini sudah masuk ke perkampungan penduduk, sehingga dikhawatirkan bisa membunuh ekonomi rakyat (pedagang kecil) seperti toko-toko kelontong, sayur mayur dan toko pracangan serta kios-kios kecil di perkampungan.

"Sudah ada Perwali (peraturan wali kota) yang mengatur tentang jarak minimal antara toko modern yang satu dengan lainnya. Tetapi kenyataan di lapangan, dalam satu gang di perkampungan ada dua sampai tiga toko modern dengan jarak yang tidak lebih dari 100 meter," tutur dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya