Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan di Sidoarjo, Jawa Timur pada Selasa, 7 Januari 2020. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan sejumlah orang turut diamankan.
Saiful kemudian diterbangkan ke kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan lanjutan pada Rabu 8 Januari 2020 setelah sempat dibawa ke Polda Jawa Timur. Operasi ini merupakan perdana dilakukan KPK di bawah pimpinan baru.
Advertisement
Setelah menjalani pemeriksaan intensif, KPK menetapkan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sebagai tersangka kasus suap pengadaan beberapa proyek di Dinas PU dan BMSDA Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Politikus PKB itu dijerat bersama lima orang lainnya, yakni Kadis PU dan BMSD Sidoarjo Sunarti Setyaningsih, PPK Dinas PU dan BMSD Sidoarjo Judi Tetrahastoto, Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Sanadjihitu Sangadji, serta Ibnu Ghopur, dan Totok Sumedi, pihak swasta.
"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK Jakarta, Rabu 8 Januari 2020.
Alex menambahkan, dalam tangkap tangan kali ini total uang yang diamankan KPK adalah Rp 1.813.300.000. KPK, akan mendalami lebih lanjut terkait dengan hubungan barang bukti uang dalam perkara ini.
Alex mengatakan, penangkapan terhadap Bupati Sidoarjo dan lima orang lainnya berawal dari laporan masyarakat bahwa akan terjadi tindak pidana suap.
Dia mengatakan, tim KPK mengintai Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sampai ke Padang, Sumatera Barat sebelum ditangkap pada Selasa 7 Januari 2020.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri mengaku kecewa ada kepala daerah yang terjerat OTT.
"Saya sangat tidak happy (bahagia) jika ada kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK," ujarnya di sela sambutannya saat Rapat Koordinasi dan Sinergi Penyelenggaraan Pemerintahan di Surabaya, Jatim, Kamis (9/1/2020).
Dia mengaku sengaja datang rakor hari ini sekaligus mengingatkan ke pemerintah daerah se-Jatim agar tidak korupsi, kolusi maupun nepotisme.
Makanya itu kita harus mencegah jangan sampai ada kepala daerah terlibat KKN, berapa pun nilainya," ucap Firli.
Ketua KPK juga menyampaikan masih ada pekerjaan rumah yang harus diperbaiki dalam sistem tata politik maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada). Terbukti, kata dia, pada dua hari terakhir terdapat dua tindakan OTT yang dilakukan KPK dalam kasus berbeda dengan menangkap seorang kepala daerah dan komisioner KPU RI.
"Ternyata masih ada kepala daerah yang main-main dengan pengadaan barang maupun jasa. Jadi, masih ada PR besar dan ini harus diperbaiki bersama," ucap Ketua KPK ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
OTT Komisioner KPU
Tim Satgas KPK kemudian kembali menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu 8 Januari 2020. Kali ini tim penindakan menggelar operasi senyap di Jakarta. Salah satu yang terjaring adalah Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kita melakukan penangkapan terhadap para pelaku yang sedang melakukan tindak pidana korupsi berupa suap," ujar Ketua KPK Firli Bahuri saat dikonfirmasi, Rabu (8/1/2020). Ini merupakan operasi senyap kedua yang digelar tim penindakan KPK masa kepemimpinan Firli cs.
Komisioner KPU yang tertangkap kemudian diketahui Wahyu Setiawan. Usai kabar OTT, Ketua KPU Arief Budiman kemudian mendatangi gedung KPK ditemani komisioner KPU lainnya, yakni Hasyim Asy'ari, Ilham Saputra, dan Pramono Ubaid Tanthowi.
Menurut Arief, Wahyu Setiawan diperiksa bersama tiga orang lainnya. Dia menyebut, KPU menghormati proses hukum di lembaga antirasuah dan akan membantu jika KPK membutuhkan keterangan maupun informasi lainnya di KPU.
KPK pun menyegel ruang kerja komisioner KPU Wahyu Setiawan di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis 1 Januari 2019. Selain ruang kerja, penyegelan juga dilakukan di rumah dinas Wahyu yang ada di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Tim penindakan KPK juga mengamankan mata uang asing dalam OTT terhadap Wahyu Setiawan. Diduga jumlahnya sekitar Rp 400 juta.
Sementara itu, pihak KPK menyebut, Wahyu diduga terlibat tindak pidana suap terkait pergantian antar waktu (PAW) di DPR.
"Suap terkait PAW," ujar sumber internal KPK saat dikonfirmasi, Kamis (9/1/2020).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, pihaknya turut mengamankan seseorang yang bergelut di dunia politik. Namun dia belum bersedia membeberkan siapa politikus yang turut diamankan tim penindakan.
KPK lalu menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka terkait dugaan penerimaan suap penetapan anggota DPR terplih 2019-2020.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, tak hanya Wahyu Setiawan, KPK juga menetapkan 3 tersangka lainnya dalam kasus tersebut.
"KPK menetapkan 4 orang tersangka, mereka adalah WSE (Wahyu Setiawan) Komisioner Komisi Pemilihan Umum, ATF (Agustiani Tio Fridelina) Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu, orang kepercayaan WSE. Sebagai Pemberi, HAR (Harun Masiku), dan SAE (Saeful) sebagai swasta," ucap Lili di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
Pemberian suap untuk Wahyu itu diduga untuk membantu Harun dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP yang meninggal dunia yaitu Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Namun dalam pleno KPU pengganti Nazarudin adalah caleg lainnya atas nama Riezky Aprilia.
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Djarot Saeful Hidayat belum membenarkan secara gamblang adanya keterkaitan kadernya dengan OTT Komisioner KPU Wahyu. Namun, Djarot menyatakan pihaknya akan segera menjelaskan kepada publik terkait OTT tersebut.
Djarot menegaskan pihaknya akan mendukung dan siap bekerjasama dalam usaha memberantas korupsi.
Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto meluruskan informasi perihal penggeledahan dan penyegelan oleh penyidik KPK di Kantor DPP PDIP pada Kamis (9/1/2020).
"Berdasarkan laporan kepala sekred kantor DPP PDIP, info penggeledahan dan penyegelan itu tidak benar," tegas Hasto usai memantau persiapan Rakernas dan HUT ke-47 PDIP di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Walau membantah penggeledahan, Hasto membenarkan jika ada sejumlah orang yang menyambangi Kantor DPP PDIP hari ini. Namun dikarenakan tak memiliki legalitas, maka pihak DPP PDIP tak memberikan izin masuk kepada mereka.
Advertisement
2 OTT Beruntun Gunakan UU KPK Lama
Anggota Dewan Pengawas KPK Sjamsuddin Haris menyatakan, dua OTT beruntun yang dilakukan KPK masih menggunakan prosedur dari Undang-Undang KPK yang lama.
"Terkait OTT KPK di Sidoarjo maupun komisioner KPU tidak ada permintaan izin penyadapan kepada Dewas. KPK masih menggunakan prosedur UU yang lama," kata Haris saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Ia pun menyatakan sangat memungkinkan jika proses penyelidikan dan penyadapan terhadap dua OTT tersebut sudah berlangsung sejak pimpinan KPK jilid IV.
"Sangat mungkin penyelidikan dan penyadapan sudah berlangsung sejak kepimpinan KPK jilid IV (Pak Agus cs)," kata dia seperti dikutip Antara.
Selain itu, ia juga menyinggung soal Dewas yang belum memiliki Organ Pelaksana seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 sehingga ia tak mempermasalahkan dua OTT tersebut tanpa seizin Dewas.
"Dewas sendiri berlum memiliki organ karena Perpres tentang organ Dewas baru turun karena masih transisional dari UU lama ke UU baru, Dewas dapat memahami langkah pimpinan KPK," ucap Haris.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta mengatakan, OTT Bupati Sidoarjo tersebut merupakan kali pertama di era kepemimpinan Firli Bahuri Cs. Namun demikian, prosesnya sejak era pimpinan KPK Agus Rahardjo Cs.
"Penyadapannya yang lama, sebelum pelantikan dewan pengawas itu, kan. Informasi yang sebelumnya, sudah lama," kata Alexander Marwarta di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Atas dasar itu, kata Alex, tidak diperlukan izin dari dewan pengawas untuk melakukan tindakan penyadapan maupun OTT.
Alex mengatakan, penindakan terhadap Bupati Sidoarjo berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) dan surat perintah penyadapan (sprindap) sebelum UU KPK yang baru berlaku. Sprinlidik dan sprindap Saiful Ilah juga ditandatangani oleh Pimpinan KPK era Agus Rahardjo.
"Iya sprinlidik sudah lama, ditandatangani sebelum pimpinan sebelumnya selesai menjabat. Sprindap satu bulan, kalau tandatangan 15 Desember (2019), sampai sekarang masih berlaku, jadi masih menggunakan sprindap sebelumnya," ujar Alex di Gedung KPK, Kuningan, Rabu (9/1/2020).
Diketahui, dalam UU KPK yang baru, penyadapan hingga penggeledahan harus melalui izin dewan pengawas. Alex menyatakan, untuk penggeledahan dan penahanan terhadap Saiful Ilah pihaknya nanti akan berkoordinasi dengan dewan pengawas.
"Sprindik (surat perintah penyidikan), penyitaan, dan penahanan karena sudah ada dewas tentu kita minta izin ke dewas," kata Alex.
Alex menyatakan, jika Saiful Ilah dan tersangka lainnya dalam kasus suap pengadaan proyek di Sidoarjo tak terima ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan apa pun, termasuk penyelidikan tanpa izin dewan pengawas, KPK siap menghadapi gugatan praperadilan.
Menko Polhukam Mahfud Md mengapreasi OTT KPK di era Firli Cs tersebut yang masih menggunakan UU lama. Hal ini dinilai bahwa kekhawatiran publik terhadap UU KPK yang baru tidak terbukti.
"Menurut saya bagus. Berarti tidak ada yang berubah drastis dari berlakunya undang-undang itu. Saya dulu termasuk yang tidak mendukung revisi undang-undang itu dulu, tetapi ketika itu dibicarakan secara kenegaraan dan ternyata diundangkan, ya kita harus bekerja berdasar proses-proses yang secara kenegaraan itu," kata Menko Polhukam Mahfud Md di kantornya, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Dia juga menuturkan, dengan OTT tersebut membuktikan sejauh ini kinerja Dewan Pengawas tidak menghambat kerja KPK.
"Dulu yang dikhawatirkan orang kan KPK tidak bisa lagi melakukan OTT karena di undang-undang tersebut disebut harus dengan izin dewan pengawas. Nah nanti itu bisa bocor, ini ternyata tidak kan. Artinya bisa OTT dan Dewan Pengawasnya bisa cepat memberi persetujuan dan tidak bocor, sehingga OTT tetap jalan," ungkap Mahfud.
Dia tak setuju anggapan yang menyebut OTT saat ini merupakan sisa kasus yang dulu. Namun begitu, bukan tidak mungkin kasus ini sudah diselidiki sejak lama.
Kendati demikian, Mahfud menegaskan, keberadaan Dewan Pengawas yang ditetapkan melalui UU KPK yang baru, tak membuat kinerja lembaga antirasuah ini melempem. Operasi tangkap tangan terbukti tetap berjalan dengan baik.