Liputan6.com, Bandung - Pemaksaan untuk mengosongkan asrama oleh pengelola Wyata Guna Bandung, membuat 41 difabel netra penghuni asmara tersebut terpaksa tinggal di trotoar Jalan Pajajaran.
Pengosongan paksa itu dilakukan karena berubahnya status Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN).
Advertisement
Perubahan status tersebut memaksa siswa di asrama yang telah menyelesaikan pendidikannya untuk angkat kaki. Aris, salah seorang penghuni asrama mengatakan, perintah pengosongan asrama sudah ada sejak 9 Januari 2020. Namun baru pada 14 Januari kemarin, upaya pemaksaan untuk mengosongkan asrama benar-benar dilakukan pengelola.
"Anak-anak tidak bisa mempertahankan karena barang-barangnya dikeluarkan dengan paksa dan banyak memanfaatkan ketunanetraan kawa-kawan gitu. Begitu dikeluarin karena banyak barang pribadi, mereka berusaha menyelamatkan dulu barang-barang pribadinya. Karena kalau enggak, itu akan diambil oleh pihak bala disatukan jadi nantinya takutnya tercecer ada barang-barang penting,” kata Aris di Jalan Pajajaran, Rabu (15/1/2020).
Aris mengatakan, setelah barang-barang milik difabel netra penghuni Wyata Guna tersebut terkumpul, seluruhnya dititipkan ke warga setempat dan mencari tumpangan kendaraan untuk mencari tempat tinggal sementara. Kini mereka masih bertahan di Jalan Pajajaran.
Tinggal di trotoar, lanjut Aris, sebagai bentuk solidaritas terhadap rekan difabel netra lainnya yang belum memperoleh tumpangan dan tempat tinggal sementara. Karena belum memperoleh tempat tinggal, mereka memutuskan untuk menginap.
"Kita belum memastikan akan ikut (lokasi penampungan) ke Wakil Gubernur atau Wali Kota, karena solusi-solusi mereka hanya seperti angin surga bagi kami. Perlu ditelaah lebih lanjut karena masih banyak yang harus diperhatikan soal tempat tinggal kawan-kawan netra nanti. Baik itu sementara maupun selamanya, serta juga nilai dari Wyata Guna ini sendiri," ujar Aris.
Aris menganggap Wyata Guna memiliki nilai sejarah yang tinggi sejak tahun 1901 sampai sekarang, serta aksesibilitas yang sudah memadai. Alasan lainnya adalah, difabel netra juga masih mempertanyakan kepemilikan sertifikat lahan Wyata Guna yang merupakan tanah hibah yang kini diklaim oleh pemerintah.
Atas dasar itulah, Aris dan difabel netra lainnya menolak untuk keluar dari asrama Wyata Guna. Pengosongan paksa yang dilakukan pengelola Wyata Guna dituding tidak manusiawi, karena telah dilakukan kesepakatan sebelumnya bahwa jangka waktu pengosongan asrama selama satu bulan.
"Memang diberikan waktu dari tanggal 9 Januari itu, yang awalnya minta satu bulan menjadi dua minggu. Dua minggu menjadi finishingnya jadi lima hari dan setelah lima hari itu, kita niatnya mau bernegosiasi lagi tapi dari pihak mereka memaksa dan sudah mengeluarkan paksa barang kawan-kawan ini," ungkap Aris.
Difabel netra yang dipaksa keluar dari Wyata Guna menyatakan akan tetap menginap di trotoar Jalan Pajajaran entah sampai kapan.