Larangan Ekspor Nikel Tak Langgar Aturan Perdagangan Bebas

Indonesia telah menyetujui permintaan konsultasi Uni Eropa yang jadi bagian gugatan terhadap pelarangan ekspor bijih nikel (ore).

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 07 Jan 2020, 19:30 WIB
Nikel lagi-lagi mencatatkan trend kenaikan harga yang positif selama tahun 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah RI telah menyetujui permintaan konsultasi Uni Eropa yang jadi bagian gugatan terhadap pelarangan ekspor bijih nikel (ore) Indonesia.

Kedua belah pihak dijadwalkan akan bertemu akhir Januari 2020 di kantor Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), Jenewa, Swiss.

Ini berkebalikan dengan sikap Indonesia yang juga menggugat Uni Eropa terkait larangan kelapa sawit yang dianggap sebagai bahan dasar energi tak ramah lingkungan. Kedua permintaan konsultasi tersebut akan digelar pada akhir Januari, namun dalam waktu yang berbeda.

Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga mengatakan, Indonesia kini tengah menunggu list pertanyaan dari pihak Uni Eropa yang kemudian akan dijawab pada sesi konsultasi.

"Advanced question sedang kami tunggu dari mereka. Itu kan membutuhkan waktu, katakanlah sekarang tanggal 7 (Januari). Jadwalnya sekitar 2 minggu. Jadi mungkin kit harapkan tanggal 16 (Januari) sudah ada advanced question yang sudah kami terima," ungkapnya di Jakarta, Selasa (7/1/2020).

Sebagai bentuk persiapan, Kemendag disebutnya akan mengajak berdiskusi kementerian/lembaga terkait seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

"Tadi sudah diputuskan kami akan melakukan rapat kembali tanggal 15 Januari untuk bisa melihat kembali posisi dari masing-masing kementerian/lembaga terkait untuk melihat anticipated question atau possible pertanyaan yang mungkin akan dilayangkan kepada kami," tuturnya.

Jerry pun menyatakan bahwa pihak Indonesia optimis bahwa kebijakan pelarangan bijih nikel ke Eropa tak melanggar aturan perdagangan bebas atau free trade yang telah ditetapkan.

"Saya pikir kita optimis, kita selalu optimis kok," ujar Jerry.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pelarangan Ekspor Nikel Justru Beri Ketidakpastian Hukum

Smelter nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara (Foto:Liputan6.com/Septian Deny)

Anggota Ombudsman Laode Ida mengatakan, kebijakan pelarangan ekspor nikel memberikan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha. Sebab sebelumnya, pelarangan ekspor nikel baru akan dilakukan pada 2022.

Sebelumnya, Pemerintah membuka keran ekspor bijih nikel pada 2017 lewat Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017. Dalam aturan tersebut pengusaha tambang yang telah memenuhi pemanfaatan nikel dalam negeri lewat pembangunan smelter, dapat melakukan penjualan nikel dengan kadar rendah dalam jumlah tertentu, paling lama lima tahun sejak berlakunya permen tersebut. Artinya, pelarangan ekspor nikel akan dilakukan pada 2022.

"Saya juga bingung, tadi presentasi dari Kementerian ESDM itu sebetulnya berdasarkan perencanaan yang sangat baik sehingga kenapa pengakhiran pemberian kesempatan ekspor nikel itu sampai tahun 2021 akhir atau awal 2022," ujar dia, saat ditemui, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).

Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 pelarangan ekspor berlaku 1 Januari 2020. Terakhir, ketentuan waktu ekspor konsentrat yang diatur dalam seluruh peraturan di atas, dianulir dan berubah menjadi 29 Oktober 2019 lalu."Kenapa langsung. Kita bingung. Makanya tidak ada kepastian. Jadi banyak yang menjadikan orang bertanya-tanya," ungkapnya.

Pelarangan tersebut, kata dia, melanggar prinsip-prinsip pelayanan publik. Juga merugikan masyarakat. "Dalam undang-undang administrasi kepemerintahan tidak boleh juga satu kebijakan yang berdampak merugikan masyarakat," jelas dia.

Selain itu, Permen 11/2019 ini juga melanggar sejumlah peraturan dan perundang-undangan. Meskipun demikian, dia tidak menjabarkan secara rinci Undang-Undang mana saja yang dilanggar.

"Proses pembuatan kebijakannya pun sudah bertentangan dengan beberapa Undang-Undang atau peraturan yang ada. Termasuk Inpres yang dikeluarkan oleh Pak Jokowi sendiri itu harus melibatkan masyarakat sebelum mengambil kebijakan dan harus mempertimbangkan dampaknya," tandasnya.

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya