Liputan6.com, Washington - Federal Aviation Administration atau Administrasi Penerbangan Federal AS mengatakan akan melarang maskapai penerbangan AS beroperasi di wilayah udara atas Irak, Iran, Teluk Oman, dan perairan antara Iran dan Arab Saudi. Langkah itu diambil setelah Iran melancarkan serangan rudal terhadap pasukan pimpinan AS di Irak.
"Tehran menembakkan lebih dari puluhan rudal balistik dari wilayah Iran, terhadap setidaknya dua pangkalan militer Irak, yang menampung personel koalisi pimpinan-AS," kata militer AS, Selasa 7 Januari 2020, dilansir Free Malaysia Today, Rabu (8/1/2020).
Advertisement
Administrasi Penerbangan Federal AS mengatakan pihaknya mengeluarkan larangan wilayah udara “karena aktivitas militer yang meningkat dan meningkatnya ketegangan politik di Timur Tengah, yang dapat menghadirkan risiko yang tidak disengaja untuk operasi penerbangan sipil AS”.
Beberapa maskapai non-AS memiliki penerbangan di beberapa bagian Irak dan Iran pada saat itu, menurut data FlightRadar24.
Mereka tidak secara langsung dikenakan larangan oleh FAA (Federal Aviation Administration), tetapi operator asing dan undang-undang nasional mereka biasanya mempertimbangkan saran AS untuk hati-hati ketika memutuskan ke mana harus terbang.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Maskapai Asia Ramai-Ramai Hindari Langit Iran-Irak
Sebelumnya, FAA telah melarang operator AS terbang di bawah 26.000 kaki di atas Irak dan terbang di atas wilayah udara Iran, di atas Teluk Oman sejak Iran menembakkan drone AS dari ketinggian, Juni 2019 lalu.
Singapore Airlines Ltd mengatakan setelah serangan terhadap pangkalan AS di Irak, semua penerbangannya akan dialihkan dari wilayah udara Iran.
Maskapai Asia lainnya, yang terbesar di Taiwan, China Airlines mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka akan terus memantau situasi dan menyesuaikan rute.
Maskapai penerbangan Taiwan lainnya, EVA Air, dan Malaysia Airlines juga juga akan menghindari terbang di wilayah udara Iran.
Times of India melaporkan bahwa India juga telah "menyarankan" maskapai penerbangannya untuk menghindari wilayah udara Irak dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman, setelah FAA melarang maskapai AS melintasi area tersebut.
Operator penerbangan semakin mengambil langkah-langkah untuk membatasi ancaman pada pesawat mereka setelah Maskapai Penerbangan Malaysia MH17 ditembak jatuh pada tahun 2014 oleh rudal atas Ukraina, dan menewaskan 298 orang di dalamnya.
Tim penerbangan internasional telah diaktifkan untuk mendukung “koordinasi dan komunikasi yang efektif” antara maskapai dan negara ketika ketegangan meningkat di Timur Tengah setelah serangan drone AS yang menewaskan seorang komandan militer Iran, Badan Penerbangan Global IATA (International Air Transport Association) menyatakan pada Selasa 7 Januari 2020.
Maskapai penerbangan dan agen penerbangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mulai memantau wilayah udara strategis di atas Iran dan Irak.
Dengan beberapa operator komersial masih melayani negara-negara tersebut dan yang lain masih terbang di atas wilayah udara mereka, International Air Transport Association juga mengeluarkan pernyataan yang mengingatkan negara-negara tentang kewajiban mereka untuk mengomunikasikan risiko potensial terhadap penerbangan sipil.
Advertisement
Penting untuk Dipatuhi
“Sangat penting bagi negara-negara mematuhi kewajiban ini karena ketegangan di Timur Tengah meningkat,” kata mereka, beberapa hari setelah pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani pada hari Jumat (3/1/2020) yang menjerumuskan kawasan itu ke dalam krisis baru.
Pada hari Senin, Jerman menerbitkan peringatan baru untuk Irak, yang menunjukkan daerah-daerah yang mengkhawatirkan karena lalu lintas yang terlalu padat, menurut sebuah laporan yang diterbitkan situs OPSGROUP.
Tim koordinasi yang dioperasikan oleh IATA dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) diaktifkan sebagai “tindakan pencegahan standar”, dengan langkah-langkah darurat yang diperlukan oleh maskapai penerbangan, kata IATA dalam sebuah pernyataan kepada Reuters.
Tim ini menyatukan maskapai, regulator dan penyedia layanan navigasi udara untuk memastikan risiko potensial terhadap penerbangan yang disebar dengan cepat, katanya demikian.
“Semua orang mendesak pengendalian,” kata narasumber yang berbicara dengan syarat anonim karena sensitivitas masalah ini.
Wilayah udara yang dikendalikan oleh Iran dan Irak dipandang strategis untuk penerbangan komersial di Timur Tengah.
Jika ada kebutuhan untuk menutup wilayah udara, maka operator harus dialihkan dan akan menyebabkan kemacetan dan biaya bahan bakar yang lebih besar, ungkapnya.
Reporter: Deslita Krissanta Sibuea