Liputan6.com, Jakarta - "Boom! Boom! Boom!" Lusinan rudal balistik Iran menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Irak. Serangan itu merupakan balasan atas tewasnya Jenderal Top Iran Qasem Soleimani.
Soleimani tewas akibat serangan drone militer AS di Baghdad atas perintah Presiden Donald Trump, pada Jumat 3 Januari 2020. Namun, serangan balasan Iran lima hari kemudian tak menimbulkan korban jiwa dari pihak militer AS.
Advertisement
Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) atau Garda Revolusi Iran mengaku bertanggung jawab atas serangan ini. "Para prajurit di unit aerospace IGRC telah sukses melancarkan serangan dengan puluhan rudal balistik ke pangkalan militer Al Asad atas nama martir Jendereal Qasem Soleimani."
Alih-alih melancarkan ancamannya untuk menyerang 52 simbol budaya Iran bila ada warga dan aset AS yang diserang, Donald Trump malah menyatakan siap berdamai. Dia mengklaim, ingin ada kesepakatan yang membuat Iran tumbuh dan sejahtera.
"Kepada rakyat dan pemimpin Iran, kami ingin kalian punya masa depan, masa depan luar biasa yang kalian pantas dapatkan. Sejahtera di dalam negeri dan harmonis dengan negara-negara di dunia. AS siap merangkul perdamaian bersama mereka yang menginginkannya," kata Donald Trump.
Menurut pengamat Timur Tengah Yon Machmudi, AS tampak mulai bergeming dengan ancaman Iran dan potensi perang yang lebih besar. Walaupun kekuatan militer AS jauh lebih besar dibanding dengan Iran, tetapi kedekatan dengan Rusia dan China tidak bisa dikesampingkan. Gagalnya misi AS di Suriah juga tidak lepas dari kuatnya dukungan Rusia kepada rezim Bashar al-Asssad.
"Alih-alih menunaikan ancamannya untuk menyerang 52 simbol budaya Iran, Donald Trump yang biasanya garang malah menunjukkan sikap untuk mematuhi aturan internasional. Anehnya, pilihan rasional menjadi pertimbangan pascaserangan balasan. Tentunya tetap saja pertempuran secara tidak terbuka masih dilakukan," ungkap Yon kepada Liputan6.com, Kamis (9/1/2020).
Ia menilai, strategi AS melalui pendekatan ancaman nampaknya tidak berhasil. Trump salah hitung strategi melakukan pembunuhan terhadap petinggi dari negara yang berdaulat. Itu suatu cara yang tidak lazim dalam hubungan internasional.
Terbukti, Iran bukannya takut tetapi malah semakin berani. Yon pun menganggap petualangan AS di Timur Tengah akan menemukan babak baru. "Pulang dengan kepala tegak tapi kehilangan hegemoni atau tetap bertahan dengan mempertaruhkan nasib rakyat AS dalam pusaran konflik. Tentu bukan pilihan yang mudah."
Hilangnya hegemoni AS di Timur Tengah, sambung dia, tentu juga harus diantisipasi. AS yang tidak lagi tertarik dengan persoalan kawasan lain juga perlu mendapat perhatian.
"Dampaknya, akan muncul aktor-aktor baru. Dikhawatirkan muncul pemimpin-pemimpin baru yang agresif dan tidak lagi terikat norma internasional serta brutal dalam menjalankan kepentingan nasionalnya. Jika ini yang terjadi dapat dipastikan konflik-konflik baru akan bermunculan," ujar Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) ini.
Terpisah, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengungkap, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, ada tiga faktor yang bisa dijadikan pisau analisis. Yakni, miskalkulasi, pemimpin yang eratik, dan nasionalisme yang ekstrem.
SBY mengaku tidak yakin, saat ini baik Trump maupun pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khamenei dan Presiden Iran Hassan Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang.
"Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya legacy yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah," kata SBY.
"Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama."
Menurut SBY, sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah "kesepakatan besar". Sebuah kesepakatan strategis yang adil.
"Tentu ada take and give di antara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya," ujar SBY.
Dunia dan sejarah, lanjutnya, harus memberikan kesempatan kepada Iran dan AS. Semua pihak juga perlu mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.
"Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir out of the box, misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di Abad ke-21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?"
"Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi game changer. Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan," SBY mengungkap.
Kepada Liputan6.com, Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Azad menilai serangan AS terhadap Qasem Soleimani sebagai teror pengecut sekaligus biadab. Ia menyatakan, Iran akan tetap melakukan balasan kepada AS dengan cara yang sama, yaitu agresi militer.
"Tentu tindakan teror pengecut yang dilakukan oleh Amerika Serikat memiliki sebuah balasan dan balasan itu pasti merupakan balasan militer. Tapi kapan dan di mana itu akan terjadi merupakan sebuah pilihan di tangan Iran," Azad menegaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Akar Masalah AS Vs Iran
Meningkatnya konflik AS dan Iran, menurut Yon Machmudi, tentu tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan terakhir di Irak. Pasca-Invasi AS ke Irak 2003, nampaknya menyisakan banyak masalah. Irak yang awalnya diharapkan segera menjadi stabil pascaterbunuhnya Saddam Husein ternyata justru sebaliknya.
Rakyat Irak pun terbelah dalam kelompok Syiah dan Sunni. Kurdi dan Syiah yang dulunya tertindas di masa Saddam Husein berbalik menjadi kekuatan besar dan menentukan dalam pemerintahan baru.
"Guna menghancurkan Irak, Iran menyediakan wilayah perbatasannya untuk pendaratan pesawat-pesawat tempur AS. Dalam upaya menggulingkan Saddam Husein, AS mendukung kelompok Kurdi sementara Iran melalui Garda Revolusi melatih para milisi Syiah Irak," beber Yon.
Al Quds merupakan bagian dari pasukan elite Garda Revoulsi yang bertugas melakukan operasi di luar Iran guna menyebarkan pengaruh revolusi Iran. Kelompok milisi Irak yang kemudian menjelma menjadi Kataib Hizbullah ini tentu lebih loyal kepada pemimpin spiritual di Iran dibanding menjaga stabilitas Irak itu sendiri.
Pada saat penggulingan Saddam Husein, Iran menyediakan wilayah perbatasannya untuk dijadikan sebagai basis pendaratan pesawat tempur AS guna menyerang Irak. Hubungan AS dan Iran pada saat itu menunjukkan kedekatan.
"Bahkan Qasem Soleimani berkali-kali berhubungan dengan AS mulai dari kerja sama pembentukan pemerintah baru di Irak, bahkan jauh sebelumnya dia juga membantu AS dalam menginvasi Afghanistan," ungkap Yon.
Hanya saja, hubungan itu mulai memburuk ketika pengaruh Iran di Irak semakin kuat. Ribuan demonstrasi menolak pengaruh Iran dihadapi para milisi Irak secara brutal. Irak benar-benar terbelah antara pendukung Iran dan Amerika. Tentu korbannya adalah rakyat Irak.
"Agaknya posisi AS di Irak mulai terjepit. Rezim Irak lebih dekat dengan Iran, terutama kekuatan parlemen yang dikuasi oleh loyalis Iran."
Setelah berhasil menumpas kelompok teroris ISIS, bekerja sama dengan milisi-milisi Irak yang dibentuk oleh Garda Revolusi Iran, justru AS mendapatkan tekanan dari sekutunya yang pro Iran untuk segera meninggalkan Irak.
Hadi Al-Amiri dan Abu Mahdi Al-Muhandis, anggota parlemen Irak yang juga pimpinan partai Munazzam Badr bentukan Iran. Al-Amiri adalah veteran perang yang bergabung dengan Iran saat perang Iran-Irak (1980-1988). Al-Muhandis adalah mantan anggota Garda Revolusi Iran yang pernah terlibat dalam penyerangan kedutaan AS di Kuwait pada 1983.
Puncaknya, pada 27 Desember 2019, puluhan rudal yang dilancarkan oleh kelompok milisi Kataib Hizbullah dukungan Iran menghantam pangkalan militer Irak di Kirkuk dan menewaskan seorang kontraktor AS dan melukai puluhan tentara AS dan Irak.
Dalam hitungan hari, AS kemudian melancarkan serangan balasan yang menewaskan 25 anggota milisi dan sekitar 50 orang terluka. Berikutnya ribuan milisi melancarkan serangan ke Kedutaan AS di Baghdad.
Iran melalui Garda Revolusi dituduh AS terlibat dalam menggerakkan ribuan milisi mengepung kedutaan AS. Salah satu pemimpin Kataib Hizbullah adalah Abu Mahdi AlMuhandis.
Dalam serangan udara di dekat bandara Baghdad, 3 Januari 2020 adalah Abu Mahdi al-Muhandis (pemimpin Kataib Hizbullah) dan Qassem Suleimani (Panglima AL-Quds, Pasukan Khusus Garda Revolusi) yang dinyatakan tewas.
Pengamat Timur Tengah dari Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi menambahkan, kondisi Iran dan AS saat ini mirip dengan Revolusi Islam pada 1979. Dampaknya, kali ini Iran punya skenario ingin mengusir AS dari Timur Tengah.
"Setelah kematian Qasem Soleimani, hubungan Iran dengan Amerika itu pada titik terendah seperti Revolusi Islam 1979. Revolusi Islam itu mengusir Amerika dari Iran, sekarang ini pesannya bukan hanya mengusir Amerika dari Iran, tetapi mengusir Amerika dari Iran," ujar Zuhairi Misrawi kepada Liputan6.com.
Dampak lain jika perang adalah terganggunya situasi di negara-negara sekutu AS seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Israel. Donald Trump juga punya kepentingan di Timur Tengah sehingga diprediksi enggan berperang.
Saat ini Iran memang belum mengambil langkah, namun Iran memiliki proksi-proksi militer yang siap angkat senjata. Qasem Soleimani sebagai pemimpin pasukan Quds juga berpengaruh di kalangan proksi Iran.
"Iran punya proksi di Palestina yaitu Hamas di Jalur Gaza. Di Lebanon Selatan punya Hizbullah. Dia punya Hasyad Sya'bi di Irak. Dia punya Houthi di Yaman. Dia punya di Suriah," jelas Zuhairi.
Jika Iran ingin melakukan pembalasan, maka keputusan itu bisa berlangsung mulus karena sudah mendapat restu dari eksekutif dan legistlatif.
"Menurut saya dari pihak Iran pasti akan melakukan pembalasan yang proporsional. Jadi jelas bahwa payung politiknya sudah jelas. Iran mendapat dukungan dari Ayatollah Ali Khamenei, dan parlemen sebagai perwakilan dari rakyat, dan juga eksekutif," ujar Zuhairi.
Advertisement
Di Balik 'Melemahnya' Donald Trump
Zuhairi Misrawi meragukan tawaran damai AS bisa dengan mudah diterima Iran. Pasalnya, ia menilai Iran sudah sering dikecoh AS.
"Bagaimanapun alasan Iran kenapa tidak mau berunding karena selalu dikadalin, selalu ditipu oleh Amerika. Maka dia sudah tidak percaya lagi. Kepercayaan Iran terhadap Amerika itu sudah below zero. Di bawah nol. Sangat rendah sekali" ujar Zuhairi.
Zuhairi juga heran karena AS melarang Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif untuk berkunjung ke Markas PBB di New York. Pemerintah AS tidak mau memberikan visa sehingga Zarif tak bisa hadir di pertemuan Dewan Keamanan pada Kamis ini.
Ia menganalisis, posisi Iran saat ini juga lebih kompak dari AS. Keputusan Iran untuk melakukan retaliasi mendapat dukungan populer dari rakyat. Sebaliknya, langkah Trump terhadap Iran terganjal Partai Demokrat yang mengontrol DPR AS.
Terkait respons Iran, Zuhairi percaya Iran tidak akan membabi buta, melainkan meluncurkan serangan yang proporsional. Proksi-proksi Iran yang tersebar di Palestina, Lebanon, Yaman, Suriah, dan Irak pun sudah siap menyerang jika perlu.
"Yang menjadi korban adalah orang penting di Iran. Orang penting kedua: Qasem Soleimani," ucap Zuhairi. "Maka Iran akan melakukan langkah-langkah proporsional dan terukur."
AS belum melakukan retaliasi terhadap serangan Iran ke pangkalan militer mereka di Irak. Serangan itu tidak menjatuhkan korban jiwa. Pihak Iran sendiri menyebut tidak akan menyerang bila AS berhenti menyerang.
Zuhairi mengungkap ada fakor-faktor lain yang menyebabkan Trump ogah berperang. Tiga faktor itu adalah politik dalam negeri AS, pertimbangan negara sekutu AS di Timur Tengah, dan kepentingan investasi.
Bagaimana penjelasannya? Berikut tiga alasan Donald Trump tak mau berperang melawan Iran:
1. Pemilu AS Sudah Dekat
Tidak terasa Presiden Donald Trump segera mengakhiri periode pertamanya sebagai presiden. Badai kontroversi dan upaya pemakzulan berhasil ia lewati dengan selamat -- setidaknya sampai saat ini.
Faktor pemilu itu juga yang membuat Donald Trump enggan berperang. Partai Demokrat sebagai oposisi menolak berperang dengan Iran.
"Kita melihat memang kalkulasi politik sangat tidak menguntungkan Trump dalam pemilu presiden yang akan datang karena tindakan membunuh Qasem Soleimani tidak punya payung hukum internasional, maupun hukum di Amerika sendiri, yang tanpa restu dari Kongres yang dikuasai Partai Demokrat," ujar Zuhairi.
2. Sekutu AS Tolak Perang
Zuhairi juga melihat sekutu-sekutu AS di Timur Tengah tidak menghendaki adanya peperangan. Mereka khawatir perang bisa berdampak ke negara mereka.
"Negara yang menjadi mitra Amerika Serikat, terutama Kuwait, Dubai, Arab Saudi, dan Israel tidak menghendaki perang dengan Iran, karena bila itu terjadi maka akan merugikan beberapa negara itu," jelas Zuhairi.
3. Investasi Donald Trump
Terakhir, faktor investasi menjadi penghalang terjadinya perang. Presiden Donald Trump pun punya kepentingan investasi di Timur Tengah.
Perusahaan The Trump Organization tercatat memiliki hotel dan klub Golf di Dubai.
"Trump sendiri banyak investasi di Dubai, di Arab Saudi, jadi secara pribadi Trump melihat, khawatir, investasi dia yang besar di Timur Tengah itu akan terancam, terganggu, oleh Iran," jelas Zuhairi.
Dampak Konflik AS Vs Iran
Memanasnya hubungan Iran dan Amerika Serikat (AS) dikhawatir berdampak pada negara-negara laim di Dunia, khususnya Indonesia. Berikut ini sejumlah dampak yang diperkirakan akan menerpa Indonesia bila konflik Iran dan AS berujung pada Perang Dunia III:
1. Harga Minyak Dunia Naik
Direktur Eksekutif Core Indonesia mengatakan, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak pada negara importir minyak, salah satunya Indonesia.
"Yang jelas dampaknya terhadap kenaikan harga minyak dunia akan menekan negara-negara net importir minyak seperti Indonesia," kata Faisal, saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurut Faisal, jika harga minyak naik signifkan tentunya akan berdampak pada pembentukan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik yang juga mengalami kenaikan.
"Khususnya kenaikan BBM dan tarif listrik akan semakin membebani pelaku usaha dan rumah tangga," ujarnya.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS melonjak hingga US$ 2,85 atau 4,5 persen ke posisi US$ 65,65. Harga ini merupakan level tertinggi sejak April, sebelum menarik kembali ke US$ 64,11. Benchmark internasional, minyak mentah Brent naik lebih dari 4 persen ke sesi tertinggi US$ 71,75 per barel, tertinggi sejak September, sebelum mundur kembali ke US$ 69,86.
