Liputan6.com, Jakarta Indonesia tengah menghadapi krisis lingkungan. Setidaknya, ada 10 masalah besar yang harus dihadapi terkait masalah lingkungan ini. Mulai dari sampah, banjir, pencemaran sungai, rusaknya ekosistem laut, pemanasan global, pencemaran udara, sulitnya air bersih, kerusakan hutan, abrasi, dan pencemaran tanah.
Arif Satria, Guru Besar Tetap Bidang Ekologi Politik menyatakan dampak krisis lingkungan tidak hanya berdampak pada pembangunan. Namun juga terhadap ketahanan pangan hingga kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga
Advertisement
Untuk itu, diperlukan langkah konkret dalam mencegah dan mengatasi krisis lingkungan. Salah satunya dengan melakukan penyatuan modernisasi ekologi dan ekologi politik. Kolaborasi disusun untuk meningkatkan daya dukung alam dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
"Modernisasi ekologi menggarisbawahi bahwa rasionalitas ekologi diperlukan untuk mengimbangi rasionalitas ekonomi, sehingga kegiatan produksi dan konsumsi dapat memberikan manfaat bagi ekonomi dan sekaligus ekologi," ujar Arif dalam orasi ilmiahnya, Minggu (12/1/2020).
Dia menuturkan, pendekatan ekologi politik lebih menyasar pada aspek sosial politik yang ditimbulkan dari krisis lingkungan.
Penerapan modernisasi ekologi bertumpu pada 3 asas, yaitu ekologisasi produksi yang artinya memproduksi minim limbah, perbaikan kerangka regulasi dan pasar serta penghijauan nilai korporat (kebijakan car free day, kampanye earth hour dan lainnya).
Namun dalam pendekatan ekologi politik, ada aktor yang berperan dengan kebijakan serta tindakannya masing-masing.
Sebagai contoh, negara yang mengedepankan kebijakan lingkungan hidup dengan modernisasi ekologis. Hal ini menunjukkan peran pemerintah sebagai aktor pelindung.
Namun demikian, pemerintah dilihat dapat berperan sebagai aktor pengguna, yang memanfaatkan lingkungan demi kepentingan negara, dengan pendekatan ekologi politik.
"Banyak konflik yang terjadi antar keduanya, seperti adanya kebijakan negara yang membatasi exploitasi sumber daya untuk kepentingan produksi jangka panjang," papar Arif.
Hal Lain
Pandangan udara kawasan Hutan Amazon yang terdeforestasi (penurunan luas area hutan secara kualitas dan kuantitas) di wilayah Sungai Madre de Dios, Peru, Jumat (17/5/2019). Keberadaan tambang ilegal di Hutan Amazon sangat merusak kelestarian lingkungan. (CRIS BOURONCLE/AFP)
Hal kedua ialah pasar, yang dapat disasar sebagai aktor dan pendekatan. Dengan pendekatan ekologi politik, perusahaan berkampanye hijau hanya demi menggaet target konsumen, bukan benar-benar berkonsentrasi terhadap lingkungan.
Dan yang ketiga, masyarakat. Berbeda dengan pemerintah dan pasar, dalam pendekatan ekologi politik, masyarakat cenderung termarjinalisasi modernisasi dan sering terkena dampak terbesar pertama kali, utamanya masyarakat miskin.
Oleh karenanya, penting agar 3 aktor tersebut untuk menyatukan pendekatan sehingga menghasilkan peran yang tepat agar dampak krisis lingkungan dapat ditekan.
"Sudah saatnya tata kelola baru sumber daya alam di Indonesia mencari titik temu dan memadukan rasionalitas ekologi, rasionalitas ekonomi, dan rasionalitas moral, dan rasionalitas politik," tutur Arif.
Advertisement