Liputan6.com, Jakarta - Andi tak menyangka kalau transaksi jual beli online via media sosial yang dilakukannya berujung nestapa. Ia mengaku terjerat penipuan online oleh sebuah akun online shop di Instagram.
"Nyesek banget rasanya kena tipu belanja online. Saya beli beberapa suku cadang kendaraan bermotor sekitar seminggu lalu, namun sampai sekarang barangnya belum sampai juga. Saya sudah komplain di kolom komentar dan DM (direct message) ke pemilik akun online shop itu, tapi enggak digubris," kata dia kepada Tekno Liputan6.com.
Lain halnya dengan Mita yang membeli sepatu di Facebook. Si penjual mengklaim produk yang dijualnya original, dengan tampilan foto produk meyakinkan dan harganya lebih murah dari toko resmi.
"Pas barangnya (sepatu) sampai di rumah, produknya ternyata KW. Tambah kesel rasanya saat komplain di kolom komentar dicuekin si penjual," ucap Mita menceritakan pengalaman pahitnya saat belanja online di media sosial.
Baca Juga
Advertisement
Andi dan Mita adalah dua dari ribuan orang yang terjerat penipuan online shop di media sosial. Menurut statistik Patroli Siber, sepanjang 2019 ada ribuan aduan kejahatan siber yang dilaporkan masyarakat Indonesia.
Total ada 4.586 laporan, di mana 1.617 di antaranya adalah penipuan online. Perlu dicatat, data ini diperoleh berdasarkan jumlah laporan polisi yang masuk dan jumlah kasus selesai yang dilaporkan oleh Subagbinops Ditreskrimsus seluruh Polda.
Adapun kasus kejahatan siber dilaporkan banyak terjadi di platform Instagram dengan 534 laporan, WhatsApp 413 laporan, dan Facebook 304 laporan.
Menurut Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Reinhard Hutagaol, jumlah laporan penipuan online sejak 2015 fluktuatif. Rinciannya pada 2015 sebanyak 1.494, di 2016 sebanyak 1.570, dan pada 2017 sebanyak 1.430.
Adapun pada 2019 jumlah aduan masyarakat terkait penipuan online mencapai 1.616 kasus. "Jumlahnya menurun dibandingkan tahun 2018 (yang) mencapai 1.781 kasus," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Dari jumlah tersebut, belum semua kasus terselesaikan. Baru 966 kasus yang berhasil diselesaikan kepolisian. "Ada 966 di tahun 2019 dan 1.030 di tahun sebelumnya," lanjut Reinhard.
Dari sekian banyak kasus tersebut, Reinhard menyampaikan sebagai besar memiliki modus dengan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. "Tipu-tipu ya. Keadaan palsu hampir semuanya," papar dia.
Dari kasus tersebut, semuanya dikatakan bermotif materi. "Motif pasti materi, keuntungan pribadi," tegas dia.
Pengamat Media Sosial Enda Nasution menyebut, jumlah korban penipuan online shop di media sosial kemungkinan lebih besar dibandingkan yang dilaporkan ke pihak berwajib.
Salah satu hal yang membuat para korban enggan melapor, menurut Enda karena jumlah kerugian yang diderita tidak terlalu besar.
Kalaupun melapor, upaya pihak berwenang melakukan penelusuran terlalu luas dan lebih sulit. Makanya, dari sekian banyak laporan, kemungkinan hanya beberapa persen yang pelakunya tertangkap. Itu pun pelapornya mungkin adalah korban yang nilai kerugiannya banyak atau jumlah korbannya banyak.
Enda menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat banyak korban terjerat penipuan online shop di media sosial.
"Pertama ada faktor kurang hati-hati. Misalnya pengguna media sosial melihat ada barang yang dijual sangat murah langsung nafsu ingin beli, tidak dicek lagi apakah penjualnya kredibel atau tidak," kata Enda ketika dihubungi.
Tonton Video Ini
Modus
Pakar Keamanan Siber Pratama D. Persadha mengatakan, modus para penipu paling mudah memang membangun akun Instagram dan Fan Page.
"Sebelumnya, para penipu hanya membuka toko fiktif, membeli followers yang banyak dan melakukan likes dengan robot sehingga terlihat meyakinkan. Bahkan foto barang dagangan mengambil dari akun lain serta hasil Googling," ungkapnya.
Dewasa ini, para penipu kian canggih dan cukup meyakinkan dengan memasang iklan di Facebook dan Instagram. Mereka bahkan tidak ragu membuka landing pages pada web tertentu dan membuat chatbot di WhatsApp.
"Penipuan biasanya ada dua bentuk. Pertama, setelah pembeli transfer uang ke penipu, barang tidak akan dikirim. Kedua, barang yang dikirim tidak seperti yang dijanjikan, baik palsu atau pun memang barang tidak sesuai nilai yang ditawarkan," Pratama menjelaskan.
Sementara Pakar Media Sosial Enda Nasution mengungkapkan, modus lain penipuan online shop juga melibatkan tiga pihak, di mana pihak ketiga menjadi korban.
"Misalnya si A membeli ke B harganya Rp 1 juta. Kemudian transfer dilakukan oleh dua pihak, jadi si A mentransfer Rp 500 ribu ke B, nanti sisanya ditransfer pihak lain. Rupanya, A menawarkan produk yang dibelinya ke orang lain (C) dengan harga Rp 500 ribu. C kemudian transfer uang tersebut ke B tetapi barang dikirimkan ke A," papar Enda.
Dalam kasus di atas, C menjadi korban penipuan karena sudah melakukan transfer ke B tetapi tidak mendapatkan produk yang dibelinya. Begitu juga pihak B yang jadi korban karena ternyata ada pihak lain yang juga dijanjikan barang serupa.
Banyaknya kasus penipuan online shop juga karena modusnya lebih mudah dilakukan.
"Si penipu bisa melakukan penipuan ke banyak orang, tidak hanya satu orang. Mereka hanya tinggal lihat, pihak mana yang terjebak dan jadi korban," ucapnya.
Hal lain yang membuat maraknya penipuan online shop di media sosial karena konsekuensi risiko bagi penipu yang lebih kecil ketimbang saat penipu harus bertemu langsung dengan calon korban.
"Kalau di media sosial kan gampang, penipu bisa menghapus atau memblokir korbannya. Risiko tertangkapnya jauh lebih rendah dan upaya penindakannya yang lebih sulit," jelas dia.
Advertisement
Facebook Angkat Bicara
Menanggapi hal tersebut, raksasa media sosial Facebook yang juga dikenal sebagai pemilik Instagram dan WhatsApp, mendorong setiap orang untuk melaporkan pesan yang mencurigakan, baik dalam bentuk phishing maupun penipuan online.
"Keselamatan dan keamanan komunitas kami sangatlah penting bagi kami. Facebook mendorong setiap orang untuk melaporkan pesan yang mencurigakan, baik dalam bentuk phishing maupun penipuan," kata juru bicara Facebook, Kamis (16/1/2020).
Juru bicara perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg itu mengklaim pihaknya juga kerap mengingatkan pengguna untuk tidak menerima permintaan yang mencurigakan di ranah online.
"Kami juga mengingatkan mereka untuk tidak menerima permintaan yang mencurigakan di ranah online serta secara teratur melakukan cek ulang keamanan akun mereka melalui fitur keamanan yang ada di platform kami," jelas dia.
Jika ada pengguna yang menjadi korban penipuan atau kena retas, Facebook mengatakan siap membantu, atau pengguna bisa mengunjungi laman 'Help Center' di Facebook untuk bantuan.
Facebook juga menyarankan pengguna untuk menghubungi polisi dan bank terkait. Jika korban tidak sengaja memberikan informasi kartu kredit, segera hubungi bank atau perusahaan kartu kredit dan pastikan pula melaporkan orang atau nama akun pelaku penipuan ke Facebook.
Waspada
Pengamat ekonomi Yustinus Prastowo menilai, maraknya penipuan dompet digital melalui kode one time password (OTP) terjadi karena kurangnya edukasi. Oleh karena itu diperlukan edukasi literasi keuangan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Fenomena penipuan lewat OTP tersebut bukanlah hal yang baru. Ia menilai hal tersebut terjadi karena banyak orang merasa sudah memahami teknologi digital. Padahal sebenarnya tidak semudah seperti yang digambarkan.
Baca Juga
"Di sini literasi jadi penting, kita ambil contoh saya juga pernah mengalami seperti itu kan, pesan taksi online di telepon dimintai OTP, ya karena kita merasa betul yang menelpon ini yang saya pesan, saya memberikan, ternyata salah, jelas-jelas sebelumnya ada peringatan tidak boleh memberikan itu kepada siapa pun," ungkap Yustinus.
Bahkan sering kali kita menganggap sudah paham literasi digital, namun nyatanya belum terliterasi dengan baik.
"Pentingnya peran pemerintah menurut saya, dia tidak boleh lagi hanya prosedural, sosialisasi, sifatnya yang bikin aturan sosialisasi sudah harus betul-betul menciptakan suatu medium format literasi yang inheren, dengan kebutuhan masyarakat," ungkapnya.
Selanjutnya, ia menyarankan bagaimana pemerintah bisa menjaga supaya tidak terjadi kasus penipuan melalui OTP lagi, dengan terlebih dulu melakukan literasi ke otoritas pemerintahan. "Nah, saya di sini melihat dari sisi otoritas itu penting, literasi kepada otoritas juga," jelasnya.
Menurutnya, dengan melakukan literasi yang dimulai dari otoritas, akan menghasilkan pemain-pemain atau pengguna yang kredibel dari awal.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar turut menghimbau kepada seluruh masyarakat agar terus berhati-hati terhadap kasus penipuan online.