"Saya pikir para pedagang sepenuhnya mengantisipasi pembalasan, tetapi tidak pada pasukan AS, yang menyebabkan para pedagang takut langkah selanjutnya oleh AS mungkin merupakan serangan balik ke Iran, yang dapat berpotensi menimbulkan masalah (can of worms) lain," kata kata direktur pelaksana Tudor, Pickering, Holt & Co. Michael Bradley, dilansir CNBC.
Saham berjangka AS jatuh pada Selasa malam, dengan Dow Jones Industrial Average berjangka turun lebih dari 400 poin pada titik terendah, menunjukkan kerugian lebih besar dari 300 poin pada pembukaan Rabu. S&P 500 dan Nasdaq 100 futures menunjukkan kerugian setidaknya 1 persen.
Penyerangan Iran diprediksi berpotensi bisa membuat West Texas Intermediate (WTI) berada di atas US$ 70.
2. Nilai Tukar Rupiah Melemah
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak fluktuatif di perdagangan hari ini, Rabu (8/1). Rupiah dibuka di level Rp13.930 per US$ atau melemah dibanding perdagangan sebelumnya di Rp 13.878 per US$.
Mengutip data Bloomberg, rupiah masih melemah tipis hingga ke level Rp13.936 per US$. Namun rupiah kembali menguat, dan saat ini berada di level Rp 13.922 per US$.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu berpotensi melemah menembus di atas Rp14.000 per US$ seiring meningkatnya konflik di Timur Tengah. Pagi tadi, Iran melakukan penyerangan ke ke pangkalan udara Irak Al Asad, yang menampung pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat (AS).
Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Rabu, mengatakan, Serangan balasan tersebut bisa memicu aksi saling membalas dan bisa berujung ke perang di Timur Tengah. Dia memperkirakan rupiah pada hari ini akan bergerak di kisaran Rp13.900 per US$ hingga Rp14.050 per US$.
"Sentimen hindar risiko akan membayangi perdagangan di pasar keuangan hari ini termasuk rupiah. Rupiah bisa melemah dalam hari ini, mungkin bisa ke atas Rp14.000," ujar Ariston.
3. Investasi Terganggu
Direktur Riset of Reform on Economics (Core) Pieter Abdullah mengatakan, kondisi Iran dan AS memanas akan menahan lajunya aliran modal asing masuk ke Indonesia. Kondisi ini kemudian berdampak pada laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kondisi Rupiah.
"Ketegangan ini juga bisa berdampak ke perekonomian melalui jalur perdagangan misalnya dengan kenaikan harga minyak," kata dia, dilansir merdeka.com.
Dia berharap, kedua pihak bisa menahan diri dan menyelesaikan dengan jalur damai. Jangan sampai ketegangan AS dan Iran merusak sentimen positif yang terbangun pascakesepakatan perang dagang AS dan China.
"Tentunya kita berharap kedua pihak bisa menahan diri. Kalau itu yang terjadi pasar keuangan global akan aman demikian juga dengan IHSG dan rupiah," kata dia.
4. Harga Emas Melonjak
Harga emas berjangka di divisi COMEX New York Mercantile Exchange ditutup lebih tinggi untuk sesi ke-10 berturut-turut pada hari Selasa, karena kekhawatiran tentang ketegangan geopolitik di Timur Tengah, mendorong pembelian logam mulia dan aset aman (safe haven).
Dikutip dari Antara, emas dan aset aman lainnya semakin menguntungkan pasca-meninggalnya Soleimani, yang menurunkan minat investor terhadap aset yang dianggap berisiko dan mendorong pembelian aset tradisional yang aman seperti emas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, perang Iran-AS berdampak pada harga emas dan dolar. "Harga emas dunia telah naik 2,19 persen dibandingkan tahun lalu dan indeks dolar menguat tipis 0,51 persen dalam sepekan terakhir," kata Bhima. (Ein)
Advertisement