Polemik Ambang Batas Parlemen, Berapa Angka Idealnya?

Sejumlah partai besar sepakat prosentase ambang batas parlemen di pemilu mendatang dinaikkan. Sebaliknya, partai menengah-kecil menolak keras.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 15 Jan 2020, 00:02 WIB
Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna pembukaan Masa Sidangan II 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/1/2020). Setidaknya 290 anggota DPR tak hadir dalam rapat paripurna dengan agenda pidato pembukaan Masa Sidang II tahun 2019-2020 tersebut. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Berapa angka ideal ambang batas parlemen (parliamentary threshold) kembali menjadi polemik di kalangan partai politik. Sejumlah elite parpol sepakat menaikkan ambang batas parlemen dari 4 persen saat ini, menjadi 5 atau 6 persen. Bahkan ada juga yang menilai angka tepat untuk ambang batas parlemen adalah 7 persen.

Adalah PDIP yang memicu perdebatan soal ambang batas parlemen. Rakernas PDIP I 2020 di Jakarta menghasilkan 9 rekomendasi, salah satu di antaranya adalah soal ambang batas parlemen di Pemilu berikutnya. Partai Banteng Nyeruduk itu merekomendasikan angka untuk ambang batas parlemen adalah 5 persen untuk DPR RI.      

"Rakernas I PDI Perjuangan 2020 merekomendasikan kepada DPP Partai dan Fraksi DPR RI PDI Perjuangan untuk memperjuangan perubahan UU Pemilu untuk mengembalikan Pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, peningkatan ambang batas parlemen sekurang-kurangnya 5%, pemberlakuan ambang batas parlemen secara berjenjang (5% DPR RI, 4% DPRD Provinsi dan 3% DPRD Kabupaten/Kota), perubahan district magnitude (3-10 Kursi untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan 3-8 Kursi untuk DPR RI) serta memoderasi konversi suara menjadi kursi dengan Sainte Lague Modifikasi dalam rangka mewujudkan Presidensialisme dan Pemerintahan efektif, penguatan serta penyedederhaan sistem kepartaian serta menciptakan pemilu murah,"demikian bunyi rekomendasi ke-5 hasil rakernas PDIP yang ditandatangi langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Reaksi pun bermunculan. Politikus Golkar yang juga ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) sepakat ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 5 persen untuk DPR RI. Bamsoet menilai sudah seharusnya ambang batas dinaikkan agar tidak ada ledakan partai di parlemen.

"Menurut saya memang sudah seharusnya dari waktu ke waktu ambang batas itu ditingkatkan agar tidak terjadinya lagi ledakan jumlah partai di parlemen ini," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1/2020).

Bamsoet menyatakan, dirinya akan mengusulkan agar ambang batas 6 atau 7 persen ke DPP Golkar ketika UU Pemiilu direvisi nantinya.

"Bahkan kalau saya akan mengusulkan kepada Golkar nanti perlu 7 persen untuk ambang batas pemilu 2024 mendatang," ucapnya.

Menurut Bamsoet, jika ambang batas nol persen, bakal banyak partai yang berlenggang ke Senayan. Hasilnya bakal membuat kerja parlemen tidak efektif.

"Enggak dong, kalau PT 0 Persen maka akan puluhan partai yang ada di parlemen ini maka tidak efektif mencapai suatu keputusan untuk kepentingan rakyat juga. Beda loh dengan pilpres ini ambang batas parlemen threshold ya," jelasnya.

Sikap berbeda disampaikan PAN. Wasekjen PAN Saleh Daulay menolak prosentase ambang batas parlemen dinaikkan. Dia malah mengusulkan ambang batas parlemen diturunkan, bahkan dihapus. 

"Ambang batas parlemen sudah semestinya diturunkan, atau bahkan dihapuskan. Sehingga, partai-partai yang ada tetap bisa mengirimkan perwakilannya ke parlemen," ujar Saleh melalui keterangannya, Selasa (14/1/2020).

Saleh mengatakan, ambang batas memiliki kelemahan karena tidak semua perolehan suara partai dikonversi menjadi kursi di parlemen. Dia bilang, jika ada partai yang sudah memenuhi 12 kursi, tetapi baru mendapatkan 3 persen, maka suaranya hilang karena ambang batas 4 persen.

Saleh menilai, partai politik di Indonesia juga heterogen. Karenanya, dua alasan demikian dirasa cukup untuk mengurangi ambang batas parlemen.

Dia mengatakan, jika dalam skema ambang batas nol, ada partai yang kursinya sedikit bisa bergabung dengan partai lain.

"Dulu, waktu 1999, partai-partai juga bergabung untuk membentuk suatu fraksi. Hasilnya bagus. Di daerah, sekarang pun begitu. Ada banyak partai politik yang bergabung dalam satu fraksi tertentu," kata Saleh.

Dia menilai, agenda peningkatan ambang batas parlemen tidak sesuai dengan semangat keragaman dan kebersamaan. Saleh melihat upaya untuk menguntungkan kelompok tertentu.

"Kalau tetap memaksakan, kita akan kembali ke era orde baru. Saat itu, hanya tiga partai politik yang dibolehkan bertarung. Kalau itu terjadi, ini adalah potret kemunduran bagi demokrasi kita di Indonesia," ujar Saleh.

 


PKB-PKS Sepakat Dinaikkan

Politikus PKS Mardani Ali Sera

Ketua DPP PKB Yaqut Cholil Qoumas menyatakan pihaknya tak masalah jika ambang batas parlemen dinaikan. 

"PKB tidak ada masalah. Apalagi ini kan perdebatan lama setiap ada isu revisi UU Pemilu," kata politikus yang karib disapa Gus Yaqut kepada wartawan, Selasa (14/1/2020).

Wakil Ketua Komisi II DPR itu menangkap semangat penambahan ambang batas parlemen adalah penyederhanaan partai politik di parlemen. Karenanya, soal angka, menurutnya bisa fleksibel naik di angka 5 persen atau tetap 4 persen.

"Soal angka, saya pikir masih sangat fleksibel. Bisa 5 persen, bisa saja masih tetap 4 persen seperti sekarang. Karena 5 persen pun jika semangatnya tidak didapat, jika ada partai yang kurang dari 5 persen, bisa saja dalam perhitungannya disulap, sehingga bisa lolos dari PT," kata Yaqut.

Dia mengatakan, asumsi dasar penambahan ambang batas parlemen adalah alokasi kursi semakin kecil akan membentuk sistem yang lebih efektif. Yaqut bilang, semakin sedikit jumlah partai peserta Pemilu, maka ambang batas secara alamiah akan semakin tinggi.

"Sehingga hanya partai politik yang memiliki basis dukungan yang besar pada daerah pemilihan yang akan mendapatkan kursi," kata Yaqut.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyambut baik rekomendasi PDIP agar ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 5 persen persen dari 4 persen. Mardani malah usulkan ambang batas menjadi 7 persen.

"Tentu apresiasi kepada usulan PDIP karena PKS pada posisi lebih advance kami lagi berharap 7 persen," kata Mardani kepada wartawan, Selasa (14/1/2020).

Dia setuju dengan skema yang ditawarkan PDIP. Yaitu, ambang batas berjenjang dari tingkat nasional sampai kabupaten/kota.

"Untuk pileg dengan 7 persen dia terangkat itu untuk pusat. Kalau untuk provinsi sama kabupaten saya setuju dengan PDIP 2 dan 3," kata Mardani.

Mardani juga mengusulkan ambang batas itu diterapkan untuk pemilihan presiden. Sehingga membuka peluang banyak calon presiden yang berlaga.

"Dua calon berturut-turut pilpres ini head to head social costnya tinggi sekali tapi kalau kita punya 3 atau 4 karena kita cuma punya 7 persen tidak 20 persen itu jauh lebih baik," kata dia.

Menurut Mardani skema ini akan lebih baik karena menyehatkan dan mengkonsolidasikan demokrasi.

"Untuk pileg baik naik karena dia menyehatkan dan mengkonsolidasi demokrasi tapi kalau buat pilpres 20 turun, kalau pileg pilpres pilkada turun," ucapnya.

 


Nasib Partai Gurem

Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) saat akan membuka Rakernas Partai Hanura di Pekanbaru, Riau, Selasa (8/5). Namun, OSO tidak menjelaskan alasan pembatalan kedatangan Jokowi ke Rakernas Partai Hanura. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Polemik angka ambang batas parlemen juga mendapat sorotan dari partai yang tak lolos pemilu 2019. Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah menolak wacana revisi UU Pemilu untuk menambah ambang batas parlemen menjadi 5 persen. Menurut Inas, PDIP sebagai partai yang lolos ke DPR, arogan karena menghambat partai kecil untuk masuk ke Senayan.

"Partai besar jangan arogan dong, mentang-mentang masuk senayan lalu mencoba untuk menghambat partai-partai kecil agar tidak masuk ke Senayan dengan cara menaikkan PT 5 persen," kata Inas kepada wartawan, Selasa (14/1/2020).

Inas menilai penyederhanaan partai politik di DPR mendorong terbentuknya oligarki. Dia mengatakan, suara rakyat diberangus dan dirampas oleh partai besar melalui revisi UU Pemilu.

"Padahal dengan mengurangi atau menyederhanakan partai-partai yang duduk di Senayan akan mendorong Indonesia menjadi oligarki, apalagi suara rakyat diberangus dan dirampas oleh partai-partai besar melalui PT dengan mengatasnamakan Undang-Undang, tetapi bertentangan dengan konstitusi," kata Inas.

Sementara itu, Partai Berkarya yang baru berkontestasi di 2019 lalu juga menolak ambang batas dinaikan dari empat menjadi 5 persen. Ketua DPP Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengatakan, wacana penambahan ambang batas itu seperti ingin membunuh partai kecil. Dia menyarankan lebih baik ambang batas dinolkan.

"Sama dengan membunuh partai kecil. Secara tidak langsung ingin melenyapkan partai menengah ke bawah. Suara rakyat tidak dihargai. Harusnya PT itu ditiadakan saja atau 0 persen, biar partai bisa berkompetisi dengan baik," kata Badaruddin.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya