Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Spanyol menghapus semua iklan obat yang melibatkan influencer di media sosial. Bulan September lalu, juru bicara Kementerian Kesehatan Spanyol, Guillermo Martin Melgar bahkan membuat daftar obat yang diiklankan influencer tapi tidak efektif.
"Ini bukan pertama kalinya obat-obatan dijual layaknya buku atau sebotol parfum. Saya mencatat, misalnya obat antivirus untuk mengobati beberapa bentuk herpes, atau pengobatan jerawat lainnya, ada pula yang menganjurkan tata cara minum obat flu sehingga tidak akan memengaruhi pola tidur seseorang, dan banyak lagi," katanya, seperti dilansir dari laman Elpais.
Advertisement
Beberapa bulan yang lalu, Asosiasi Farmasi Spanyol CGCF bahkan melaporkan bahwa penjualan tisu wajah khusus mengobati jerawat melonjak. Ini terjadi setelah para influencer membuat review produk dengan membuat beberapa video yang diposting di akun media sosialnya.
Para influencer ini seolah tidak paham bahwa produk yang direkomendasikan sebenarnya mengandung antibiotik yang memerlukan resep medis. Keresahan ini membuat Undang-undang Spanyol secara ketat mulai membatasi iklan obat-obatan tersebut. Sebab penggunaan yang sembarangan bisa menyebabkan masalah kesehatan.
Simak video menarik berikut ini:
Hapus konten iklan obat
Sejak akhir Desember lalu, Google (termasuk YouTube) telah merespons pesan untuk bekerja sama dengan otoritas Spanyol menghapus konten iklan yang melanggar hukum.
"Kami meminta YouTube untuk segera menghapus konten dan memeriksa satu per satu video yang melanggar syarat dan ketentuan," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Spanyol.
Tetapi, YouTube bukan satu-satunya tempat obat resep dipromosikan. Martín Melgar, mencatat sebagian besar konten ini juga ditemukan di Instagram.
Mereka mengatakan bahwa mereka akan mencatat dan melaporkan video-video ini di platform media sosial apa pun. Kementerian Kesehatan setempat juga bekerjasama dengan asosiasi dokter dan apoteker untuk mengatasi masalah tersebut. Yang terakhir mengusulkan komite untuk menganalisis konten dan meningkatkan kesadaran di kalangan bisnis dan warga negara.
Advertisement
Influencer Tak Paham atau Acuh?
Sudah ada teguran, namun salah seorang influencer Marta Carriedo mengatakan tidak peduli. Padahal dia mengiklankan krim untuk infeksi kulit yang mestinya hanya bisa dibeli dengan resep dokter.
“Siapa yang peduli jika itu memerlukan resep, saya cocok pakai krim itu. Saya akan memberi tahu kalau produk ini tidak bekerja. Tapi saya benar-benar tidak peduli," katanya.
Ana López-Casero dari Asosiasi Farmasi Spanyol CGCF menjelaskan bahwa inti masalahnya adalah kurangnya pengetahuan orang tentang obat-obatan.
"Banyak orang melihatnya hanya sebagai produk konsumen, seperti pakaian atau buku, tapi bukan itu yang sebenarnya," katanya.
Ana menilai, mengkriminalisasi influencer juga bukan langkah yang tepat. Ia justru merekomendasikan aturan yang ketat untuk mengiklankan obat.
Para profesional kesehatan juga mengatakan, produk yang diiklankan para influencer muda di media sosial belum menimbulkan risiko besar bagi kesehatan. Hanya saja penjualan antibiotik secara bebas tidak dibenarkan sebab akan mengurangi efektivitasnya terhadap bakteri.
“Kami menghabiskan banyak uang untuk kampanye kesadaran kesahatan. Semua dilakukan semata-mata untuk membuat orang sadar dan menggunakan antibiotik dengan bijak. Tapi hal ini bisa dirusak oleh video yang dibuat para selebgram yang ditonton oleh ratusan ribu orang. Upaya kami bisa sia-sia,” kata López-Casero
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa resistensi antimikroba akan menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada tahun 2050. Jumlah ini melebihi penderita kanker.
Berhenti iklankan obat resep
Prof. Steve Powis, Direktur medis NHS meminta kepada Instagram, Facebook dan Twitter untuk berhenti menggunakan selebriti untuk mempromosikan "produk kesehatan yang meragukan".
Sebelumnya, Kim Kardashian menggunakan akun Instagramnya untuk mempromosikan Diclegis (kombinasi vitamin B6 dan doxylamine sebagai obat mual muntah), namun tidak memberitahukan dampaknya bagi wanita dengan keadaan tertentu.
"Selebritas yang sangat berpengaruh akhirnya mengecewakan fansya dengan berjualan produk-produk yang paling tidak efektif dan paling berbahaya." ujar Prof Powis kepada Medium.com.
Sebenarnya, para influencer ini boleh mempromosikan obat asal mereka mematuhi peraturan. Yaitu dengan tidak melebih-lebihkan, menyalah-artikan produk, apalagi memberikan embel-embel khasiat tanpa perlu mengubah pola hidup dan memberitahukan kontraindikasi serta efek sampingnya. Selain untuk mencegah penyalahgunaan obat, juga agar tidak terjadi resitensi obat.
"Dan para konsumen diharapkan lebih selektif dalam menyerap info. Jangan ikut-ikutan menggunakan produk obat yang sama hanya karena idola Anda memakainya, karena Anda tidak tahu apakah obat tersebut cocok dengan Anda atau tidak," pungkas Prof Powis.
Advertisement