Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sejak 2010 hingga 31 Desember 2019 telah mengelola dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak Rp 44,37 triliun untuk 655.602 unit rumah.
Pada Tahun Anggaran 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan pembiayaan perumahan sebesar Rp 11 triliun untuk 102.500 unit rumah berdasarkan Nota Keuangan.
Berdasarkan keterangan resmi Kementerian PUPR, Rabu (15/1/2020), pada 2020 terdapat 37 bank pelaksana penyalur dana FLPP yang terdiri dari 10 bank nasional dan 27 bank pembangunan daerah. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sejak 1 Januari 2020 sudah bisa melakukan akad kredit dengan bank pelaksana dengan menggunakan aplikasi SiKasep.
Terkait dengan permintaan pembayaran dana FLPP di 2020 melalui sistem e-FLPP dari bank pelaksana, akan dilayani oleh Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) mulai 15 Januari 2020.
Baca Juga
Advertisement
"Permintaan ini diperuntukkan bagi KPR (Kredit Pemilikan Rumah) Sejahtera dengan ketentuan harga lama yaitu tahun 2019," ujar Direktur Utama PPDPP Arief Sabaruddin.
Arief melanjutkan, permintaan awal pembayaran dana FLPP dengan harga baru pada 2020 melalui sistem yang sama akan dilayani mulai 16 Maret 2020. Permintaan itu dilengkapi dengan surat pernyataan yang menyatakan bahwa permintaan/tagihan fasilitas KPR Sejahtera dari dana FLPP dengan ketentuan harga lama tahun 2019 yang diterima bank pelaksana telah ditagihkan seluruhnya kepada Badan Layanan Usaha (BLU) PPDPP.
Sebagai informasi, berdasarkan Keputusan Menteri nomor 535 tahun 2019 tentang batasan harga jual rumah sejahtera, pemerintah membagi harga atas 5 zona wilayah, yaitu Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua, dengan batasan harga terendah Rp 140 juta hingga tertinggi Rp 219 juta untuk 2019 dan 2020.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BPKN Terima 1.510 Aduan Konsumen di 2019, Terbanyak Soal Perumahan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), ungkapkan pengaduan yang diterimanya sepanjang tahun ini didominasi oleh sektor perumahan.
Koordinator Komisi III, Rizal E. Halim, mengatakan pada 2019, BPKN terima pengaduan hingga 1.510 pengaduan. Dari jumlah tersebut, 80 persen diantaranya banyak pengaduan berkaitan perumahan.
Pokok permasalahannya yakni pra pembangunan, terkait legalitas izin lahan belum ada dan tidak adanya pengawasan terhadap lembaga pembiayaan dalam pencairan kredit, serta tidak adanya jaminan sertifikat.
"Yang paling serius terjadi di Batam, terjadi penjualan lahan yang ternyata lahan tersebut merupakan hutan lindung," kata Rizal dalam rapat catatan akhir tahun BPKN 2019, Kantor Kementrian Perdagangan, Jakarta, (16/12/2019).
Selanjutnya, saat pembangunan, perubahan site ukuran tidak sesuai yang dijanjikan dan fasum tidak sesuai yang dijanjikan.
Lalu pasca pembangunan, tidak dilakukan serah terima oleh pengembang, dikarenakan pembangunan belum selesai.
Lanjut dia, selain masalah perumahan yang di Batam, di Jabodetabek juga banyak terjadi.
Menurutnya, hampir sebagian besar rumah susun di Jakarta itu berpotensi masalah, seperti Tanah Abang, Mangga Dua, dan lain-lain. Hal itu dikarenakan sudah habis masa sewa bangunannya.
"Kebetulan banyak yang mengadu disektor perumahan, dan sifatnya masif," jelas Rizal.
Advertisement
Variasi Aduan
Pengaduan yang diterima BPKN bervariasi, ada yang dikarenakan sertifikat atau Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
Koordinator Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Anna Maria, mengatakan bahwa pihaknya sudah menghasilkan 20 rekomendasi, dan saran kepada pemerintah. Namun, tanggapan dari pemerintah kecil.
Meskipun begitu, dalam satu tahun terakhir ada tanggapan dari pemerintah, yakni dari Kementrian Pekerja Umum dan Perumahan (PUPR) terkait sektor perumahan, yang memanfaatkan rekomendasi BPKN.
Ia berharap, dari sekian rekomendasi yang disampaikan BPKN kepada pemerintah. Pemerintah bisa menanggapi rekomendasi tersebut.