Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Industri Olefin, Aromatik Dan Plastik (Inaplas) berharap, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencabut kebijakan sanksi denda Rp 25 juta bagi pusat perbelanjaan yang masih menggunakan kantong plastik.
Direktur Bidang Olefin dan Aromatik Inaplas Edi Rifai mengaku akan berkonsolidasi dengan asosiasi industri lainnya termasuk ritel.
Baca Juga
Advertisement
Langkah ini untuk menyikapi kebijakan sanksi penggunaan kantong plastik oleh pusat perbelanjaan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, agar pemerintah mengutamakan konsep sirkular ekonomi sebagai solusi.
"Dengan demikian kita berharap pemda DKI lebih bijak tidak melarang kantong plastik dan tidak menjatuhkan sangsi tentunya," kata Edi, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Menurut dia, sanksi denda untuk pusat perbelanjaan yang menggunakan kantong plastik kurang tepat. Pasalnya, belum ada bahan yang tepat untuk menggantikan plastik sebagai kantong belanja.
"Pengganti kantong plastik apa?. Ya, menurut kami kurang tepat sasaran dan justru kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, karena bahan pengganti belum ada yang lebih baik dari plastik," ujar Edi.
Dia mengungkapkan, jika plastik diganti kertas maka membutuhkan bahan baku kayu sehingga akan terjadi penggundulan hutan berakibat banjir.
Selain itu juga menimbulkan dampak negatif lainnya. "Hilangnya habitat binatang dan ekosistem, perubahan iklim. Lebih mahal dan merusak kualitas air," tandasnya.
Saksikan video di bawah ini:
Tetap Beri Kantong Kresek ke Pembeli, Pedagang Terancam Sanksi Rp 25 Juta
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta Andono Warih menyatakan pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat akan dikenakan sanksi bila menyediakan kantong plastik sekali pakai.
Hal tersebut berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.
"Bentuknya administratif, sanksinya bertingkat dari teguran tertulis, uang paksa lalu sampai hal itu enggak diindahkan ada pembekuan izin hingga pencabutan izin," Andono saat dihubungi, Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Pada Pasal 23 untuk saksi teguran tertulis tersebut diberikan secara bertahap selama 14x24 jam dan bila tidak diindahkan akan diberikan teguran kedua 7x24 jam. Namun, bila tetap dihiraukan akan diberikan teguran tertulis ketiga 3x24 jam.
Baca Juga
Lalu, bila surat teguran sampai ketiga diabaikan pihak pengelola akan dikenakan sanksi denda atau uang paksa. Besaran denda tersebut minimal Rp 5 juta dan maksimal Rp 25 juta.
Uang denda itu harus dibayarkan dalam waktu satu Minggu sejak pengelola menerima surat pemberitahuan sanksi administratif. Bila terlambat membayar atau lebih dari tujuh hari denda akan menambah menjadi Rp 10 juta.
Bahkan bila denda itu terlambat dua Minggu atau 14 hari, pengelola dikenakan denda sebesar Rp 15 juta. Selanjutnya lebih dari 30 hari diberikan sanksi Rp 25 juta.
Kemudian yakni sanksi adanya sanksi pembekuan izin akan diberlakukan bila pengelola tidak membayarkan sanksi denda lebih dari lima Minggu.
Selanjutnya yaitu sanksi pencabutan izin untuk pengelola bila tetap mengindahkan sanksi pembayaran denda.
Advertisement