Menteri Lingkungan Jepang Ambil Cuti Melahirkan, Akankah Diikuti Para Bapak?

Di Jepang, undang-undang mengizinkan para bapak mengambil cuti melahirkan hingga setahun. Tapi, banyak yang takut mengambilnya.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 17 Jan 2020, 08:03 WIB
Ilustrasi cuti melahirkan ayah. (dok. Foto Myriam Zilles/Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang politikus Jepang mengambil tindakan berbeda dari kebanyakan pria di Negeri Matahari terbit. Ia memutuskan mengambil cuti melahirkan untuk para bapak (paternity leave) demi membantu istrinya merawat anaknya yang baru lahir.

Shinjiro Koizumi, nama politikus tersebut, mengumumkan rencana mundur sementara dari jabatan politiknya untuk mengurus bayinya yang diperkirakan lahir pada akhir bulan ini.

Dikutip dari laman People.com, Kamis, 16 Januari 2020, Koichi Nakano, peneliti politik dari Sophia University di Tokyo, mengatakan kepada The New York Times bahwa pengumuman tersebut sebagai preseden baik dan hal itu hanya tinggal menunggu waktu untuk dianggap sebuah hal yang wajar.

Undang-Undang Jepang mengizinkan pria untuk mengambil cuti melahirkan hingga satu tahun lamanya, durasi cuti yang sama yang diberikan kepada para perempuan. Meski begitu, hanya enam persen ayah baru yang mengambil cuti itu, sementara perempuan Jepang porsinya 82 persen.

Politikus yang menjabat sebagai menteri lingkungan itu menyampaikan rencananya dalam rapat bersama staf.

"Saya berharap cuti melahirkan yang saya ambil akan mengubah gaya kerja semua orang di mana setiap orang bisa dengan mudah mengambil cuti untuk merawat anak mereka tanpa ragu di Kementerian Lingkungan," kata Koizumi.

Tingkat kelahiran di Jepang mencapai titik terendah dalam sejarah. Pada Desember 2019, negara tersebut mengumumkan angka kelahiran di Jepang bahkan yang paling rendah sejak akhir 1800an, menurut NPR.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Stigma Negatif

Ilustrasi cuti melahirkan ayah. (dok.Foto PublicDomainPictures dari Pixabay/Dinny Mutiah)

Meski faktanya hukum membolehkan para pria mengambil cuti melahirkan, masih ada stigma di kebudayaan Jepang seputar lelaki yang berhenti bekerja dengan alasan keluarga.

Pada September 2019, dilaporkan dua lelaki Jepang menuntut perusahaan mereka setelah mereka dipecat dan bahkan diberhentikan akibat mengambil paternity leave.

"Kami butuh kepastian ada keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga agar anak-anak dapat menghabiskan waktu bersama orangtua mereka. dan para orangtua dapat menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka," kata Glen Wood, satu dari dua lelaki yang mengajukan tuntutan hukum. "Itu semestinya dianggap sebagai hak asasi universal."

Musim panas lalu, ketika Koizumi mengumumkan pertama kali rencana mengambil cuti melahirkan itu, ia menjelaskan alasannya melalui blog pribadinya. Menurut dia, banyak lelaki yang juga mengalami kesulitan serupa. Mereka ingin cuti, tetapi sulit.

"Cuti merawat anak tidak akan pernah menjadi prevalensi kecuali kita mengubah tak hanya sistem, tetapi juga atmosfernya," tulisnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya