Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak hadir dalam kegiatan edukasi publik yang digelar Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP).
Padahal, sebelumnya Susi sempat perang pendapat di media sosial dengan Ketua KP2-KKP Effendi Gazali menyoal ekspor benih lobster.
Advertisement
Diskusi tersebut dilangsungkan di Gedung Mina Bahari III Kementrian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Rabu (19/2/2020) dengan mengangkat tema Melawan Logika Sesat tentang Lobster Apa Adanya.
Dalam kesempatan itu Effendi merespons pernyataan Susi dan meluruskan berbagai isu lobster yang dianggap menyesatkan. Effendi menanggapi pernyataan Susi Pudjiastuti di akun Instagram miliknya pada November 2019.
"Lobster yang bernilai ekonomi tinggi tidak boleh punah, hanya karena ketamakan kita untuk menjual bibitnya, dengan harga seperseratusnyapun tidak," tulis Susi.
Effendi pun membantah pernyataan itu. Menurutnya tidak ada yang menyatakan bahwa lobster terancam punah. Bahkan, badan dunia seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) saja tidak pernah menyatakan status lobster akan punah.
Dia juga sangat menyanyangkan istilah plasma nuftah yang suka dipelintir artinya menjadi simbol kepunahan.
"Plasma Nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga, bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional, tapi dalam konteks lobster setiap kali menyebut istilah plasma nutfah, selalu dipelintir sebagai simbol kepunahan!" ungkap Effendi.
Dia menyebutkan, justru Peraturan Menteri (Permen) Nomor 56 Tahun 2016 yang dikeluarkan saat Susi menjabat mendukung kepunahan lobster. Pasalnya, permen tersebut tidak mengizinkan budidaya, dan lobster hanya boleh diambil dari alam tidak dalam keadaan bertelur dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm, atau berat di atas 200 gram per ekor.
Sementara lobster jenis mutiara, pertama kali matang telur pada berat di atas 700 gram per ekor. Apabila diperbolehkan diambil pada ukuran di atas 200 gram per ekor, sebagaimana permen 56 tersebut, dikhawatirkan justru mempercepat kepunahan.
"Apa artinya, Permen 56 ini yang justru mendukung kepunahan lobster mutiara, dia tidak boleh dibudidaya, dan diambil dari alam sebelum dia bisa bertelur," ujar Effendi.
Dia juga membantah isu yang menyebutkan bahwa di negara lain lobster tidak dibudidayakan, hanya dibiarkan dipelihara alam, lalu diambil setelah besar. Hal tersebut berbanding terbalik dengan survei yang ia lakukan ke Australia dan Vietnam yang sudah berhasil melakukan budidaya.
Saksika video pilihan di bawah ini:
Jumlah Benih Lobster
Effendi kemudian meluruskan isu yang memelintir jumlah benih lobster per tahun di Indonesia. Kata dia, seperti yang disampaikan dalam Telaah Revisi Permen Nomor 56 Tahun 2016 oleh tim Pusat riset perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan perikanan pada tahun 2019, yang tertulis bila 50 persen benih dibiarkan di alam maka yang dapat diambil benihnya sekitar 425 miliar benih per tahun.
"Artinya di alam Indonesia menurut Badan Riset Perikanan resmi negara, terdapat 2x425 miliar atau 850 miliar benih. Tentu saja dalam masa Bu Susi menjadi menteri, siklus pemijahan ini juga terjadi. Bukan karena ganti menteri maka lobster tiba-tiba mau memulai siklus pemijahannya," ujarnya.
Effendi berharap ke depan tidak ada lagi penyesatan terhadap isu benih lobster ini.
"Semoga semuanya kini jernih dan tidak sesat dan dipelintir lagi. Saya Effendi bukan ahli lobster, tapi sebagai KP2 tugas saya mengkomunikasikan supaya logikanya jangan lagi sesat," ujarnya.
Dalam kesempatan itu Effendi juga menyayangkan ketidakhadiran Susi Pudjiastuti meski pihaknya sudah mengundang secara terbuka.
"Kami berharap Bu Susi datang, kan suasananya santai betul. Kalau kita bertemu Bu Susi kita bisa denger alasan Bu Susi kenapa waktu itu tidak boleh budidaya (benih Lobster)," kata Effendi.
Advertisement