Banyak cara dilakukan untuk menipu. Dia pun meminta masyarakat yang menjadi korban kasus penipuan online, untuk melapor.
Seperti bila menjadi korban penipuan dari lembaga keuangan ilegal dapat melaporkannya ke Satgas Waspada Investigasi.
"Kalau ilegal memang ada risiko yang sangat tinggi, dan itu sudah ditangani oleh Satgas Waspada Investasi. Mungkin harus cek kepada Satgas Waspada Investasi," ujar Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot kepada Liputan6.com.
Demikian pula bagi mereka yang menjadi korban lembaga keuangan legal, juga bisa langsung menghubungi OJK. Nantinya, lembaga ini yang akan memfasilitasi kedua belah pihak untuk merundingkannya.
"Kalau bagi yang legal tentunya dapat kami fasilitasi untuk mereka dapat melakukan mediasi dengan pihak lembaga jasa keuangan yang memang kami awasi. Lalu kami juga dapat mendampingi mereka," terangnya.
"Jika memang kemudian mereka tidak menemukan resolusi atau ekspektasinya tidak terpenuhi, mereka dapat melanjutkan dalam fasilitas LAPS (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa). Kalau tidak mereka dapat menempuh pengadilan kalau memang tidak terjadi kesepakatan," dia menambahkan.
Masyarakat diminta dapat membedakan mana lembaga jasa keuangan yang kredibel atau tidak. "Tentunya waspada akan investasi bodong, hindari bertransaksi dengan lembaga jasa keuangan yang memang tidak berizin atau tidak diawasi oleh otoritas yang berwenang," imbuh dia.
"Harus cek dulu, dapat mengkontak 157 atau mereka juga dapat mengkontak kami melalui email konsumen kamu. Atau untuk pinjaman online yang terdaftar atau berizin mereka bisa cek di website," tandasnya.
Advertisement
Tips Hindari Penipuan Online Shop
Pengamat Media Sosial Enda Nasution meminta, pengguna media sosial harus waspada bahwa selalu ada kemungkinan penipuan di mana pun. Ia menyebut, jika ingin membeli barang di media sosial, misalnya di Instagram, pengguna harus melihat kredibilitas penjualnya.
"Mungkin bisa lihat review dari pembeli lain, tapi perlu diketahui, review pun bisa dipalsukan. Calon pembeli juga bisa melakukan pencarian di Google untuk memastikan bahwa penjual kredibel," katanya.
Kedua, jika penjual menawarkan harga yang terlalu murah, pembeli harus berhati-hati dan selalu curiga kenapa harganya bisa semurah itu. Bila tidak ada alasan yang logis, hindari melakukan transaksi.
"Ketiga, jangan terburu-buru untuk membeli. Mungkin si penipu ini sengaja membuat kondisi yang transaksi harus dilakukan cepat, ini adalah cara membuat penjual lengah dan akhirnya tertipu," ujar Enda.
Kemudian, pengguna disarankan untuk tidak melakukan transaksi dalam jumlah besar. Kalau memang rugi, nilainya tidak terlalu besar. Pembeli pun perlu jeli melihat track record penjual.
"Akan lebih bagus kalau penjual ini memiliki PT atau badan usaha, lokasi fisik, kontak yang beragam, dan fast response," katanya.
Terakhir, jika memang ragu, pembeli sebaiknya melakukan transaksi melalui platform yang terpercaya seperti marketplace.
"Kalau beli di Bukalapak atau Tokopedia misalnya, uangnya tidak langsung ke penjual, tetapi ditahan hingga barang dikirimkan atau diterima pembeli," katanya.
Hal lain yang juga bisa dilakukan adalah mencari informasi di akun Instagram @indonesiablacklist. Akun ini, menurut Enda, mendokumentasikan semua akun yang dianggap telah melakukan penipuan online.
"Karena belum ada database penipuan yang lain, akun berisi kumpulan informasi penipuan yang sifatnya swadaya dari netizen ini bisa dijadikan referensi," kata dia.
Di sisi lain, Pratama menyarankan harus ada edukasi di kedua sisi, baik masyarakat maupun aparat. Menurutnya, penipuan online semacam ini bukan hal baru, namun memang di era siber kasusnya akan semakin bertambah.
"Penegakan hukum dan teknis penyidikan harus mendapatkan perhatian serius bagi aparat. Edukasi bagi masyarakat paling tidak mengarahkan setiap transaksi melalui marketplace dan kemampuan deteksi dini akun-akun online shop bermasalah. Kemampuan ini bila dimiliki oleh masyarakat, maka sistem 'saling mengingatkan' menjadi sangat efektif berjalan," tuturnya.
Masyarakat juga bisa secara teknis melaporkan akun-akun online shop bermasalah, karena Facebook, Instagram, Twitter dan platform lainnya menyediakan tools pelaporan akun bermasalah.
(Tin/Isk)