Liputan6.com, Jakarta - Ancaman banjir dan longsor masih mengintai sejumlah wilayah Indonesia, termasuk Jakart. Peringatan dini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, cuaca ekstrem masih akan memayungi sejumlah wilayah Tanah Air hingga 12 Januari ke depan. Curah hujan lebat disertai petir dan angin kencang berpotensi terjadi.
BMKG membagi potensi cuaca ekstrem dalam dua periode, yakni tanggal 5 hingga 8 Januari yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.
Advertisement
Sedangkan periode kedua, cuaca ekstrem terjadi pada 9 hingga 12 Januari dengan sebaran wilayah yang sama dengan periode pertama.
BMKG mengimbau masyarakat waspada dengan dampak yang diakibatkan cuaca ekstrem tersebut. Terutama, bagi warga yang tinggal di bantaran sungai atau laut, serta di daerah rendah.
"Karena volume air sangat tinggi, kalau di bantaran dan badan sungai atau laut takut meluap. Tak hanya itu, yang di dataran rendah juga perlu waspada. Air kan tahunya mengalir ke daratan rendah," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Mulyono R Prabowo kepada Liputan6.com, Rabu (8/1/2019).
Salah satu daerah daratan rendah yang dimaksud Mulyono adalah Jakarta. Dia mengungkapkan, tanah di Jakarta mulai jenuh, sehingga tak mampu menyerap air. "Jadi air kecenderungannya mengalir saja di atas tanah, tidak terserap," ujar Mulyono.
Meski berpotensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat, Mulyono menyatakan, guyuran air tidak akan seekstrem pada 1 Januari 2020.
Koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Edo Rakhman menyatakan, peringatan dini yang disampaikan BMKG cukup membantu masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap dampak cuaca ekstrem. Hanya, peringatan saja menurutnya tidaklah cukup, perlu implementasi dan tindak lanjut peringatan tersebut dalam bentuk konkret.
"Ini yang harus dibenahi. Pemerintah pusat dan daerah harus meningkatkan koordinasi dan komunikasi. Kesiapan meminimalisasi korban jiwa dan materi yang paling penting, tanpa harus mengabaikan kerja-kerja mitigasi dan adaptasi bencana," ujar Edo kepada Liputan6.com, Rabu (8/1/2020).
Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dari dampak bencana, sambungnya, adalah menyiapkan logistik semaksimal mungkin dan menyiapkan infrastruktur untuk tanggap darurat dan pemulihan.
"Artinya, pemerintah tidak boleh memunculkan pernyataan bahwa pemerintah tidak punya dana untuk penanggulangan korban bencana," jelasnya.
Edo menambahkan, indikator peringatan dini efektif adalah terjadi proses evakuasi sebelum bencana terjadi, atau minim korban jiwa dan materi ketika bencana terjadi.
"Kalau berkaca pada bencana banjir terakhir di Jabodetabek, semua orang tau bahwa itu tidak efektif. Mungkin dalam konteks distribusi informasi dari BMKG ke pemerintah daerah sudah tepat dan cepat, tapi untuk menjadikan informasi tersebut menjadi sebuah peringatan dini dan dilaksanakan, di situ yang menjadi masalah," ucapnya.
Menurutnya, yang paling krusial itu adalah meyakinkan masyarakat agar mengimplementasikan peringatan dini tersebut.
Edo menyatakan, edukasi bencana memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pihak terkait. Namun, sejalan dengan hal itu, pemerintah terlebih dahulu harus menetapkan wilayah-wilayah mana saja yang terindikasi rawan bencana, khususnya bencana hidrometereologis.
"Kultur masyarakat kita masih dominan 'mendengar' berarti harus memilih teknologi dan media komunikasi yang tepat. Teknologi saat ini, semua bisa terfasilitasi, tinggal intensitas dan keseriusan untuk menggerakkan perangkat-perangkat pemerintah di level terkecil (lurah, RW, RT) juga harus maksimal," teranganya.
Direktur Walhi DKI Tubagus Abadi menambahkan, peringatan dini bencana, khususnya di DKI Jakarta dan sekitarnya, sebenarnya sudah cukup. Tinggal bagaimana BPBD merespons peringatan tersebut.
"Seringnya peringatan tidak dijalankan dengan baik. Akibatnya kemudian jatuh korban," jelasnya.
Tubagus menyebut, langkah BPBD DKI menyebar peringatan lewat media sosial saja, dinilai belum cukup. "Harus turun ke bawah, konsultasikan ke warga langsung. Tidak cukup sosialisasi tapi konsultasi. Misal, saat ketemu apakah warga mengalami kesulitan? Perlu peran aktif pemerintah," katanya.
BNPB sendiri berkilah peringatan dini terhadap bencana yang ada saat ini sudah cukup bagus. "Yang perlu diperbaiki itu respons masyarakat dan pemerintah sebagai penerima warning," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo, Rabu (8/1/2020).
Agus menyatakan, ada dua kelompok dalam peringatan dini bencana. Yang pertama adalah pemerintah dan kedua yakni masyarakat.
"Pemerintah begitu terima warning BMKG, BNPB artinya Pemda sudah diingatkan, terus responsnya bagaimana?" ujarnya.
Idealnya, Pemda yang menerima peringatan dini bencana, kepala daerah yang bersangkutan langsung menggelar rapat antisipasi.
"Dicek satu persatu bagaimana menghadapi ancaman BMKG, daerah mana akan terkena? Berapa orang potensi korban? Setelah rapat, tetapkan siaga darurat, langsung ditunjuk komandannya, bentuk panitia penanggulangan. Antisipasi bencana banjir, misal bangun posko," ujarnya.
Untuk masyarakat, kata dia, juga harus siap-siap dengan peralatan kebutuhan mendesak. Tas siaga bencana, contact person penting, back up dokumen menjadi hal yang harus dipersiapkan.
"Bentuk komunitas di kompleks perumahan untuk beri tahu ada piket dan berhubungan dengan pemerintah, misal ada tanggul jebol lapor pemerintah," ujarnya.
"Jadi kalau di-warning, dijalankan dong. Kan warningnya sudah jalan, harusnya pemerintahnya bereaksi," pungkasnya.
Minimalisasi dengan 32 Ton Garam
Upaya meminimalisasi dampak cuaca ekstrem terus dilakukan dengan sejumlah cara. Salah satunya adalah dengan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang dilakukan BNPB dengan menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan TNI.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo mengatakan, pihaknya akan terus melakukan operasi ini untuk menghindari hujan dengan intensitas sedang hingga lebat di wilayah Jabodetabek. Terlebih dalam sepekan ke depan.
Sejak dilakukan pada 3 Januari lalu, operasi TMC melalui pesawat fixed-wings telah melakukan 20 sorti penerbangan dengan total bahan semai NaCl mencapai 32 ton.
Penerapan TMC bertujuan untuk menurunkan hujan ke wilayah yang aman dan jauh dari permukiman penduduk atau sebelum awan memasuki kawasan padat penduduk, seperti di wilayah Selat Sunda atau Laut Jawa.
Hujan yang turun dimodifikasi dengan penggunaan Natrium Klorida (NaCl) yang ditebarkan ke bibit awan melalui pesawat Casa 212-200 dan CN-295.
Agus menyatakan, operasi TMC dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan awan. Hal itu menjadi faktor penting yang harus terus dipantau secara berkesinambungan.
Agus juga meminta masyarakat memanfaatkan aplikasi buatan BNPB itu untuk mengetahui potensi bencana di sekitar wilayahnya.
"Kan kita punya inaRISK. Aplikasi ini untuk mengecek kita bencananya ada apa sih," kata Agus.
"Jadi kita bisa mengecek ada potensi apa di zona kita masing-masing. Potensi rendah itu 0-75 meter (potensi banjir)," terang Agus.
inaRISK ini sudah tersedia di Android dan macOS. Bisa diunduh secara gratis di Playstore bagi pengguna Android dan Apple Store bagi pengguna mac-OS.
Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, operasi TMC terbukti mampu menekan intensitas hujan hingga 40 persen.
"Kalau kita membandingkan dengan prakiraan, kita menganggap bahwa harapan kita untuk mengurangi intensitas hujan sampai 30-40 persen. Itu kelihatannya menunjukkan hasil yang cukup signifikan," kata Riza, Jakarta, Selasa (7/1/2019).
Program TMC, kata dia, akan terus dilakukan. Sebab jika menilik prediksi BMKG, udara basah dan bibit-bibit siklon dari arah Afrika masih akan terjadi. Bukan hanya di Jabodetabek, tapi juga di sejumlah wilayah Indonesia lainnya.
"Upaya kita nanti ke Jawa Tengah, Jawa Timur serta daerah lain yang memang memerlukan untuk mitigasi bencana," jelasnya.
Advertisement
Dampak Sistemik di Daerah
Di sejumlah daerah, cuaca ekstrem sudah berimbas langsung pada aktifitas warga. Para nelayan di Tuban, Jawa Timur, misalnya, memutuskan tidak melaut karena cuaca yang tidak bersahabat.
"Khawatir, Mas. Cuaca buruk bisa membahayakan keselematan nyawa," ujar nelayan asal Tuban Marsam kepada Liputan6.com, Selasa (7/1/2020).
Marsam dan sejumlah koleganya memilih menyandarkan perahunya di sepanjang dermaga pantai di Kelurahan Karangsari, Kecamatan Tuban. Mereka menggunakan waktu libur melaut dengan memperbaiki perahu dan jaring yang rusak.
"Ini membersihkan tiram, mumpung lagi senggang musim yang musim baratan,” ucapnya.
Marsam mengaku sudah hampir sepekan ini para nelayan setempat tidak mencari ikan. Dia baru akan melaut jika cuaca sudah kembali normal.
Prakirawan BMKG Tuban, Putri Permatasani mengatakan, cuaca ekstrem yang berdampak pada gelombang air laut dan intensitas hujan serta angin kencang, disebabkan oleh dua bibit awan siklontropis Samudra Hindia dan Laut Arafura.
Putri mengaku, kondisi perairan pun terdampak akibat bibit siklon tropis ini berupa gelombang laut dengan tinggi 2,5 hingga 4 meter di perairan selatan pulau Jawa hingga Selatan NTB, perairan Selatan Pulau Sumba, laut Sawu, perairan Pulau Sabu dan Pulau Rote, perairan Utara NTT, Laut Flores, dan Perairan Kepulauan Kai-Aru.
"Bibit siklon tropis dalam satu hingga dua hari kedepan berpotensi tinggi menjadi siklon tropis namun bergerak selatan hingga barat daya semakin menjauhi wilayah Indonesia," kata Putri.
Cuaca ekstrem juga membuat rute pelayaran di Nusa Tenggara Timur (NTT) ditutup sementara. PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry menutup enam lintasan penyeberangan dari dan ke Kupang, NTT mulai Minggu 5 Januari akibat cuaca buruk.
"Ada enam rute pelayaran atau lintasan penyeberangan di NTT terpaksa kami tutup untuk sementara akibat cuaca buruk," kata General Manager PT ASDP indonesia Ferry Cabang Kupang Cuk Prayitno, Selasa (7/1/2020).
Enam rute yang ditutup itu adalah Kupang-Rote dengan KMP Inerie II dan KMP Ile Mandiri, rute Kupang-Hansisi (pulau Semau) dengan kapal KMP Lakaan dan KMP Ile Mandiri.
Selain itu, ASDP juga menutup rute Kupang-Larantuka (Flores Timur) dengan kapal KMP Lakaan, serta lintasan penyeberangan Kalabahi (Alor)-Kupang dengan kapal KMP Ile Labalekan dan KMP Ranaka.
ASDP juga menutup rute Larantuka-Solor-Lewoleba-Kupang dengan KMP Ile Ape, kemudian juga Waingapu-Raijua-Sabu-Kupang dengan KMP Uma Kanada.
"Semuanya kami tutup karena memang cuacanya lagi buruk dan sudah ada peringatan cuaca ekstrem dari pihak BMKG," katanya.
Selain enam rute tersebut ASDP juga menutup rute pelayaran di daerah Kabupaten Sikka yakni dari Kewapante -Pemana-Pulau Besar-Pemana-Kewapante.
Penutupan sejumlah rute tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
"Kalau kondisi cuacanya sudah membaik, dan pertimbangan teknis operasional dari nahkoda dan KSOP bahwa sudah bisa berlayar, kami akan buka kembali," tandasnya.
Langkah antisipatif juga dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka menyiagakan sejumlah pompa mobile guna antisipasi cuaca ekstrem yang diprediksi terjadi pekan ini. Lokasi yang menjadi fokus Pemprov adalah wilayah Jakarta Utara.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air Pemprov DKI Dudi Gardesi mengatakan, kesiagaan di Jakarta Utara mengingat wilayah itu berbatasan langsung dengan laut. Sehingga, saat cuaca ekstrem melanda, air laut hampir dipastikan akan pasang dan limpas ke daratan Jakarta Utara.
"Biasanya memang ada limpasan di daerah-daerah tertentu. Kita stand by kan lah, misal ada limpasan, itu lokasinya ada di mana, kalau memang tidak ada sistem itu, kita coba pasang pompa mobile," ujar Dudi, Rabu (8/1/2019).
Nantinya, air laut yang merembes ke daratan akan dialirkan ke waduk-waduk. Itu pun tidak otomatis dialirkan, harus terlebih dahulu menunggu air di waduk sedikit surut.
Hal ini dikarenakan upaya mengalirkan air laut ke waduk dianggap kurang efektif jika dilakukan saat waduk penuh, hujan terus mengguyur, dan ada kiriman banjir dari hulu.
"Misalnya kondisi kalinya, airnya pasang, kalinya penuh, hujan lokal, ya kita pasti akan menunggu dulu itu selesai baru kita kerjakan," tukasnya.
Purwanto, salah satu operator pompa air di waduk Pluit memastikan, kondisi 10 pompa air di Waduk Pluit normal. Bahkan saat malam tahun baru 31 Desember 2019.
Menurutnya, saat malam pergantian tahun, 7 pompa dioperasikannya full, dengan 3 berstatus diistirahatkan sesuai standar operasional prosedur (SOP).
"Pas tanggal 31 air tinggi-tingginya jalan 7 pompa, total ada 10. Jadi diistirahatkan 3 karena gantian harus jalan 24 jam nonstop pompanya," kata Purwanto di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Selasa (7/1/2020).
Menurutnya, kerja pompa Waduk Pluit sudah maksimal. Tak terbayang jika pompa-pompa tersebut tidak difungsikan, banjir terjadi di Jakarta bisa lebih parah.
"Karena ini kita maksimalkan. Kita bersyukur, warga-warga tinggal di sini pada apresiasi karena daerahnya tak terdampak, karena kerja pompa ini," jelas Purwanto.
Purwanto bersama tim operator pompa Waduk Pluit menegaskan, siap bekerja 24 jam dengan pembagian dua shift untuk dapat menahan posisi air tetap terjaga.
"Kita harus harus menahan air di -190 kalo sekarang sore ini -185, kalau kemarin (malam tahun baru) itu plus 5 kita tahan terus biar turun (debitnya)," ucap Purwanto.
Purwanto memastikan kondisi pompa air di Waduk Pluit dalam kondisi aman dan siap 24 jam menghadapi cuaca ekstrem. "Aman, terjaga, kita masih bekerja normal, kita kerja 24 jam, pompa nyala," pungkas Purwanto.