Tanggapan Dosen Sejarah Unair Terkait Laut Natuna

Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menuturkan, momen terkait Laut Natuna dapat dijadikan ASEAN untuk unjuk gigi.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 11 Jan 2020, 19:30 WIB
Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Adrian Perkasa. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Adrian Perkasa, memberikan tanggapan terkait Laut Natuna. Berdasarkan sejarahnya, ada beberapa perspektif terkait kemaritiman termasuk hak kepemilikannya.

"Perspektif Barat, Cina, Jawa, dan lainnya di mana masing-masing punya perspektifnya sendiri," ujar dia, Jumat, 10 Januari 2020.

Adrian menambahkan, saat ini terkait dengan kemaritiman sudah diatur dalam kerangka hukum internasional bernama UNCLOS. Sebelum ada UNCLOS, lautan dianggap bebas dan tidak dimiliki oleh siapapun. Hingga 1957, lautan yang ada di Indonesia termasuk Laut Jawa, Selat Malaka, Laut Banda, Arafuru, dan lainnya termasuk perairan bebas.

Sebelum UNCLOS yang diresmikan pada 10 Desember 1982, Indonesia mempunyai suatu landasan yakni Deklarasi Djuanda. Pada momen itulah kemudian Ir. Djuanda yang saat itu menjabat Perdana Menteri pada Desember 1957 mendeklarasikan Indonesia merupakan negara kepulauan. 

Perspektif negara kepulauan itu menarik karena melihat Indonesia adalah lautan yang ditaburi kepulauan. Jadi, hal itu bukan perspektif pada umumnya yang melihat lautan yang memisahkan daratan atau pulau-pulau.

"Melalui perjuangan diplomasi yang panjang, akhirnya tahun 1982 hukum ini (Deklarasi Djuanda, Red) dikuatkan dengan UNCLOS," ujarnya. 

Beberapa negara yang awalnya menolak Deklarasi Djuanda akhirnya ikut meratifikasi UNCLOS termasuk China. Laut Natuna Utara sangat strategis untuk diperebutkan karena selain secara sumber daya alamnya yang menyimpan banyak kekayaan, tetapi juga secara geopolitik menarik. 

Oleh karena itu, area lautan Natuna langsung bersentuhan dengan banyak negara. Laut Natuna juga merupakan jalur perdagangan. lautan itu termasuk dalam urat nadi jalur sutra lautan pada masa lalu. 

"Bayangkan siapa yang bisa menguasai lautan ini, ibarat teluk Hormuz di Persia yang sekarang lagi ramai itu," katan dia,

Adrian juga menuturkan seharusnya apa yang telah dilakukan Kementerian Luar Negeri saat ini bisa ditindaklanjuti secara terukur dengan aksi-aksi lain khususnya di meja diplomasi. Momen itulah yang dapat dijadikan ASEAN unjuk gigi. Hal itu karena pada dasarnya yang paling terancam langsung adalah negara-negara ASEAN.

Momentum itu bisa dimanfaatkan untuk membenahi kelemahan yang ada di komunitas ASEAN. Ia juga menyimpulkan, sebagai masyarakat ASEAN cara pandang untuk melindungi batas wilayah harus dikuatkan kembali dan jangan hanya terjebak pada nasionalisme kacamata kuda.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Nelayan: China Ingin Rebut Kekayaan Laut Natuna

Kapal bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk nelayan di Kepulauan Natuna. (Gideon/Liputan6.com)

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menganggap, masuknya nelayan China yang dikawal kapal Coast Guard menjadi tanda bahwa Tiongkok ingin merebut perairan Natuna dari wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia.

Ketua Harian KNTI Dani Setiawan menyerukan pemerintah agar memiliki sikap tegas bahwa masuknya kapal China bukan semata-mata karena adanya klaim hak tradisional terhadap Natuna sebagai wilayah milik negara tersebut.

"Ada aspek ekonomi lebih luas. China ingin merebut penguasaan jalur yang sangat strategis. Tak hanya sumber daya laut, di sana juga ada migas dan lain-lain," tegas dia saat sesi bincang-bincang di Kantor KNTI, Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020.

Dengan adanya legitimasi atas penguasaan wilayah di Natuna, maka China menurutnya akan memperluas pengaruh politik dan ekonomi, khususnya di negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

"Dan itu akan lebih besar pengaruhnya ke negara Asia Tenggara dan Indonesia kalau kita biarkan masalah ini berlarut larut. Kalau hanya dilakukan pendekatan yang parsial, ini akan terus terulang kembali," serunya.


Tolak Negosiasi China

Perahu-perahu nelayan ditambatkan di pantai yang berfungsi sebagai dermaga nelayan. Mereka tak berani melaut karena ombak dan gelombang tinggi. (foto: Liputan6.com/ajang nurdin)

Dani pun menghimbau pemerintah untuk menolak berbagai ajakan negosiasi oleh pihak China. Sebab, itu akan semakin melemahkan posisi Indonesia untuk mempertahankan haknya di perairan Natuna.

"Landasan apapun perbincangan dengan pemerintah Tiongkok, saya rasa indonedia tidak boleh bernegosiasi. Jadi tidak boleh ada materi tambahan lain. Misalnya ditambahkan dengan Nine-Dash Line sebagai suatu upaya yang perlu didiskusikan," ungkapnya.

"Ada sedikit saja materi negosiasi bergeser, saya kira kecil sekali peluang kita untuk keluar dari ancaman China di laut teritori kita," dia menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya