Safari PDIP Usai OTT KPK Wahyu Setiawan

Diwakilkan oleh tim hukumnya, PDIP menyambangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat pada Kamis 16 Januari 2020.

oleh Delvira HutabaratFachrur Rozie diperbarui 17 Jan 2020, 00:03 WIB
Tim hukum PDIP menyambangi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (16/1/2020). (Merdeka.com/ Wilfridus Setu Embu)

Liputan6.com, Jakarta- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan kunjungan ke sejumlah instansi. Kunjungan ini dilakukan sepekan setelah operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Diwakilkan oleh tim hukumnya, PDIP menyambangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat pada Kamis 16 Januari 2020.

Kedatangan Koordinator Tim Pengacara DPP PDIP Teguh Samudera dan Ketua Tim Hukum DPP PDIP I Wayan Sudirta disambut oleh Ketua KPU Arief Budiman.

Lalu bersama-sama memasuki sebuah kompleks bangunan di samping KPU. Mereka kemudian berjalan masuk sambil menyapa awak media.

"Ngobrol-ngobrol. Diskusi," kata I Wayan Sudirta sambil tersenyum. "Diskusi. Jangan PAW, PAW-an lah," imbuh dia.

Ketua KPU Arif Budiman mengatakan, audiensi merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh KPU dengan sejumlah pihak. Termasuk, dari pihak partai politik, termasuk PDIP.

"Dari peserta pemilu siapapun, dari institusi mana pun kalau mengajukan permohonan audiensi kita atur jadwalnya. Sepanjang KPU ada waktu, pasti langsung bisa diterima," ucap Arief usai pertemuan.

Ketua Tim Hukum PDIP I Wayan Sudirta mengatakan, audiensi dengan KPU dilakukan untuk mengklarifikasi sejumlah hal. Termasuk kabar yang menyebut pihaknya menghalangi penggeledahan oleh KPK beberapa waktu lalu.

Dia menyebut, PDIP terpukul oleh kabar tersebut. Karena itu, pihaknya perlu memberikan penjelasan kepada sejumlah pihak termasuk KPU.

"Karena PDIP sedang dapat pukulan keras, tapi tanpa data. Contoh bagaimana kami disebut menghalang-halangi penggeledahan. Wong dia nggak bawa surat penggeledahan kok," kata dia, di KPU, Jakarta, Kamis 16 Januari 2020.

Kabar tersebut, kata dia, membangun persepsi negatif tentang partai berlambang Banten moncong putih tersebut.

"Sehingga kami terpukul kalau PDIP dianggap membangkang, melawan petugas penggeledahan," tugas dia.

Tim hukum PDIP lainnya, Teguh Samudera menambahkan, pihaknya hanya mendudukkan perkara yang sebenarnya. Jangan sampai dianggap parpol melakukan hal yang tidak benar.

"Kita selalu taat asas, taat hukum. PDIP selama ini selalu menjunjung tinggi hukum. Proses penegakan hukum juga kita dukung. Jangan sampai di-framing seperti yang sudah terjadi selama ini. Sudah tahu semua rekan-rekan. Ini kita jelaskan kepada beliau semua," kata dia.

Dia mengatakan, pihak KPU memahami apa yang dikemukakan PDIP. Pertemuan pun berlangsung hangat.

"Ya kita senyum-senyum dan ketawa-ketawa. Persepsinya sama bahwa kita tidak boleh bergeser dari aturan, ketentuan perundang-undangan," tandas Teguh.

Usai mengunjungi KPU, tim hukum PDIP kemudian mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka bermaksud menemui Dewan Pengawas KPK.

Selain KPU dan Dewan Pengawas KPK, tim hukum PDIP juga akan bertemu Bawaslu hingga Dewan Pers. Pertemuan dengan dua lembaga ini direncanakan berlangsung esok hari.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Apa Hasil Bertemu Dewan Pengawas KPK?

Tim hukum PDIP menemui Dewan Pengawas KPK, Kamis (16/1/2020). (Liputan6.com/ Fachrur Rozie)

Tim hukum PDIP I Wayan Sudirta dan Teguh Samudera diterima anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Albertina Ho di Gedung ACLC KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (16/1/2020).

Namun, tim hukum sempat tertahan di meja resepsionis gedung ACLC KPK. Resepsionis belum mengizinkan tim hukum PDIP untuk bertemu dengan Dewan Pengawas KPK.

"Jadi kami enggak bisa bertemu?" tanya Wayan ke petugas resepsionis.

"Semua sudah ada SOP-nya pak," jawab petugas resepsionis.

Usai pertemuan, I Wayan mengaku menyerahkan surat yang berisi tujuh poin kepada Albertina Ho. Salah satu poin permintaan tim hukum PDIP agar dewas KPK memeriksa pegawai lembaga antirasuah yang mendatangi kantor DPP PDIP pada, Kamis 9 Januri 2020 pagi.

"Ketika tanggal 9 Januari 2020 ada orang yang mengaku dari KPK, tiga mobil, bahwa dirinya punya surat tugas untuk penggeledahan tetapi ketika diminta memperlihatkan (surat penggeledahan) hanya dikibas-kibaskan," ujar Wayan usai bertemu Dewan Pengawas KPK.

Menurut Wayan, hari itu tim penindakan KPK mendatangi DPP PDIP untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Wayan pun mempertanyakan hal tersebut.

"Pertanyaannya betul enggak itu surat penggeledahan, sudah pasti bukan surat izin penggeledahan, karena pada hari itu pagi itu jam 06.45 WIB belum ada orang berstatus tersangka, kalau belum berstatus tersangka berarti masih tahap penyelidikan," kata Wayan.

Dalam tahap penyelidikan, tim lembaga antirasuah tak bisa melakukan upaya paksa, dalam hal ini penggeledahan dan penyitaan. Penggeledahan dan penyitaan hanya bisa dilakukan dalam proses penyidikan.

"Dengan penjelasan itu, kami minta diperiksa yang tiga mobil itu, terutama yang pegang surat, periksa. Ini melanggar aturan atau tidak?," kata Wayan.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar sempat menyatakan bahwa tim penindakan yang mendatangi DPP PDIP hanya akan melakukan penyegelan, bukan penggeledahan maupun penyitaan.

Penyegelan dilakukan dalam proses penyelidikan. Lili menegaskan, tim penindakan membawa surat-surat yang lengkap saat bertugas.

Saat disinggung hal tersebut, Wayan mengatakan bahwa tim penindakan saat di kantor DPP PDIP mengaku akan melakukan penggeledahan.

"Tetapi dia (tim penindakan) mengakunya untuk penggeledahan. Nanti kami perlihatkan," kata Wayan.

Sebelumnya, Wayan menjelaskan, PDIP tidak menghalangi penyegelan yang akan dilakukan KPK di kantor DPP PDIP.

"PDIP yang tidak menghalangi penyegelan jangan lah dituduh menghalangi. Bagaimana ada surat izin penyegelan. Orang belum ada tersangka kok," ucap dia.

Menurut dia, penggeledahan merupakan bagian dari upaya paksa. Upaya paksa hanya bisa dilakukan jika ada yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

"Kalau belum ada tersangka masih penyelidikan mungkin nggak ada upaya paksa. Upaya paksa itu penyitaan, penggeledahan. Ini dimungkinkan kalau sudah ada status tersangka. Kalau sudah penyidikan. Ini kan tahap penyelidikan. Kalau jam 6 pagi itu. Tapi kok framing berita itu demikian rupa, seolah-olah kita menghalangi," ungkapnya.

"Dia nggak bawa surat izin penyegelan, tapi kalau dia mengibar-ngibarkan surat, mengatakan surat penyegelan, nah beginilah yang harus diproses oleh dewan kehormatan, apapun namanya, di KPK," lanjut dia.

 


Tim Hukum PDIP soal Kasus Suap PAW

Petinggi PDIP menggelar konferensi pers terkait dengan kasus yang menjerat Harun Masiku. (Liputan6.com/Delvira Hutabarat)

Sebelum melakukan kunjungan ke sejumlah lembaga, tim hukum PDIP menggelar jumpa pers di Gedung DPP PDIP, Jakarta Pusat, pada Rabu 15 Januari 2020.

Mereka menjelaskan mengenai OTT KPK terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan yang melibatkan kader PDIP Harun Masiku terkait Pergantian Antar Waktu (PAW).

Wakil Koordinator Tim Hukum DPP PDIP Teguh Samudera menyebut, penangkapan komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Syaiful Bahri, tidak dapat dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan (OTT). Sebab, menurutnya tidak sesuai dengan definisi 'tertangkap tangan' yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.

"Tertangkap tangan adalah "tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu," kata Teguh di Gedung DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu 15 Januari 2020.

Teguh menyatakan, berdasarkan rilis KPK, perbuatan yang diduga sebagai perbuatan pidana dilakukan pada pertengahan Desember 2019 dan akhir Desember 2019, sedangkan penangkapan oleh KPK dilakukan pada 8 Januari 2020.

"Karena itu, apa yang terjadi menurut pendapat kami tidak dapat dikategorikan sebagai OTT, melainkan hasil konstruksi hukum berdasarkan penyadapan dan proses penyelidikan berdasarkan Sprin Lidik yang ditanda tangani oleh Ketua KPK tanggal 20 Desember 2019, pada saat terjadinya pergantian Pimpinan KPK sebagaimana tersebut diatas," jelas Teguh.

Teguh menyatakan, sprin lidik kasus tersebut dilakukan oleh pimpinan KPK yang lama. Adanya penangkapan itu, lanjutnya, diduga sengaja di-framing dengan penangkapan staf Sekjen PDIP.

Teguh Samudera juga menanggapi rencana penggeledahan kantor DPP PDIP. Menurutnya, upaya penggeledahan itu pelanggaran hukum.

"Upaya penggeledahan dan penyegelan di Gedung PDI Perjuangan pada 9 Januari 2020 tanpa izin tertulis dari Dewan Pengawas, adalah perbuatan melanggar hukum dan melanggar kode etik,” kata Teguh.

Upaya penggeledahan tanpa izin Dewan Pengawas KPK, menurut Teguh telah melanggar hukum dan kode etik atau melanggar UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 B ayat (1) huruf (b).

Tim Hukum DPP PDIP meluruskan informasi terkait kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan. DPP PDI Perjuangan menegaskan tak pernah mengajukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap Riezky Aprilia dengan calon Harun Masiku.

"Yang benar adalah pengajuan penetapan calon terpilih setelah wafatnya Caleg atas nama Nazaruddin Kiemas," kata Teguh Samudra.

Menurut Teguh, seharusnya penetapan calon terpilih berdasarkan Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI adalah hal biasa alias sederhana dilakukan oleh partai politik.

"Yakni sebagai bagian dari kedaulatan Parpol, yang pengaturannya telah diatur secara tegas dan rigid dalam peraturan perundang-undangan," kata Teguh.

Pengajuan Penetapan Calon Terpilih yang dimohonkan kepada KPU oleh PDIP adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No.: 57P/HUM/2019. Tertanggal 19 Juli 2019 terhadap uji materi Peraturan KPU dan juga Fatwa Mahkamah Agung RI.

"Sehingga tidak ada pihak manapun baik Parpol atau KPU yang dapat menegosiasikan hukum positif dimaksud," imbuh Teguh.

Teguh menjelaskan setelah ada putusan MA terkait hasil judicial review Peraturan KPU yang mengabulkan permohonan PDIP, maka pimpinan partai meminta agar KPU mengabulkan permohonan dan melaksanakannya.

"Yakni memasukkan suara yang diperoleh Almarhum Nazaruddin Kiemas ke perolehan suara calon nomor urut 5, Harun Masiku. Dengan itu, seharusnya KPU menetapkan Harun sebagai peraih suara terbesar di dapil dimaksud," kata dia.

Namun, Teguh menyebut KPU menafsirkan lain dan menyatakan tidak bisa melaksanakan keputusan MA. Sehingga PDIP kembali meminta MA untuk mengeluarkan fatwa tentang makna sebenarnya putusan itu secara hukum yuridis.

Dikeluarkan fatwa, dan oleh PDIP diminta lagi kepada KPU untuk melaksanakannya. Semuanya dalam konteks pengajuan penetapan calon terpilih, bukan PAW.

"Sudah dilandasi atau dikuatkan dengan fatwa, KPU lagi-lagi menolaknya, itu yang terjadi seperti itu," kata Teguh.

Terminologi PAW, lanjut Teguh, berbeda dengan pengajuan penetapan calon. Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, yang juga ikut dalam konferensi pers menyatakan perlu untuk meluruskan terminologi "PAW".

"Sehingga semua pihak tahu bahwa surat-surat yang diajukan partainya ke KPU adalah sebagai pemenuhan ketentuan legalitas terkait dengan perundang-undangan sebelum penetapan anggota legislatif terpilih," kata Hasto

"Di mana kursi itu adalah kursi milik partai. Maka kami telah menetapkan berdasarkan keputusan MA bahwa calon terpilih itu adalah Saudara Harun Masiku. Hanya saja ini tidak dijalankan oleh KPU," tambah Hasto

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya